Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Money

Kehadiran "Financial Technology" (Fintech) Menjadi Angin Segar bagi Pembiayaan UMKM di Indonesia

12 Desember 2017   12:04 Diperbarui: 12 Desember 2017   12:28 3841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberian penghargaan kepada para pemenang Danamon Entrepreneur Award 2017, yaitu Adrian, Marshall dan Nike Lidiyastuti (dok: Kompasiana)

Nama Fintech sudah tidak asing lagi di telinga saya. Beberapa kali saya datang untuk mnghadiri diskusi tentang Fintech ini, baik oleh pelaku industri kreatif maupun oleh Bank Indonesia. Mereka  menganggap bahwa kelahiran Fintech adalah suatu keniscayaan dan bukan penghambat dari kemajuan bank-bank konvensional. Namun keduanya bisa saling bersinergi dalam membantu  pembiayaan bagi UMKM dan industri kreatif yang membutuhkan.

Beruntung saya bisa hadir pada acara Danamon Entrepreneur Share yang digagas oleh Bank Danamon dan Kompasiana pada acara Fintech Solusi Literasi di Era Digital yang diadakan di Menara Bank Danamon, 7 Desember 2017 yang lalu. Hadir sebagai narasumber Adrian dari Investree.id dan Marshall dari Privy.id

Tidak bisa dipungkiri bahwa sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) merupakan salah satu motor penggerak perekonomian Indonesia. Bahkan sekarang menjadi perhatian dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini karena jumlah pelaku UMKM di Indonesia dilaporkan  telah mencapai 49 juta dan diperkirakan  menyerap lebih dari 107 juta tenaga kerja. Suatu jumlah yang tidak kecil tentunya. Demikian juga kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin meningkat dalam lima tahun terakhir. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat lonjakan dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen di tahun 2016.

Di tengah perkembangan  UMKM, industri ekonomi kreatif juga mengalami peningkatan yang positif. Tercatat antara  tahun 2010 - 2013 pertumbuhannya mencapai 5,6 persen. Industri ini juga  telah menyumbang terhadap Produk Domestik Brutto 7,1 persen dan berhasil menyerap sekitar 12 juta tenaga kerja. Tiga subsektor yang memberikan kontribusi paling besar untuk pendapatan nasional adalah kuliner, fashion, kerajinan.

Bayangkan jika pemerintah bisa menggerakkan semua potensi dari berbagai sektor industri kreatif lainnya maka hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat lagi. Ke depannya, industri kreatif diyakini akan menjadi primadona. Ada tiga alasan yang mendasari keyakinan tersebut, yaitu hemat energi karena lebih berbasis pada kreativitas, lebih sedikit menggunakan sumber daya alam, dan menjanjikan keuntungan lebih tinggi.

Oleh karena itu diharapkan industri kreatif menjadi salah satu andalan untuk mendorong peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga bisa berperan dalam memerangi pengangguran dan kemiskinan.

Meski demikian, sektor UMKM dan industri ekonomi kreatif menghadapi persaingan yang sangat ketat. Terutama setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Salah satu cara yang diambil pemerintah Indonesia dalam menghadapi MEA adalah mendorong tumbuhnya industri ekonomi kreatif untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru yang bisa memenuhi tuntutan pasar dan menjadikan Indonesia sebagai market leader di ASEAN.

Disisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga  mencatat bahwa kebutuhan akan total pembiayaan di Indonesia mencapai hampir Rp 1.700 triliun. Sementara kapasitas pembiayaan oleh industri keuangan tradisional hanya mampu menjawab kebutuhan sebesar Rp 700 triliun. Dengan demikian masih terdapat kesenjangan pembiayaan sekitar Rp 1.000 triliun yang belum terlayani oleh segmen perbankan maupun institusi finansial lainnya.

Hal utama yang menjadi kendala adalah terbatasnya akses pelaku usaha terhadap layanan keuangan. Penetrasi keuangan yang rendah membuat pelaku bisnis UMKM di Indonesia kesulitan dalam memperoleh pinjaman dana. Terlebih bagi industri kreatif dengan aset yang bersifat intangible dan kerap membuat mereka tersandung permasalahan jaminan saat ingin mengajukan pinjaman ke bank atau institusi keuangan lain demi membiayai berbagai kebutuhan perusahaannya.

Oleh karena itu lahirnya financial technology (Fintech) atau sering juga disebut dengan  peer-to-peer lending (p2p lending), yang didukung oleh kekuatan teknologi, menjadi angin segar bagi solusi pembiayaan bagi para UMKM dan industri kreatif lainnya. Yaitu sebagai penghubung antara pihak yang membutuhkan pinjaman (borrower) dan pihak pemberi pinjaman (lender) untuk tetap produktif.

Dengan sistem atau alur pendanaan yang lebih mudah dan cepat, serta bunga yang kompetitif menjadikan  Fintechsebagai solusi pendanaan yang tepat bagi segmen kreatif dan industri padat modal lainnya yang belum tersentuh oleh bank. Hal ini seiring dengan tumbuh kembangnya model bisnis sharing economy di Indonesia, terutama yang berbasis teknologi.

Tingginya antusiasme peserta pada acara Workshop Financial Technology (doc: Kompasiana)
Tingginya antusiasme peserta pada acara Workshop Financial Technology (doc: Kompasiana)
Banyak bentuk pembiayaan yang ditawarkan oleh pelaku usaha fintech saat ini. Beberapa diantaranya adalah pembiayaan mikro atau modal kerja, consumer loan, dan crowdfunding. Namun salah satu bentuk pembiayaan yang menarik dan dapat dimanfaatkan oleh para pelaku industri kreatif, adalah invoice financing atau pembiayaan tagihan.

Hal ini karena arus kas (cash flow) seringkali menjadi kendala operasional bagi para pelaku usaha di bidang ini. Mereka kerap kesulitan untuk memelihara arus kas yang lancar dan lebih jauh mengembangkan bisnisnya karena terbentur syarat peminjaman dana dengan terbatasnya fixed asset collaterals yang dimiliki.

Melalui invoice financing, pelaku usaha dapat menjaminkan tagihan yang sedang berjalan dan memperoleh pinjaman secara mudah, cepat, dan aman tanpa khawatir cash flow terganggu. Suntikan modal ini membantu UMKM untuk memastikan bisnisnya bisa berjalan dengan lebih baik.

Di sisi lain, para lender bisa memperoleh hasil yang menarik sambil turut berkontribusi menciptakan dampak sosial, mendorong kesejahteraan pelaku usaha dan masyarakat yang lebih merata.

Geliat sharing economy ini dapat menjadi momentum bagi Fintech dalam mendorong ekonomi yang lebih inklusif di Indonesia. Mengingat jumlah transaksi pembiayaan yang disalurkan melalui layanan fintech baru mencapai kisaran angka Rp 150 miliar. Untuk itu  diharapkan semakin banyak pemain Fintechdapat memberdayakan UMKM dan industri kreatif Indonesia secara lebih mantap.

Untuk itu dukungan pemerintah pun dibutuhkan  agar terciptanya ekosistem yang lebih sehat, mewujudkan keamanan konsumen, dan menjaga industri tidak diusik oleh keberadaan "tengkulak online" yang berkedok perusahaan Fintech.

Pemberian kenang-kenangan kepada dua narasumber, Adrian dan Marshall (dok: pribadi)
Pemberian kenang-kenangan kepada dua narasumber, Adrian dan Marshall (dok: pribadi)
Hal ini karena keberlangsungan dan integritas usaha Fintech menjadi hal yang perlu didukung baik oleh regulator maupun pelaku usaha itu sendiri. Itu semua diharapkan akan  membantu perusahaan Fintech berdiri kokoh sebagai solusi pembiayaan yang efektif sekaligus berdampak besar bagi UMKM dan industri kreatif di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun