Mohon tunggu...
Nur Ahsan
Nur Ahsan Mohon Tunggu... -

Alumni PPs UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, jurusan Aqidah Filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku: Steve Jobs

17 Januari 2012   08:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:47 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Steve Jobs Penulis: Walter Isaacson Penerjemah: Word++ Translation Service & Tim Bentang Penerbit: Penerbit Bentang Tahun: 2011 Gila kendali. Dua kata inilah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Steve Jobs. Baginya, setiap produk Apple Computer tidak sekedar temuan teknologi, tapi sebuah karya seni bernilai tinggi. Jobs menganggap, menambahkan perangkat keras atau perangkat lunak pada produk teknologi Apple sama dengan laku anak jalanan yang menambahkan coretan di lukisan karya Pablo Picasso. Itu jelas haram hukumnya. Inilah yang menjadi alasan mengapa Jobs menutup rapat kode sumber (source code) program serta perangkat keras setiap produk Apple, meski jiwa pemberontak khas peretas (hacker) juga eksis di dalam dirinya. Naam, Jobs adalah seorang teknolog piawai cum seniman sejati. Tentu saja, ia juga seorang perfeksionis. Ia menuntut kesempurnaan meski harus berdebat dengan anggota tim produksi Apple. Ketika komputer Macintosh dalam tahap produksi, kepada James Ferris, direktur layanan kreatif, Jobs berkeras, “Kita harus membuatnya terlihat klasik sehingga tidak ketinggalan zaman, seperti Volkswagen Beetle.. seni besar menciptakan selera, bukan mengikuti selera.. Itulah yang harus kita lakukan dengan Macintosh.” Jobs tidak hanya menuntut kesempurnaan di sisi tampilan luar produknya, dan ini yang paling ekstrim, ia pernah memaksa timnya untuk mengubah tampilan memori yang akan mereka gunakan di Macintosh, meski bagian tersebut tak akan terlihat oleh konsumen. “Bagian itu sangat indah. Namun lihatlah chip memorinya. Jelek sekali. Garisnya terlalu berdekatan.. Aku ingin agar memori chip itu dibuat seindah mungkin, meskipun tempatnya berada di dalam kotak. Seorang tukang kayu yang hebat tidak akan menggunakan kayu jelek untuk membuat bagian belakang sebuah lemari, meskipun tak seorang pun akan melihatnya,” tegas Jobs. Jika timnya mulai menentang idenya, Jobs spontan melakukan serangan balik dengan jurusnya yang sangat menakutkan dan terkenal di kalangan orang-orang terdekatnya, yaitu distorsi realitas lapangan; sebauh istilah yang diambil dari film Star Trek oleh salah seorang tim Macintosh, Bud Tribble, untuk sekedar memperhalus fakta bahwa Jobs suka membohongi kenyataan di lapangan dan memaksa orang lain agar percaya dengan apa yang ia yakini. “Jika sebuah argumen yang dia gunakan tidak berhasil membujuk orang lain maka dia akan dengan sigap menggantinya dengan argumen lain. Terkadang, dia akan membuatmu merasa kehilangan keseimbangan secara medadak, menjadikan pendapatmu sebagai pendapatnya sendiri, tanpa menyadari bahwa dia pernah memiliki pendapat yang berbeda,” kenang Andy Hertzfeld. Sampai di sini, maka harus pula disebut bahwa Jobs juga merupakan pribadi keras kepala yang lebih percaya pada intuisinya dan tak mau tunduk begitu saja pada kenyataan. Ketika seorang wartawan menanyakan, apakah Jobs melakukan survei terlebih dahulu sebelum melepas sebuah produk, dengan enteng ia menjawab, “Apa Alexander Graham Bell melakukan penelitian pasar sebelum dia menemukan telepon?” Perpaduan dalam diri Jobs, antara keahlian di bidang teknologi, seni, dan sifat keras kepala ketika memperjuangkan keyakinan inilah yang membuat setiap orang berdecak kagum terhadap produk Apple. Ia tidak saja menjual teknologi canggih, namun juga menjual keindahan dalam satu kesatuan utuh dan tak terpisahkan. Hal ini juga yang menjadikan produk Apple sebagai standar bagi produsen lainnya dalam menciptakan teknologi serupa. Apple dan Jobs tidak sekedar mengubah kecenderungan teknologi, tetapi juga mengubah nilai dalam peradaban kita. Dan, ya, orang-orang hebat selalu lahir dari kemampuan melaraskan langkah otak kiri dan otak kanan, meski mereka tak selalu menjadi pemenang. Biografi Paripurna Banyak buku berbahasa Indonesia yang ditulis tentang Steve Jobs, namun inilah buku biografi Jobs yang paling lengkap. Semua sisi hidup Jobs diceritakan kembali dengan apik oleh Walter Isaacson, dan Jobs sendiri yang memilihnya. Di mata Jobs, Isaacson sangat piawai membuat orang lain berbicara. Ia merujuk pada buku-buku biografi tokoh terkemuka yang ditulis oleh Isaacson sebelumnya, yakni Einstein: His Life and UniverseBenjamin Franklin: An American Life, serta Kissinger: A Biography. Dalam melakukan penyusunan buku ini, Isaacson melakukan lebih dari empat puluh kali wawancara dengan Jobs selama dua tahun serta mewawancarai lebih dari seratus anggota keluarga, sahabat, musuh, pesaing, dan kolega Jobs. Yang mengejutkan, Jobs justru menolak membaca naskah biografinya sebelum diterbitkan. Namun, ketika tahu bahwa Isaacson mewawancarai orang-orang yang pernah ia sakiti, ia pecat, dan marahi, Jobs tampak gelisah. Tetapi, pada akhirnya, Jobs jugalah yang menyarankan agar orang-orang tersebut berbicara pada Isaacson. “Aku telah melakukan banyak sekali hal yang tidak membanggakan, seperti membuat kekasihku hamil ketika aku berusia 23 tahun dan cara aku mengatasinya. Tetapi, aku tidak memiliki fakta memalukan yang harus disembunyikan,” terang Jobs. Buku ini terbit pertama kali tak lama setelah Jobs Wafat di penghujung tahun 2011; sebuah momentum pasar yang sangat tepat yang dipilih oleh penerbit Simon & Schuster di New York. Segera setelah edisi berbahasa Inggris diterbitkan, anyak penerbit di dunia yang berusaha mendapatkan hak penerjemahan buku ini, tak terkecuali di Indonesia. Di sini, hak terjemahan di dapatkan oleh salah satu anak perusahaan penerbit Mizan, yakni Bentang Pustaka. Karena tak ingin ketinggalan momentum pasar, proses penerjemahan dan penerbitan ke dalam bahasa Indonesia lantas dikebut. Tak tanggung-tanggung, Word++ Translation Service dimanfaatkan dan Tim Bentang berkerja keroyokan untuk itu. Hasilnya, tidak begitu sempurna. Ada pengulangan kata “oleh” di halaman 214. *Review ini juga saya post-kan di Nombaca | Bantu Literasi Kota Palu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun