Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengerikan Sekali Melihat Perilaku Kenakalan Remaja Saat ini (1)

29 Juni 2015   06:28 Diperbarui: 29 Juni 2015   06:28 4347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap perilaku kenakalan remaja (anak-anak). Tentunya banyak orang tua tidak mau disalahkan, apabila anak-anaknya ternyata berperilaku tidak baik menurut norma atau standard yang berlaku. Banyak orang tua  menganggap kalau mereka sudah memberikan perhatian dengan memberinya uang saku, membelikan mainan dan gadget atau sekarang dengan mengikutkan anak-anaknya ikut les, kelas tambahan, mengikutkan di TPA yang diadakan oleh mesjid di sekitar rumahnya atau menyekolahkan anak mereka di sekolah agama. Jadi wajarlah kalau mereka (orang tua) menolak jika disebut tidak memperhatikan anak-anaknya.

Begitu juga sekolah, saya yakin akan menolak untuk disalahkan apabila anak didiknya berbuat yang tidak baik setelah mereka pulang sekolah (di luar jam belajar).  Di pihak sekolah, selama anak didiknya tidak mencontek atau nakal di sekolah, maupun tidak berkelai sesama temannya, maka tenang dan amanlah pihak sekolah. Sedangkan mengenai perilaku di luar jam sekolah, itu bukan menjadi tanggung jawabnya.

Saya sungguh tidak tahu apakah sekolah juga mengajarkan kepada anak didiknya  bagaimana berbudi pekerti (berakhlak) yang baik terhadap siapa saja, termasuk berperilaku dengan tetangga atau lingkungan di luar jam sekolahnya. Karena saya tahu porsi keberadaan anak-anak di sekolah relatif singkat, dibanding keseharian mereka setelah selesai sekolah. Jadi sisanya anak-anak akan berada di rumah dan lingkungannya, termasuk bergaul dengan teman-temannya. 

Itulah sebabnya banyak orang tua lebih menyalahkan kenakalan anak-anak (remaja) berasal dari lingkungan, tempat anak-anak bergaul dan berkawan, dibanding dengan kesalahan dari pola didik orang tua. Dengan begitu, para orang tua dianggap bersih dan lepas dari kesalahan, karena telah memberikan uang saku, menyekolahkannya, membelikan mainan maupun gadget yang keren.

Hal ini karena lingkungan tidak bertuan, maka dengan mudahlah disalahkan atau dikambinghitamkan. Saya pikir, inilah yang menjadi penyakit masyarakat, mengkambinghitamkan orang lain sebagai penyebab kenakalan anak-anak (remaja) yaitu hasil dari pergaulan dengan teman pergaulannya? Padahal kenyataannya porsi anak-anak (remaja) terbesar adalah lebih banyak berada di rumah dari jatah 24 jam setiap harinya.

Itulah sebabnya kenapa masih ada anak-anak (remaja) yang berperilaku baik? Tentu karena didikan orang tua, walaupun ada juga yang hasilnya kurang dan tidak baik. Jadi siapakah sebenarnya yang mesti bertanggung-jawab terhadap kenakalan anak-anak dan remaja ini?

*****

Inilah yang mau saya angkat dari kejadian yang baru saja menimpa kami, yaitu segerombolan anak-anak remaja melempari jendela rumah kami dua kali dengan batu yang besar sekali. Saya sendiri tidak tahu kenapa mereka melakukan itu pada hari Kamis dan Jum’at yang lalu. Waktu persisnya sehabis shalat Shubuh setelah jam 5:00 pagi. Kebetulan anak saya sudah sampai di rumah duluan.

Seperti biasanya dia langsung duduk di depan computer. Begitu juga saya, sehabis shalat saya duduk di depan computer sambil mendengarkan ceramah Shubuh di mesjid, karena saya shalatnya di rumah.            

Maka kami pun sedang terjaga dan tidak tidur. Dengan pelemparan batu itu, tentunya kami sangat terganggu . Apalagi anak saya seumur hidup tidak pernah  menerima terror seperti ini.

Celakanya yang melakukan adalah anak-anak setingkat SMP dengan mengerahkan anak-anak kecil, yang berjumlah sekitar 7 - 10 orang. Karena kejadian itu masih gelap, maka saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa-siapa dari mereka. Tapi dari suaranya saya memang hafal beberapa diantara mereka, karena mereka sering main games di rumah saya. Cuma kenapa anak-anak kecil mau dibujuknya, saya sendiri tidak tahu. Bahkan ada beberapa anak yang bersekolah dengan berafiliasi agama.

Jadi saya pun mempunyai tanda tanya, seberapa besar pengaruh sekolah (atau sekolah agama) terhadap perubahan perilaku anak didiknya?

Singkat cerita, saya rangkum sebagai berikut.

Hari Pertama, yaitu Kamis tanggal 25 Juni 2015

Setelah terror pelemparan batu ke jendela rumah kami, saya dan anak saya  langsung keluar dan saya tahu beberapa dari mereka adalah anak kecil. Salah satu dari mereka bilang, “bukan saya.” Tapi bagaimana saya tahu pelaku yang sebenarnya karena hari masih gelap. Maka dialah yang saya pakai sebagai kunci utama untuk sementara. Apalagi dia adalah cucu dari seorang pemuka agama di daerah kami.

Hari  kedua, yaitu Jum’at tanggal 26 Juni 2015

Pada hari berikutnya, yaitu Jumat pagi hari, mereka masih melakukan aksinya. Sebelum  beraksi, mereka ngobrol dulu di bangku depan rumah kami. Dari situ kami bisa mengenal beberapa suara dari gerombolan tadi. Kami tidak menaruh curiga atau berburuk sangka kalau mereka akan melakukan aksinya lagi. Maka saya tidak buru-buru keluar dan membiarkan mereka tetap ngobrol di depan rumah kami.

Tidak saya duga setelah mereka selesai ngobrol, langsung melempar jendela rumah saya dan  mereka lari berhamburan, karena takut ketahuan oleh saya siapa pelakunya. Saya yang tidak menyangka mereka akan melakukan aksinya lagi, langsung keluar. Saya tentu marah, apalagi ini untuk yang kedua kalinya. Saya coba tengok kanan kiri sudah tidak melihat gerombolan anak-anak tadi, tapi dari suaranya saya tahu persis beberapa dari mereka.

Inilah Reaksi Saya

Tidak berapa lama dari kejadian itu, saya mendatangi mesjid dengan harapan saya bisa melaporkan kejadian tadi kepada pengurus, karena beberapa diantara mereka adalah murid TPA (Taman Pengajian Al Quran) di mesjid tersebut. Sayangnya semua pengurus sudah pulang, yang tersisa tinggal 2 (dua) orang yang sedang merapikan kembali mesjid. Salah satu dari petugas menyarankan untuk melaporkan ke RT saja, karena mereka berdua hanya jamaah yang bertugas untuk bersih-bersih.

Terus saya bilang, bukankah Bapak bisa melaporkan juga ke pengurus mesjid atau guru-guru ngaji untuk mengajarkan hal-hal yang tidak mengganggu tetangga. “Masak anak-anak rajin shalat di mesjid, tapi kelakuannya sangat memalukan dan mengganggu ketentraman lingkungan. Apakah ini yang diajarkan di mesjid?, saya bilang begitu. Namun dia tetap tidak mau menerima pengaduan, katanya masalah ini bukan wewenangnya.

Saya pergi dengan hati yang sedikit mendongkol tentunya, karena pengaduan saya tidak ditanggapi. Saya langsung pulang dan kontak Ketua RT (Ibu RT) dimana saya sebagai warganya. Saya bilang mau ke rumah sebentar. Saya tunggu beberapa menit, masih belum memperoleh balasan. Akhirnya saya datangi rumahnya, berharap saya bisa langsung ketemu.

Eh lampu rumahnya mati, berarti orangnya mungkin sedang tidur. Memang bulan puasa enaknya tidur lagi sehabis shalat Shubuh dan ini wajar dimana-mana. Apalagi malam sering tidurnya telat, sehingga wajarlah pagi terus disambung tidurnya. Saya pun memakluminya, tapi hari itu adalah Jum'at, saya pikir dia perlu bersiap-siap untuk bekerja.

Karena saya tidak ingin pulang dengan tangan hampa, maka saya coba menelponnya dan diangkatlah olehnya. Saya bilang mau ketemu sebentar, bisa nggak? Dia bilang okay, akhirnya  saya bisa ketemu dan menceritakan kejadian yang baru saja terjadi tadi pagi. Kebetulan salah satu pelakunya adalah penghuni rumah Bu RT ini, sebagai salah satu anggota dari keluarga besarnya.

