Mohon tunggu...
Nur karimah
Nur karimah Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Yaa begitulah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah di Balik Pengamen Cilik Fitri dan Dimas di Perempatan Timoho

27 November 2019   15:12 Diperbarui: 27 November 2019   15:27 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama usai liputan | dokpri

Fenomena pengamen jalanan sudah semakin marak terjadi dimana-mana, bukan cuma di kota-kota besar di daerah-daerah yang terkecil sekalipun. Isu tentang pengamen jalanan mungkin sudah bukan lagi hal biasa yang sering kita dengar, setiap hari kita sering temukan di persimpangan jalan, lampu merah ataupun berita tentang pengamen jalanan. 

Usia pengamen jalanan itu bukan hanya orang dewasa, seringkali kita temukan anak kecil yang terlibat dalam hal ini. Untuk usia mereka yang masih kecil seharusnya mereka belajar atau bermain bukan bekerja. Kadang kondisi yang memaksakan mereka berbuat seperti itu.

Seperti di kota Yogyakarta yang di kenal dengan kota pendidikan tetapi banyak anak-anak kecil yang terlibat dalam mengamen pada saat jam belajar. Seperti Fitri dan Dimas pengamen kecil di perempatan lampu merah Timoho yang mencari pundi-pundi uang untuk makan sehari-hari, menggunakan topeng dan speaker aktif untuk daya tarik kepada pengendara yang berhenti di lampu merah menjadi target mereka.

Kondisi ekonomi seperti ini kadang  yang memaksakan mereka untuk melakukan pekerjaan ini, larangan pemerintah untuk mengamen menjadi salah satu semacam "icon" untuk para petinggi. "ya yang namanya ngamen kan larangan pemerintah ya mbak? Apalagi dibawah umur emang gak boleh tapi gimana lagi kondisinya begini masalahnya, kalau gak gini kita gak makan, dan membayar kos-kosan gak bisa, mau tidur dimana kami! Di jalanan kan gak mungkin", ucap bapak dimas.

Terkadang untuk mengamen sehari-hari, biaya yang mereka dapatkan tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka, bukan kah ini sudah menjadi permasalahan sosial dan kesenjangan ekonomi ketika para petinggi hidup enak, mereka yang hidup dengan penuh keterbatasan terlunta-lunta memikirkan apa yang akan terjadi di hari esok. "Kalau ngamen biasanya cuma 30 ribu, dari jam 7 sampai jam 9 cuma 2 jam kok, kasihan kalau malam-malam anak kecil, besok kan sekolah" ucap bapak dimas.

Alasan utama ketika di tanyai kenapa memilih ngamen dikarenakan kondisi ekonomi yang membuat mereka melakukan itu untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari.

"Sejak tahun 2000, dari saya kerja sebagai tukang becak sangat lancar dan banyak penumpang. Sekarang malah terbalik, sangat sepi penumpang. Semua sudah pada naik gojek atau grab jadi sekarang itu cuma ngamen yang bisa saya dan anak-anak lakukan. Jadi terpaksa saya suruh anak-anak untuk mencari uang. Apalagi saya gak punya rumah cuma kost, ya itu masalahnya" ucap bapaknya dimas

Mengamen bukanlah hal yang mudah bagi mereka, ada orang-orang yang tidak suka mereka melakukan hal itu dan banyak larangan mulai dari pemerintah sampai masyarakat. Gangguan saat mengamen sering terjadi, seperti yang dikatakan fitri  saat di tanya "kemarin ada ibu-ibu itu marah-marah sambil naik motor (nanti tak laporkan kamu) yo laporkan silahkan aku gak mikirkan kamu yo silahkan mau laporkan saya gak takut" kata fitri menceritakan sekilas masalah yang terjadi saat ngamen.

Dokumentasi saat wawancara | dokpri
Dokumentasi saat wawancara | dokpri
Setiap manusia mempunyai harapan untuk ke depan, harapan yang baik pula. Sama halnya dengan mereka yang mengalami keterbatasan mempunyai harapan, berharap kehidupan mereka bisa lebih baik lagi dari yang sekarang ini. "Pemerintah itu gak ada perubahan dari dulu yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, ah sekarang sudah kaya masih korupsi mau gimana? Padahal sudah kaya, jadi seperti orang kecil itu cuma sebagai alat saja, kalau gak kerja ya gak makan", tambah bapak dimas

Terkadang mereka yang cuma dilihat dari covernya tanpa menengok ke belakang para petinggi hanya tahu melarang tanpa tahu alasan mereka melakukan itu. Bukankah segala sesuatu itu mempunyai alasan? Lantas mengapa hal itu tidak di tanyakan kepada mereka. Ada banyak pertanyaan yang terngiang di di dalam hati sebenarnya siapa yang salah pemerintah atau mereka? keadaan yang membuat mereka berbuat seperti itu dengan terpaksa. 

Seharusnya pemerintah lebih sungguh-sungguh memperhatikan anak jalanan tidak hanya simbolis, karena anak-anak sebagai harapan masa depan bangsa yang perlu di perhatikan. Maka dari itu sangat miris rasanya melihat fitri dan dimas yang mengamen setiap hari, bukannya belajar seperti anak-anak yang lain.

Mengentaskan kemiskinan adalah hal yang sulit, alternatif lain meningkatkan pendidikan anak jalanan karena mereka juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain.

Seperti yang dikatakan Cak Lontong di salah satu program tv nasional "Bangsa ini tidak akan bangkrut dengan karena adanya ribuan pengamen jalanan dan pengemis tetapi bangsa ini akan bangkrut dengan 10 koruptor!!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun