Nutrisi memegang peran sentral dalam mewujudkan kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera. Hal ini karena kecukupan nutrisi digunakan untuk menopang kehidupan yang produktif. Tanpa nutrisi yang mencukupi upaya untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bermartabat akan sulit terwujud.
Untuk itu keberhasilan dalam pembangunan kesehatan nasional sangat bertumpu pada bagaimana kita bisa memberikan perhatian pada nutrisi dalam keluarga, terutama pada anak-anak dalam masa tumbuh kembang. Nutrisi menyediakan fondasi yang kokoh untuk mencapai kehidupan yang sehat, keberhasilan dalam dunia pendidikan, dan kehidupan yang produktif untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Maka jelaslah kekurangan nutrisi akan memberikan dampak buruk yang signifikan pada kesehatan individu dan masyarakat. Ibu hamil yang tidak cukup gizi akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah yang berakibat akan memiliki resiko terhadap berbagai penyakit yang mengancam kelangsungan hidup anaknya. Demikian pula, para gadis yang yang kekurangan gizi beresiko tidak mampu mengandung dan melahirkan anak yang sehat.
Dengan demikian kekurangan gizi ini akan menciptakan lingkaran jahat (vicious circle) yang lebih jauh, karena kondisi ini akan menghambat tumbuh kembang anak hingga dewasa. Pada gilirannya kondisi ini akan menghasilkan individu-invidu yang kurang produktif ketika mereka beranjak dewasa, dan bahkan bisa menjadi beban pembangunan.
Menyikapi tantangan pembangunan gizi
Kondisi yang tidak menguntungkan dalam bidang gizi ini perlu dijawab oleh semua pemangku kepentingan pembangunan, tidak terbatas pada sektor kesehatan saja. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang lebih baik tidak akan memiliki landasan yang kokoh untuk bertahan lama tanpa ditopang kecukupan gizi yang memadai.
Oleh karena itu pembangunan kesehatan merupakan merupakan investasi utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan berdaya saing. Hal ini menjadikan isu malnutrisi masih menjadi ancaman kesehatan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia. Masalah gizi, baik itu gizi kurang atau gizi lebih, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit lain, khususnya risiko terjadinya penyakit tidak menular seperti anemia
Tujuan dari webinar ini adalah untuk mendorong masyarakat Indonesia memperhatikan nutrisi dan gizi agar kesehatan masyarakat Indonesia terus meningkat dan memutus rantai anemia lintas generasi.
Dalam paparannya Dr Diana Sunardi, mengatakan saat ini Indonesia menghadapi tiga beban masalah nutrisi dan gizi (triple burden) yaitu stunting, wasting dan obesitas serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia.
Hal ini menunjukkan malnutrisi tidak hanya merupakan persoalan yang membelit kelompok berpendapatan rendah dan mereka yang menetap di wilayah rawan pangan, tetapi juga kelompok rumah tangga kaya di wilayah perkotaan.
Stunting adalah pertumbuhan yang tidak sesuai dengan pertambahan umur. Kondisi ini masih menjadi masalah besar karena pada tahun 2018 angka stunting di Indonesia menurut data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar yang dijalankan oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI) mencapai 30,8n menempatkan Indonesia pada pringkat ke-4 dunia.
Temuan ini sungguh memprihatinkan untuk dicatat karena ternyata pertumbuhan ekonomi yang relatif cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini tidak serta merta paralel dengan kemajuan dalam kondisi gizi masyarakat.
Pada kasus stunting dan anemia balita dan anak, menurut Dr Diana, Anemia Zat Besi (ADB) bermula dari kekurangan zat gizi mikro pada 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Lebih lanjut beliau mengatakan kondisi ADB pada kehamilan usia remaja juga sangat rentan terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi.
Maka, Dr Diana berharap agar skala prioritas perbaikan nutrisi dan gizi untuk mencegah stunting dilakukan pada 1000 HPK. Kekurangan nutrisi dan gizi akan berpengaruh jangka pendek dan jangka panjang pada tiap-tiap tingkatan generasi.
Tiga beban nutrisi dan gizi menjadi ancaman terbesar bagi Indonesia karena berdampak terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Padahal, globalisasi sudah berjalan dengan persaingan yang ketat dan tentunya sangat ditentukan oleh kualitas SDM yang kita miliki.
Sedangkan data mengenai anemia menunjukkan 48,9% ibu hamil, 32% remaja berumur 15-24, dan 38,5 balita mengalami anemia. Secara umum sekitar 50-60% anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi atau biasa disebut Anemia Zat Besi (ADB).
Dampak buruk ADB pada anak akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak sampai remaja yang akan menurunkan tingkat aktivitas fisik, motorik, menurunkan daya kreativitas serta meningkatkan risiko infeksi. Sedangkan pada kasus remaja, ADB dapat menurunkan produktivitas and kemampuan akademis.
Lebih lanjut, kondisi ADB yang terjadi pada penderita membawa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang bagi tiap-tiap generasi. Jika ditarik benang merah, kondisi ini merupakan ancaman besar mengingat dampaknya terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Dr Diana Sunardi mengingatkan seorang perempuan hamil dengan kondisi ADB akan beresiko melahirkan bayi dengan berat badan rendah (BBLR), stunting, komplikasi saat melahirkan dan risiko lain yang mengancam jiwa si ibu. Padahal kondisi ADB sendiri dapat terjadi lintas generasi dan dapat diturunkan sejak remaja, ibu hamil, anak dan seterusnya.
"Intervensi melalui pemenuhan nutrisi dan edukasi secara menyeluruh merupakan upaya yang dapat dilakukan dalam memutus mata rantai anemia baik di lingkup individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat. Pada anak di atas satu tahun, pencegahan anemia dapat dilakukan dengan memberikan gizi seimbang termasuk pangan makanan dan minuman yang mengandung zat besi maupun mikro nutrien lain yang mendukung penyerapan zat besi seperti vitamin C.
Sedangkan pada remaja dapat dilakukan melalui penanaman pola hidup sehat, yaitu mengonsumsi makanan yang bersih, sehat, dan bergizi seimbang. Selain itu juga dapat diberikan suplementasi tablet tambah darah (TTD). Tablet tambah darah ini adalah suplemen gizi dengan kandungan zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 400 mcg asam folat," ungkap Dr Diana.
Sekedar flash back masa lalu. Saya sendiri terkena anemia sejak remaja. Badan saya sering terasa lemas kalau kecapekan. Maka saya harus menghentikan apapun aktivitas yang saya lakukan untuk beristirahat dan minum suplemen TTD. Nyaris saya tidak pernah lepas dari suplemen tambah darah (TTD) ini untuk mengimbangi aktivitas saya dan berjaga-jaga ketika anemia kambuh. Ketika kuliah di Yogja, saya sering bawa suplemen TTD. Bahkan ketika saya hamil anak pertama di Amerika, dokter pun memberi saya suplemen TTD.
Padahal saya sudah berusaha makan yang banyak mengandung zat besi, baik yang berasal dari hewan maupun sayuran. Namun ketika kondisi badan sedang turun, saya harus istirahat. Lucunya, saya berusaha mencari TTD yang persis saya minum dulu, mereka bilang tidak ada. Saya sedikit kaget, karena saya bertahun-tahun minum TTD itu.
Danone Indonesia Galang Kerja Sama dengan Berbagai Pihak
Sejalan dengan visi Danone "One Planet, One Health", Arif Mujahidin, Corporate Communication Director Danone Indonesia mengatakan bahwa Danone Indonesia berusaha memasyarakatkan masalah kesehatan ke semua lapisan masyarakat Indonesia melalui kecukupan nutrisi, hidrasi yang sehat serta program berkelanjutan.
Untuk mewujudkan komitmen dalam menjalankan programnya, maka Danone Indonesia menggalang kerja sama dengan berbagai pihak. Berikut beberapa kerja sama yang sudah dilakukan:.
Kerja sama Danone dengan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) menghasilkan buku panduan Generasi Sehat Indonesia(GESID) sebagai upaya untuk merangkul remaja usia sekolah. GESID terdiri atas 3 modul untuk remaja SMP dan SMA, yaitu Aku Peduli, Aku Sehat, dan Aku Bertanggung Jawab. Modul-modul ini membahas kesehatan reproduksi, peran gizi bagi kesehatan dan kualitas hidup, anemia bagi remaja putri dan wanita usia subur, pencegahan pernikahan dini serta remaja berkarakter. "Program ini telah melaksanakan pilot project dengan 20 Guru Pendamping dan 60 Murid SMP & SMA sebagai Duta GESID2020," ungkap Arif.
Selain program GESID, komitmen Danone Indonesia untuk memperluas edukasi tentang gizi dan kesehatan diwujudkan melalui berbagai program. Selama bertahun-tahun, Danone Indonesia telah mendukung 4 fasilitas pendidikan yang berfokus pada kesehatan dan gizi di Taman Pintar, Yogyakarta. Melalui program Duta 1000 Pelangi, Danone Indonesia memberikan bantuan kepada karyawan dan masyarakat sekitar tentang masalah gizi dan kesehatan dalam 1.000 hari pertama kehidupan dengan menjadikan karyawan sebagai duta kesehatan.
Untuk mengatasi masalah defisiensi mikro nutrien, Danone Indonesia juga gencar melakukan Aksi Cegah Stunting, Gerakan Ayo Minum Air (AMIR), Kampanye Isi Piringku, dan program Warung Anak Sehat yang memberdayakan pengelola kantin sekolah untuk menyediakan pangan sehat bagi siswa.
Sementara terkait Hari Gizi Nasional, Danone Indonesia bekerja sama dengan Indonesian Nutrition Association (INA) memperluas upaya promotif preventif mengatasi anemia lintas generasi melalui serangkaian acara, yaitu: webinar untuk publik di Youtube Nutrisi Bangsa, serta kompetisi menulis dan fotografi untuk berbagai kategori peserta.
"Kami percaya bahwa semakin banyak pihak yang terlibat, semakin cepat kita dapat mewujudkan cita-cita pembangunan kesehatan, "kata Arif Mujahidin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H