Saya bilang saya tahu persis kalau anak  ini ada dan masuk dalam gerombolan tadi, karena saya hafal dengan suaranya. Tapi bu Ketua RT bilang, jangan seenaknya menuduh kalau tidak ada bukti. Suara saja tidak bisa dijadikan bukti, kalau dia ikut dalam gang itu. Saya tetap ngotot dia terlibat, karena suaranya jelas sekali dari jendela saya, makanya saya tidak meragukan itu. Karena bu RT ini merasa terpojok, akhirnya dipanggillah si anak tadi dan dipertemukan dengan saya.

Dasar anak ini pinter sekali berbohong dan sudah terkenal sering membuat onar dan termasuk anak yang nakal. Maaf suka mencuri di berbagai tempat, termasuk juga mencuri sandal pelanggan di rumah saya. Maka ketika di depan saya pun dia mengelak. Dia bilang cuma lewat depan rumah saja, terus pulang dan tidur-tiduran di rumah temannya. Pokoknya dia mengelak kalau dia ikut ngobrol dengan  teman-temannya di depan rumah saya. Karena saya tidak ada bukti gambar dan tidak ketemu langsung, maka saya pun hanya bisa diam.  Dan si anak tadi kemudian  minta ijin untuk pergi dan melanjutkan tidurnya.

Saya terus melanjutkan ngobrol dengan bu Ketua RT ini dan bilang anak-anak nakal seperti itu karena kesalahan orang tua dalam mendidik anaknya. Dianggapnya setelah anak diberi uang, dibelikan mainan dan gadget sudah cukup. Para orang tua menganggap itu semua sudah bisa menggantikan perannya, tanpa perlu perhatian dari orang tua lagi. Jadi orang tua pun tidak tahu bagaimana sebenarnya perilaku anak-anak di luar rumahnya. Ketika di rumah mungkin anak-anak itu kelihatan baik dan sopan. Tapi di luar, mereka tidak peduli.

Bu Ketua RT terus menanggapi, "Bukan begitu, tahu sendiri orang Betawi.” Saya terus terang tidak tahu bagaimana orang Betawi dalam mendidik anak-anaknya atau kesibukan sehari-harinya. Dia kemudian membandingkan dengan anak tetangga yang perilaku kesehariannya juga kurang baik menurutnya. Padahal anak-anak tersebut adalah anak dari seorang pendidik. Contohnya ada, tuh anak Pak itu, lanjutnya. Anehnya, anak-anak yang dipakai sebagai pembanding tadi, setiap di rumah saya kelihatan baik dan relatif sopan.

Saya akhirnya juga menimpali dengan membandingkan anak saya. Saya bilang, "Anak saya tidak seperti itu, di dalam dan di luar rumah baik. Dia juga rajin pergi ke mesjid, dia bergaul dengan teman-temannya. Itu saya akui dan begitu anggapan banyak orang, kalau anak saya perilakunya baik." Yeah memang lain, jawab bu Ketua RT tadi.

Saya akhirnya bilang, “kalau anak-anak itu masih mengganggu kami, mau saya laporkan ke Polisi. Kebetulan saya pernah punya tetangga seorang polisi, maka itu saya pakai sebagai back up nya. Bagi saya, biar saja nanti anak-anak mau diapakan terserah. Yang jelas saya sangat terganggu oleh ulah gerombolan anak-anak ini.

Dari rumah bu Ketua RT tadi, saya kemudian pergi ke rumah Bapak Ketua RT dimana saya tinggal. Saya menceritakan kejadian yang baru saja menimpa saya. Bapak RT ini tidak percaya apa yang terjadi di rumah saya, karena saya memang tidak pernah mengadukan berbagai permasalahan mengenai keamanan. Tapi bagi saya wajarlah, karena selama ini memang tidak ada urusan administrasi dan tidak pernah mengeluh mengenai keamanan lingkungan. Apalagi rumah saya berdekatan dengan Pak Ketua RT ini. Jadi sedikit kaget mendengar cerita saya.

Saya tidak bisa berlama-lama dengan Bapak RT ini, karena ada pelanggan yang perlu dilayani oleh beliau. Tapi intinya dia sudah bisa menangkap apa yang saya keluhkan. Saya pun pamit dan berharap beliau akan menyelesaikan permasalahan yang saya hadapi dengan adanya terror pelemparan batu ini.(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun