Hal ini telah disalahartikan oleh sebagian masyarakat, sehingga muncul hoax kalau siapapun bisa ikut mencoblos, di tps mana saja asal memiliki e-ktp. Layaknya virus, hoax ini pun kemudian di beberapa tempat bermutasi, hingga dikaitkan dengan potensi penyalahgunaan suara warga asing, sampai dikaitkan juga dengan masalah pendataan pengguna operator seluler.
Hoax terkait DPK bukan saja mempengaruhi opini masyarakat, tapi juga telah merepotkan penyelenggara di tingkat lapangan (di tingkat Desa/Kelurahan dan juga TPS). Banyak pemilih dari luar wilayah yang tiba-tiba saja datang ingin ikut memilih, hanya dengan menunjukkan Ktp-el. Ini jelas menghambat tahapan pungut hitung. Bahkan, bisa saja berpotensi pemilihan ulang kalau hal ini gagal dicegah oleh petugas.Â
Masih banyak lagi hoax yang lain, misalnya hoax seputar ketentuan suara sah dan tidak sah. Ketentuan perihal suara sah dan tidak sah jelas diatur oleh PKPU, namun menjelang pemilihan hingga tepat di hari pemilihan, banyak hoax beredar (umumnya melalui pesan berantai di whatsapp) yang dibuat seakan-akan info resmi dari KPU, padahal bukan.Â
Hal ini cukup memusingkan petugas KPPS, PTPS maupun saksi di tingkat TPS. Tidak jarang adanya hoax melalui pesan berantai ini memicu perdebatan, dan pada ujungnya adalah menghambat proses pungut hitung. Dan bukan tidak mungkin, hal ini ikut berperan dalam terjadinya waktu kerja di TPS yang melampaui perkiraan normal.
Peserta Pemilu
Peserta Pemilu di sini bisa diartikan Parpol, Caleg (DPD, DPR RI, DPR Provinsi, DPRD) maupun Pasangan Calon yang menjadi peserta pemilihan. Â Hoax bukan saja merugikan peserta pemilu pada saat pemilihan, tapi juga dalam jangka panjang.Â
Stigma negatif bisa mengurangi kredibilitas yang bersangkutan (perorangan, parpol, atau paslon) hingga jauh setelah pemilu berakhir. Padahal kita tahu, dukungan masyarakat akar rumput juga dibutuhkan bukan saja dalam pemilihan.
Tim Kampanye dan Simpatisan
Disadari atau tidak, tim kampanye dan peserta pemilu sering dirugikan oleh adanya hoax. Meski sepintas kadang hoax seakan menguntungkan calon/paslon tertentu, kenyataan bisa berakibat sebaliknya.Â
Sekedar contoh, adanya hoax tentang tingkat dukungan atas peserta pemilu tertentu di suatu wilayah, bisa menimbulkan kesesatan informasi, manakala angka dukungan itu tidak nyata (lebih kecil).Â
Kita mungkin masih ingat sejumlah peristiwa, dimana ada peserta pemilu yang telah mengklaim kemenangan, tapi ternyata tidak sesuai dengan hasil penghitungan oleh KPU, dan berakhir kecewa.