Mohon tunggu...
Nur Ramadhani A
Nur Ramadhani A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang pemuda yang hobby rebahan dan berpetualang menyusuri padang khasanah ilmu. Demi cita-cita yang ia damba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soedjatmoko Mutiara Indonesia yang Langka

1 Mei 2023   09:15 Diperbarui: 1 Mei 2023   11:33 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soedjatmoko Mangoendiningrat | Sumber: picsart

Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat pada 14 Agustus 1947 menjadi sebuah kesempatan para delegasi Indonesia untuk menguatkan esensi kemerdekaan Republik Indonesia. Sidang itu dilaksanakan dengan harapan dapat menjadi solusi konflik antara Indonesia dan Belanda, tepatnya setelah Agresi Militer Belanda I. Pada sidang itu Indonesia mengirim lima tokoh yaitu; Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Soemitro Djojohadikusumo, Charles Tambu, dan Soedjatmoko Mangoendiningrat. Mayoritas masyarakat Indonesia hanya mengenal Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan Soemitro, namun penulis merasa kelima utusan ini memiliki keunikan masing-masing, dan mungkin nama Charles Tambu, dan Soedjatmoko terbenam diantara gemerlap ketiga nama diatas.

Soedjatmoko menjadi salah satu sosok yang penulis anggap menarik untuk dibahas. Soedjatmoko Mangoendiningrat dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 10 Januari 1922. Ayahandanya Saleh Mangoendiningrat merupakan seorang dokter pemerintah Hindia-Belanda, dan masih memiliki garis keturunan bangsawan dari Mangoendiningrat Madiun. Soedjatmoko atau yang akrab disapa dengan Bung Koko merupakan salah satu pemikir dan tokoh intelektual besar yang terpendam namanya dari nama-nama besar. Bung Koko juga sering dijuluki The Sjahrir Boys, lantaran kedekatannya dengan Sutan Sjahrir dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Soedjatmoko pernah mengenyam pendidikan di HBS Surabaya, dan sekolah kedokteran tetapi ia dikeluarkan dari sekolah kedokteran ketika masa pendudukan Jepang. Kedekatan Sjahrir dengan Soedjatmoko semakin mesra ketika Sjahrir menikahi wanita dan juga kakak dari Soedjatmoko Siti Wahyunah. Pada tahun 1947 Bung Koko terbang ke Amerika Serikat guna mewakili Indonesia dalam sidang PBB di New York. Dipenghujung waktunya di New York ia berkuliah di Littauer Center, disamping berkuliah ia juga aktif mewakili Indonesia sebagai kedutaan besar untuk Indonesia di London selama kedutaan besar Indonesia sedang dibentuk.

Selama melanglang buana di negeri orang dan menjalankan tugas negara yang diemban, ia kembali ke Indonesia pada tahun 1952. Pada tahun tersebut Indonesia sedang mengalami politik aliran. Meski begitu, kondisi itu merupakan sebuah gambar demokrasi, dan catatan bahwa Indonesia pernah ada begitu banyak aliran politik di waktu itu. Pada masa keberagaman politik aliran, Soedjatmoko bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang diketuai oleh Sjahrir. Selain itu ia merupakan salah satu penggagas harian media PEDOMAN yang dimiliki oleh Parta Sosialis Indonesia.

Memasuki rentang tahun 50 akhir, tepatnya memasuki masa Demokrasi Terpimpin hubungan antara Bung Koko dengan Bung Karno mulai menegang. Bung Koko menganggap demokrasi terpimpin merupakan bentuk keotoriteran dan kediktatoran Bung Karno, bukan demokrasi sebenarnya, dan beberapa kali Bung Koko pernah mengkritisi hal tersebut. Pada waktu 1962 Partai Sosialis Indonesia dibubarkan dan media masa mereka dilarang terbit, Sjahrir ditangkap. Mengamati situasi itu Bung Koko memilih untuk mengasingkan diri dari dunia perpolitikan Indonesia yang sedang tidak sehat.

Setelah jatuhnya era Orde Lama, Bung Koko kembali muncul ke panggung perpolitikan Indonesia. Pada tahun 1966 Bung Koko diberi kepercayaan oleh pemerintahan Pak Harto untuk menjadi wakil ketua delegasi Indonesia untuk PBB. Setahun berikutnya ia diberi kepercayaan menjabat sebagai penasihat umum PBB dan juga penasihat Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik. Tidak lama setelahnya, pada tahun 1968 Bung Koko diberikan amanah sebagai Dubes Republik Indonesia untuk Amerika Serikat. Selama pemerintahan Orde Baru Bung Koko lebih banyak menghabiskan kegiatan politiknya diluar negeri.

Pada tahun 1974 Bung Koko dituduh sebagai salah satu otak perencanaan Malari. Akibatnya selama dua setengah tahun Bung Koko dicekal dan dilarang keluar dari Indonesia. Sebelum ditangkap Bung Koko juga sering mengkritisi kebijakan pemerintahan Orde Baru terutama kritikannya terhadap kebijakan ekonomi Orba. Meski dalam penahanan Bung Koko tetapi menuangkan pemikiran-pemikirannya terhadap kondisi bangsa. Pada 10 April 1980 Bung Koko menjabat sebagai rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo, Jepang menggantikan rektor sebelumnya James M. Hester.

Soedjatmoko wafat akibat gagal jantung pada 22 Desember 1989 ketika ia sedang memberikan ceramah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kepergian Soedjatmoko mengguncang dunia kaum intelektual bangsa Indonesia, bunga bangsa yang harum namanya di luar telah gugur. Soedjatmoko sangat memperhatikan sekali kondisi bangsa Indonesia dari segala aspek. Bung Koko dapat dikatakan salah satu intelektual multi dimensional yang pernah miliki oleh Indonesia.

Bung Koko juga merupakan salah satu tokoh yang menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Salah satu tulisan Bung Koko yang paling berkesan dan menarik bagi penulis adalah Javanese Mistism. Dimana ia yang masih memiliki keterikatan dengan garis leluhur keturunannya yang merupakan bangsawan ternama, dan menganut tradisi sebagaimana orang Jawa. Ia lalu memasangkan dengan tradisi agama lain yang juga memiliki tradisinya sendiri. Namun uniknya ia menggunakan pendekatan teoritis humanis sebagai jawaban solusi untuk memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi dan yang akan dihadapi. 

Dalam buku Berita dan Obtuari Soedjatmoko yang diterbitkan oleh LP3S, disitu menyimpan banyak kumpulan catatan para tokoh mengenai pemikiran Soedjatmoko yang kompleks. Disamping ia menjabat sebagai duta besar, ia tidak terkungkung dalam lingkarannnya, ia tetap memikirkan bagaimana keadaan bangsa ini dimasa yang akan mendatang kelak. Ia seorang nasionalis, humanis, dan sosialis yang peduli kepada bangsanya. Setiap tetes keringat yang jatuh, setiap jejak yang ia langkahkan selalu meninggalkan buah manis bagi Indonesia. 

Bung Koko seperti kisah yang terlupakan, terpendam dalam gemerlap bintang-bintang besar bangsa Indonesia. Reputasinya serta catatan informasi mengenai dirinya tidak banyak diketahui didalam, namun diluar namanya bersinar terang membawa harum nama Indonesia di jagad perpolitikan dunia. Soedjatmoko adalah Mutiara Indonesia Yang Langka.

Dokumentasi Pribadi: Penulis bersama Ibu Kamala Chandrakirana (Putri Sulung Pak Koko) dalam acara pameran membaca soedjatmoko di kediaman Pak Koko
Dokumentasi Pribadi: Penulis bersama Ibu Kamala Chandrakirana (Putri Sulung Pak Koko) dalam acara pameran membaca soedjatmoko di kediaman Pak Koko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun