Â
Para buruh pengantar susu sapi perah Ngagel sedang bersiap disamping sepeda, mereka akan mengirim susu sapi murni ke rumah pelanggannya di wilayah Surabaya tahun 1950-an. Di Surabaya profesi ini telah punah, terakhir dijumpai pada paruh 1990-an. Mereka mengantar susu sapi pada pagi dan sore hari, dengan pembayaran bonmen (abonemen) mingguan maupun bulanan. Atau juga bisa dibayar tunai di tempat. Minuman segar ini merupakan produk rakyat yang sedari dulu sangat digemari masyarakat.
Susu sapi dikemas dalam botol kaca ukuran setengah liter serta satu liter, dan baru dikembalikan keesokannya setelah dikonsumsi oleh para pelanggan. Buruh pengantar susu sapi ini mendapat komisi dari tiap botol susu yang laku, dan terkadang mendapat tip dari pelanggannya. Fiets atau sepeda adalah sarana utama para pengantar susu sapi, karena leluasa jika digunakan melewati gang-gang kecil perkampungan Surabaya. Para pelanggannya pun beragam segmen, dari rumah  perkampungan hingga rumah gedongan.
Dahulu susu sapi perah sempat mengalami kejayaan meski bersaing ketat dengan susu cair kemasan tetrapack. Kini susu sapi murni tidak dikemas dalam botol kaca, tetapi dalam kaleng yang tersebar di supermarket maupun minimarket dengan lambang beruang putih. Peternakan susu sapi perah Ngagel, Nginden, Wonocolo, Jemursari, Karangpilang, Banyu Urip, Gundih, Pogot, Sidotopo dan Kedung Cowek pernah mewarnai perjalanan usaha tradisional ini hingga benar-benar hilang di buldozer industri modern. (wan/shc)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H