Entah berapa kali sudah saya ke Poso. Walhasil, hari Minggu kemarin (18/3/2012) menjadi kunjungan ke Poso yang tak biasa, karena penyanyi Inggris peraih enam penghargaan di ajang Grammy Award 2012, Adele, ternyata hadir di Poso. Di salah satu kios telepon seluler dengan jasa tambahan “suntik” MP3, yang letaknya tepat di depan Pasar Sentral Poso, lagu Someone Like You milik Adele diputar kencang. Saya bahkan bisa mendengar jelas suara merdu Adele meski berjarak 30 meter dari kios seluler itu. Saya pun heran atas dua perkara: (1) lagu Adele itu ternyata juga bisa dinikmati oleh masyarakat Poso; dan (2) sang empu kios tak hirau pun tak khawatir bahwa, di luar sana, boleh jadi masih ada kelompok tertentu yang menaruh anggapan: menguping suara perempuan bernyanyi sama dengan melakukan maksiat. Sambil terus berjalan menuju penginapan, yang artinya juga semakin jauh dari suara Adele, saya tersadar bahwa Someone Like You yang diputar kencang itu adalah tanda masyarakat Poso tak se-ndeso yang saya kira. Meski di satu-dua sudut Kota Poso masih tampak bekas-bekas kerusuhan yang dulu pernah ada, proses pemulihan sekaligus perbaikan persepsi sosial-religius di Poso terus berjalan seiring dibukanya beberapa perguruan tinggi baru dan masuknya koneksi internet. Meski jaringan seluler yang tersedia di Poso masih di level 2G, toh, itu sudah bisa digunakan untuk mengakses internet lewat telepon genggam. Tak sedikit pula saya menemukan pemuda-pemudi Poso kini bersenjatakan ponsel pintar jenis Blackberry di genggaman mereka. Perlahan, namun pasti, masyarakat Poso bergabung kembali menjadi bagian masyarakat global. Suatu kali, sosiolog Inggris yang fasih berbicara perkara globalisasi, Anthony Giddens, heran bukan main ketika mendapati film Basic Instinct justru tayang lebih dulu di Afrika; ketika film itu bahkan belum lagi tayang di Negeri Kate Middleton. Ini terjadi di tahun 1990-an, di mana koneksi internet tampaknya belum lagi ada di Afrika. Segera setelah itu, Ginddens membuka narasi buku fenomenalnya, Runaway World, lewat cerita Basic Instinct Afrika. Seperti Giddens, saya pun memulai tulisan ini dari kisah heran terhadap secuil mode kontemporer di Barat yang begitu cepat menyebrang ke tempat terpencil di Indonesia. Namun, yang membedakan saya dan Giddens adalah: keheranan Giddens itu tampak wajar, mengingat fenomena itu terjadi di era dan di tempat tanpa internet, sementara keheranan saya justru di luar wajar, karena ini terjadi di tahun 2012, di mana delapan puluh persen wilayah Indonesia sudah terselimuti internet. Akhirnya, ya, harus disebut di sini bahwa Giddens memiliki rasa heran khas filsuf, sedangkan saya memiliki rasa heran khas goblok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H