Mohon tunggu...
Nur Khasanah
Nur Khasanah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Stai Sunan Pandanaran

Belajar dari setiap pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Peleburan Ayat-ayat Alquran sebagai Syariat Ataukah Tradisi?, "Aspirasi Keagamaan Islam Indonesia"

26 Juli 2019   07:15 Diperbarui: 27 Juli 2019   00:11 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu kita garis bawahi, studi tentang Alquran tidak hanya dimaknai sebagai sebuah kitab suci agama Islam saja, tetapi juga membahas fungsi Alquran yang isinya berusaha diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Di Indoneisa sendiri, Islam datang ketika agama-agama besar seperti Hindu dan Buddha selama berabad-abad lamanya, di tempat yang berbeda, ajaran animisme dengan segala bentuk keyakinan dan ritualnya telah mengalami masa perkembangan, di mana agama dan keyakinan itu menyatu dalam kehidupan masyarakat. 

Ketika saudagar dan ulama Timur Tengah datang menyebarkan Islam, tradisi-tradisi yang mengakar kuat di masyarakat dibiarkan berlangsung apa adanya dan sebagian pula disesuaikan dengan syariat Islam.

Membahas tentang syariat dan tradisi menjadi salah satu ciri khas Islam Indonesia, mengapa demikian, karena masyarakat Islam Indonesia meresponnya dengan berbagai macam bentuk variasi pada implementasi penerapan dan kepercayaan. 

Sebut saja seperti judul di atas yakni peleburan ayat-ayat Alquran, maksud dari peleburan disini adalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) peleburan berarti proses, cara, atau tempat meleburkan. Jadi, peleburan ayat-ayat Alquran disini merupakan fenomelogi prilaku masyarakat terhadap ayat Alquran yang dianggap dapat menjadi petunjuk sebagai tombo ati (obat hati), tombo awak (obat jasmani), sarana perlindungan, dst. 

Contoh di antaranya meliputi ayat Alquran yang ditulis di sebuah kertas, benda lain seperti piring, gelas, bahkan pembakaran terhadap Alquran yang kemudian diminum guna orang tersebut dapat dari berbagai macam penyakit, dan diberi kecerdasan dalam menghafalkan ayat-ayat Alquran.

Untuk mencakup secara keseluruhan dalam pembahasan ini, penulis mengambil contohnya yaitu Perayaan Rabo Wekasan adalah ritual keagamaan dalam bentuk shalat, mandi, membaca shalawat dan kegiatan keruhanian yang lain, yang penulis singkat menjadi "RKS" dalam mempermudah pembacaannya. 

Ritual ini dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Perayaan Rabo wekasan bertujuan untuk mensyukuri nikmat Allah serta menolak berbagai musibah. Bagi kebanyakan orang Jawa, ini bukan  tradisi budaya, tapi juga bagian dari komunitas religius. 

Kegiatan ini seringkali menarik untuk dibahas seputar kajian Alquran, kerena salah satunya semisal ayat-ayat Alquran yang dijadikan azimat untuk kemudian diminum oleh setiap masyarakat yang mempercayai. Pertanyaanya, apakah hal tersebut  sesuai dengan syariat ajaran Islam, jika iya apa alasanya?

Untuk menjawab persoalan di atas, penulis beralih pada pemikiran Gus Dur dalam teorinya pribumisasi sebagai pisau analisis, dan beberapa diskursus seputar rabo wekasan. Beberapa pendapat terkait RKS, menurut pendapat sunnah, ini diperkuat oleh keterangan Abdul Chalik, bahwa sejarah Rabo Wekasan ada sejak zaman Sunan Giri. 

Konon Sunan Giri pernah Singgah di desa Polaman yang sekarang disebut Desa Suci, sehingga ritual ini bisa turun-temurun diikuti oleh masyarakat setempat.  Menurut Muhammad  Dzhofir  RKS ini masuk sebagai ritual dalam Islam yang dibagi dalam dau macam. Pertama, ritual yang berdasarkan dalil secara tegas ada dalam Alquran dan Hadist. Kedua, ritual yang tidak bebrdasarkan tuntutan Alquran dan Sunnah.

RKS inilah masuk kepada bagian kedua karena hanya bersumber dari sudut pandangan pendapat Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah wa Surur fi Fadhail al-Azminah wa Shuhu, kitab ini berisikan adanya bala dan bencana pada bulan Safar sehingga ritual selametan harus dilakukan, meskipun kitab ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat. 

Hal ini memperkuat pendapat yang berangapan mubah dalam memperingati Rabon Wekasan yaitu boleh dilakukan boleh tidak, mengatakan bahwa memang kabar adanya balak (bencana/naas) di Rabu Wakasan itu tidak ada di Hadits. Tapi dari ulama-ulama Arifin, dekat dengan Allah.

Di antara yang dikutip adalah ucapan Baba Farid (w. 1266 M, di Punjab India) Mursyid tarekat Chisti, jadi pendapat ini memepercayai bahwa ilham orang sholeh itu boleh, asal tidak disandaran pada Nabi dan tidak bertentangan dengan Syariat.

Bagi yang tidak percaya juga boleh, asal tidak menghina orang sholeh tadi. Sedangkan bagi kalangan yang mengharamkan Rabo Wekasan, bahwa tidak ada riwayat yang dibolehkannya memperingati Rabo Wekasan, berdasarkan sejarah bahwa bulan Safar itu sudah ada sejak zaman Jahiliyah dan telah dihapus oleh Islam, Nabi pun pernah bersabda, tidak ada pertanda buruk/kesialan/pesimisme (Sahih, HR. Muslim), dan Hadits  tidak ada naas di bulan Safar.

Jika diskursus RKS ini singkatnya telah terjawab, bagaimana dengan pendapat Gus Dur terhadap konsep pribumisasi?. Jadi, Pribumisasi adalah istilah yang dipoulerkan pada era 1980-han, yaitu sebuah proses terjadinya nilai-nilai Islam pada suatu komunitas warga atau bangsa, "Beri dan terima" antara Islam dan budaya yakni keduanya sama-sama memiliki nilai akulturasi integritas bangsa. 

Mengapa demikian,? karena adanya transformasi unsur-unsur Islam pada unsur budaya pribumi (lokal), Sedangkan konsep pribumisasi adalah proses atau rancangan dalam memahami objek pembahasan, yakni aplikasi Rabo Wekasan, subtansinya terhadap nilai peradaban Islam Indonesia melalui pemikiran Abdurrahman Wahid. 

Menurut Gus Dur, tradisi merupakan sesuatu yang diwariskan dari masa lalu pada masa kini berupa kebiasaan, keyakinan atau tindakan-tindakan.

Oleh karena itu, dijelaskan sebelumnya bahwa RKS telah mengakar dalam jiwa yang meyakininya sehingga teraplikasikan dalam pola fikir, kebiasaan, dan tindakan. Menurut Gus Dur, sebab memang umat Islam di Indonesia terbiasa dengan melaksanakan ritual turun temurun dalam tradisi lokal untuk menjaga konsep keseimbangan hidup. 

Jadi, berbagai varian dalam memperingati bulan Safar ini sangat mencerminkan dinamika Islam dalam bentuk karakter bagi yang mempercayai hal tersebut. Hemat penulis, mengapa peringatan RKS ini dihubungkan dengan konsep pribumisasi pemikiran Gus Dur? Jawabannya adalah bahwa ruang lingkup pembahasan tersebut meliputi tradisi dan paham keagamaan pada setiap kelompok. 

Pemahaman akan memicu keyakinan setiap orang, keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan, dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia Oleh karena itu, konsep pribumisasi melingkupi dua teorisasi yaitu agama singkretik, dan masyarakat esoteris. 

RKS bisa saja masuk sebagai agama singkretik karena tradisi tersebut dibahas dalam konteks budaya yang turun temurun bahkan ada sejak masa walisongo seperti Sunan Giri and Sunan Kudus, profesinya sebagai agen pengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia, yang merubah tradisi RKS dari bentuk sesajen menjadi beberapa amalan yang diperbolehkan dalam Islam. 

Maksud agama singkretik ini adalah agama asli orang-orang jawa yakni penganut agama animisme sebagai kepercayaan pada roh dan penguasa di luar dirinya. Artinya ada sebuah tindakan untuk mengeksistensikan bentuk penghambaan terhadap Tuhan (Allah swt). 

Sebab, menyembah dan mengabdi kepada Allah dalam nilai keshalehan tidak hanya dalam laku ibadah berupa shalat, puasa, dan haji saja akan tetapi tingkat keshalehan itu mencangkup dua unsur yaitu ritual dan sosial yakni amal shaleh sebagai mukmin yang bertakwa Ternyata impikasi dari kepentingan dalam mempertahankan identitas tradisi suku bangsa ini.

