Akreditasi adalah tindakan memberikan penilaian atau standarisasi pada suatu program atau lembaga dengan mengevaluasi kualitas dan kemampuannya. Akreditasi dianggap sebagai upaya yang efektif untuk menjamin kualitas dan memperbaiki kualitas lembaga atau program tersebut. Tentunya, bagi lembaga pendidikan yang tertib menjalankan fungsi manajemen, akreditasi menjadi momen yang dinanti, dirindukan layaknya ketemu seseorang yang dirindukan. Mengapa? Karena mereka siap dengan segala perantinya dan dipastikan hasil asesmen bagus.
Sebaliknya, bagi lembaga pendidikan yang tidak menjalankan fungsi manajemen dengan baik, akreditasi seolah menjadi hantu plus menghantui. Ia menakutkan, mencekam, menjadikan kita tidak doyan makan dan tidak bisa tidur. Dalam bahasa jawa “Anak, bojo, ora kopen” gara-gara akreditasi. Menyedihkan memang!
Menurut saya “ketika penyususan pemberkasan akreditasi ada lembur apalagi sampai bermalam-malam, itu artinya lembaga tersebut tidak tertib administrasi, akhirnya kebanyakan “ngibul/berbohong”.
Bukan berarti yang tertib administrasi tidak ada lemburan. Setidaknya jika tertib adminstrasi akan mengurangi beban “nglembur”. Atau yang harusnya lembur berminggu-minggu cukup 2-4 hari saja jikalau lembaga tertib administrasi.
Sebagai lembaga pendidikan formal, Perguruan Tinggi diwajibkan memenuhi standarnya. Selain pemenuhan mutu internal, akreditasi berfungsi menjaga kualitas mutu eksternal. Di perguruan tinggi, ada dua jenis akteditasi secara umum. Mulai dari Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) dan Akreditasi Program Studi (APS).
Pada AIPT dan APS wajib memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) yang ditetapkan oleh masing-masing kampus dengan mengacu pada SN Dikti di atas. SN Dikti harus dicapai bahkan dilampaui kampus karena ia adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat.
Jika fungsi manajemen, setiap institusi perguruan tinggi menjalankan semua rentetan fungsi manajemen dan tertib administrasi pasti akan mudah menyambut akreditasi. Maka tidak ada lagi istilah borang akreditasi diselewengkan menjadi “bohong dan ngarang”.
Artinya, akreditasi justru melahirkan dan menjadikan pendidik menjadi pembohong dan penipu data. Saya kira hal itu sudah di ketahui masing-masing pendidik (mengetahui tetapi tidak paham). Inilah yang TERJADI.
Untuk itu, akreditasi tidak boleh menjadi hantu. Maka jauh-jauh hari harus disiapkan dengan beberapa langkah.
Pertama, jalankan fungsi manajemen di lembaga pendidikan. Mengelola lembaga pendidikan tidak dapat seenaknya sendiri. Ada standar dan harus mematuhi aturan. Minimal lembaga menjelaskan planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan) dan controlling (pengendalian).
Kedua, siapkan semua borang fisik dan metafisik (digital) maksimal 2 tahun sebelum akreditasi. Mengapa ini penting? Karena persiapan akreditasi jika ingin mendapat nilai unggul harus benar-benar matang datanya, siap SDM dan siap asesmen.
Ketiga, lengkapi data pada semua standar. Jika ada yang kurang, maka harus dilengkapi. Meksi kita unggul di satu standar, namun belum tentu di standar lain. Maka jangan santai-santai ketika memiliki keunggulan di satu standar, karena penilaian dari asesor itu akumulasi semua standar bukan standar yang satu dapat memenuhi standar yang lain.
Keempat, budayakan “lakukan apa yang ditulis, dan tulis apa yang dilakukan”. Kalau bahasa saya adalah “baca, tulis, kerjakan, arsipkan”. Mau tidak mau, ketika sudah “nyemplung” di dunia pendidikan formal kita harus taat administrasi dan taat arsip.
Jika semua ini dilakukan, minimal kita dapat menyambut akreditasi dengan penuh kegembiraan, bukan takut dan melelahkan. Ketika sudah dilakukan, minimal mengurangi waktu lemburan untuk menyiapkan data. Bukankah demikian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H