Aku baru tahu bahwa gadis berhijab yang kutemui tadi pagi ternyata adalah tetangga baruku. Ternyata gadis itu buta. Aku jadi merasa bersalah sudah membentaknya tadi pagi. Meski malu-malu, akhirnya kuberanikan diri juga mendekatinya sore itu saat kulihat gadis itu sedang duduk sendirian di ayunan halaman rumahnya.
“Hai.. Hm.. Aku Hilyah, yang tadi pagi tabrakan sama kamu,”sapaku sangat kaku.
“Oh.. Hilyah, ya? Saya Raihanah, panggil Hanah saja,”kata Hanah sopan seraya mengulurkan tangannya yang arahnya tidak tepat ke arahku. Kasihan, dia kan buta..pikirku. Tanpa buang waktu, akupun menyambut uluran tangannya yang begitu hangat. Dengan sangat ramah ia lalu mempersilahkanku duduk di dekatnya.
“Anuu.. Maaf, ya? Tadi pagi aku kasar sama kamu,”ucapku merasa bersalah.
“Iya, tidak apa-apa. Saya juga yang salah karena tidak berhati-hati. Maaf ya..”kata Hanah seraya tersenyum. Wah, cantiknya gadis ini walau ia tidak bisa melihat, gumamku.
Itulah awal perkenalanku dengan Hanah, kami pun akrab. Hanah yang humoris, lemah lembut dan baik hati membuatku sangat nyaman bersamanya. Kedekatanku dengannya membuat rasa parnoku hilang terhadap para perempuan bergamis dan berjilbab besar yang biasanya identik dengan kata ‘teroris’ di media, padahal kan sebenarnya tidak semua perempuan berhijab besar seperti itu. Hal yang membuatku sangat kagum, ketika kutahu dari Milah bahwa Hanah baru saja menyelesaikan hafalannya, 30 juz. Hah.. Kok bisa?, tanyaku.
“Nah, sejak kapan kamu mulai istiqamah berjilbab?”Aku bertanya penasaran, sore itu.
“Alhamdulillaah, sejak masih SD dulu. Kalau Hilyah, sejak kapan?”jawab Hanah sembari balik bertanya. Wajahku serasa langsung merah padam karena malu.
“Ngg.. Aku belum istiqamah berjilbab, Nah. Cuma berjilbab kalau ke acara tertentu dan pas hari raya,”jawabku tersendat. Kulihat ekspresi terkejut dari wajah Hanah dan Milah.
“Lho.. Kenapa Kak? Jilbab kan ciri khas seorang muslimah! Memangnya Kakak tidak malu kalau ada orang yang mengira Kakak non-Islam karena kakak tidak berjiilbab?”tanya Milah. PLAK! Untuk yang kedua kalinya, aku merasa tertampar keras dengan kalimat bocah yang usianya di bawah usiaku. Yang pertama kalimat Syamil, kedua kalimat Milah.
“Anu.. Kakak belum siap Dek.. Kakak ingin menjadi shalihah dulu baru istiqamah berjilbab,”jawabku kikuk, wajahku sepertinya sudah memerah bak tomat matang siap panen.