Mappasoro adalah tradisi unik masyarakat Bugis yang dilaksanakan sebelum panen padi sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan. Ritual ini bukan hanya sekadar kegiatan budaya, tetapi juga mengandung nilai-nilai religius, sosial, dan simbolis yang mendalam. Dalam setiap prosesi, tradisi ini menandai bahwa hasil panen atau "wassele" dianggap cukup dan siap untuk dipanen. Tradisi ini melibatkan simbol-simbol seperti sokko (beras ketan), tallo (telur), pisang, dan tulangbala (sedekah). Setiap elemen memiliki makna filosofis yang mencerminkan nilai-nilai persahabatan, kesatuan, dan kejujuran: Sokko melambangkan persahabatan yang erat dan kesatuan yang tetap terjaga meski melalui banyak cobaan. Tallo menggambarkan persatuan dalam keberagaman, seperti bentuk telur yang bulat tidak ada ujungnya. Pisang merepresentasikan kemurnian dan kejujuran dalam kehidupan bersama. Tulangbala menjadi bentuk sedekah untuk menghindari musibah dan menarik keberkahan. Tradisi ini biasanya diawali dengan doa salama, yang dipanjatkan kepada Allah untuk memohon keberkahan dan keselamatan selama panen.Â
Dimensi Religius dan Sosial
Mappasoro mencerminkan integrasi budaya lokal dengan nilai-nilai Islam. Ritual ini sering dipusatkan di masjid, tempat ibadah umat Islam, sehingga memperkuat makna spiritualnya. Selain itu, pelaksanaan tradisi ini menjadi momen berkumpulnya masyarakat, mempererat hubungan sosial, dan menjaga harmoni di antara anggota komunitas. Simbol-simbol seperti sokko dan tallo menegaskan nilai kebersamaan dan persatuan.
Perubahan dan Relevansi Tradisi Saat Ini
Tradisi Mappasoro masih dilaksanakan hingga saat ini, meskipun telah mengalami beberapa perubahan. Di masa lalu, ritual ini dipimpin oleh seorang Indo Kampong yang memiliki peran spiritual dalam komunitas. Tugas menjadi Indo Kampong tidak mudah, sosok ini harus memiliki pengalaman yang mendalam, keberanian, dan kepercayaan masyarakat. Banyak yang mengatakan bahwa menjadi Indo Kampong pasti ada konsekuensinya baik suami maupun istri yang jatuh sakit, sehingga banyak yang tidak bertahan lama dengan peran tersebut. Namun, saat ini, prosesi ini dipimpin oleh tokoh agama di masjid, menyesuaikan dengan nilai-nilai Islam.
Pelaksanaannya juga bervariasi sesuai kondisi panen:
1. Ketika Panen Berhasil
Dilaksanakan secara kolektif di masjid atau tempat tertentu, dengan simbol-simbol tradisional tetap digunakan. Doa bersama menjadi momen utama untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.
2. Ketika Panen Gagal
Ritual dilakukan lebih sederhana, biasanya di rumah masing-masing. Meskipun hasil panen tidak memuaskan, doa salama tetap dipanjatkan sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang masih diberikan Allah.
Mengapa Tradisi Mappasoro Penting Dilakukan?
Tradisi ini memiliki nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan masyarakat modern:
Mengajarkan rasa syukur: Tradisi ini menanamkan sikap bersyukur kepada Allah, baik dalam kondisi keberhasilan maupun kesulitan. Menjaga nilai kebersamaan: Dalam keberhasilan, tradisi ini memperkuat solidaritas komunitas dalam kegagalan, tradisi ini menguatkan spiritualitas pribadi. Mengintegrasikan budaya dan agama: Dengan doa kepada Allah sebagai elemen inti, tradisi ini tetap relevan dengan nilai Islam.
Kesimpulan
Mappasoro adalah tradisi unik yang tidak hanya menunjukkan kekayaan budaya masyarakat Bugis, tetapi juga menjadi sarana menjaga hubungan harmonis dalam komunitas. Tradisi ini mengajarkan bahwa syukur dan kebersamaan adalah nilai-nilai yang harus dijaga, apa pun kondisi yang dihadapi. Melalui pelaksanaannya, Mappasoro menjadi bukti bahwa budaya lokal dapat selaras dengan ajaran agama, menciptakan harmoni antara tradisi dan nilai spiritual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H