Menurut Abdul Chalik, Peringatan Rabo Wekasan dapat berafiliasi dengan pandangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, selain dipraktikkan dalam kehidupan mereka, kini banyak pula dilakukan oleh kalangan pesantren dan tarekat. 

Melalui pesantren dan tarekat terutama yang Mu'tabarah al-Nahdiyyah, umumnya Rebo Wekasan dilaksanakan setiap tahun. Hal ini dengan jelas bahwa turun temurunya peringatan Rabo Wekasan dapat terorganisir dalam aspek sosial, ekonomi, bahkan polikit.

Selanjutnya, Rabo Wekasan menjadikan Islam Indonesia sebagai masyarakat esoteris. Masyarakat esoteris adalah Dimensi Tasawuf, yakni Islam lebih mementingkan harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Sementara dimensi eksoterik atau fikih mementingkan aspek-aspek hukum dan bersifat lebih ketat. 

Praktik Islam esoteris inilah yang lebih dominan dalam masyarakat dalam memperingati Rabo Wekasan, Hal demikian terlihat bagaimana paktik Rabo Wekasan dilakukan dalam bentuk Shalat Sunnah, puasa, mandi, minum air azimat, istighasah, tahlil, dan i'tikaf di Mushala maupun di Masjid. 

Perayaan tersebut dipercaya dapat menolak musibah dan merupakan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberikan kenikmatan berupa sumber air melimpah Demikian, membaca "Pribumisasi Islam" hendaknya tidak dari sudut pandang fikih, misalnya apakah secara fikih ini boleh atau tidak boleh. Tetapi memperhatikan pula aspek-aspek esoteris Islam dan simbol-simbol batin budaya Jawa.

Sudut pandang ini, menurut saya, lebih adil dan menerobos cangkang kekakuan fikih. Dalam jangka panjang, sudut pandang Islam esoteris dapat menjadi pilar bagi tumbuhnya toleransi, harmoni, dan menciptakan titik-titik temu peradaban. Keterangan ini memenuhi penjelasan Gus Dur bahwa interaksi intelektual antara Islam dan budaya-budaya tidak bisa bertentangn begitu saja, sebab hal demikian akan melahirkan khazanah Islam yang lebih berwawasan. 

Jadi peringatan Rabo Wakasan ini merupakan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan amal ibada dan rasa sukur dalam hal Ubudiyah. Sedang, memahami konsep pribumisasi pemikiran Gus Dur, penulis menemukan bahwa letak RKS ini menjadi ekspresi keagamaan Islam Indonesia dalam dua unsur yaitu sebagai agama singkritis dan mencerminkan masyarakat bersifat esatoris.

Dari segi singkritis, RKS jelas mengalami perubahan dari masa-kemasa melalui sosio historis di zaman Walisongo. Kemudian RKS sebagai masyarakat esatoris yakni dari varian bentuk RKS meperlihatkan bagaimana paham kelompok Islam salah satunya berdimensi Tasawuf, Islam lebih mementingkan harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Singkatnya, bahwa Rabo Wekasan dapat dipahami perkembangannya dalam askpek budaya, politik, ekonomi. 

Sebagaimana dijelaskan diatas, dengan pemikiran Abdurrahman Wahid terhadap konsep pribumisasi,  kita dapat melihat antara Islam dan budaya keduanya sama-sama memiliki nilai akulturasi integritas peradaban Islam di Indonesia sebagai muslim yang berwawasan tinggi. 

Oleh karena itu, hal ini dapat menggaris bawahi bahwasanya Islam memang memiliki prinsip Ummatan Wahidan yakni umat yang satu walaupun berbeda, bahasa, suku dan bangsa tetap saudara. Jadi, Peringatan Rabo Wekasan adalah ritual religi yang menerapkan beberapa bab syariat Islam di antaranya bab sedekah, beramal shaleh, puasa. 

Nah peringatan ini direspon dan didukung oleh kalangan berkeyakinan terhadap adanya tolak bala, yang menjadi tradisi turun-temurun dari para alim ulama shaleh seperti walisongo yakni Sunan Kudus dan Sunan Giri.

Oleh:
Nur Khasanah

Mahasiswa Stai Sunan Pandanaran 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun