Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Negara Kita Suka "Jalan Pintas"?

7 Juli 2013   18:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_265251" align="aligncenter" width="534" caption="Tidak Ada Jalan Pintas (doc:mobavatar.com)"][/caption] Saya sungguh suka dengan judul ini. Rasanya benar-benar menggambarkan kondisi bangsa kita sekarang ini, dimana pemerintah atas nama negara justru mengajarkan kita melakukan jalan pintas. Betapa tidak? Karena banyak sekali kalau kita mau metani satu per satu permasalahan yang ada di negeri ini, ujung-ujungnya hanya menyelesaikan masalah sesaat. Bukan malah terus mencari sumber penyakitnya untuk kemudian diobati, biar bisa sembuh total dan bebas dari penyakit sebisa mungkin. Makanya tidak heran kalau penyakit itu kambuh lagi dan mungkin malah lebih parah, karena beban negara  menjadi semakin berat. Itulah sebabnya  saya kadang bingung melihat jalannya negara ini. Bukan apa-apa, tapi karena sering jalannya bermuka dua. Betapa tidak? Kita disuruh mencintai produk dalam negeri, seperti ajakan dari Kementrian Perindustrian yang dipasang dengan baliho besar di jalan ke arah Lenteng Agung. Tetapi dalam kenyataannya semua produk yang ada di Indonesia adalah hasil dari impor yang menggunakan devisa negara. Bahkan sekarang ini telah mengurasnya karena neraca perdagangan kita sudah negatif, dengan banyaknya produk impor yang masuk dibanding hasil ekspor kita. Lebih mengerikan lagi kalau kita lihat di sektor pertanian dan hortikultura, dimana kita pernah mendeklarasikan sebagai negara pertanian beberapa tahun silam. Kini semua terasa sudah berbalik arah. Kita justru menjadi negara pengimpor hasil-hasil pertanian, yang konon katanya karena kurangnya pasokan. Kebijakan impor langsung turun, terutama untuk produk hortikultura. Namun, jangan sampai akhirnya kebijakan jalan pintas itu, justru menjadi obat yang mematikan petani kita sendiri. Tanah yang dulunya kita kenal dan sering disebut sebagai tanah surga, menanam apa saja bisa tumbuh. Kini pelan-pelan seakan berubah menjadi neraka yang mematikan. Bayangkan itu baru dari satu departemen, bagaimana dengan departemen yang lainnya. Tidak kalah berbeda!! Hal ini terlihat dari dirilisnya baru-baru ini oleh pemerintah daftar rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk semester II tahun ini. Produk yang termasuk dalam RIPH tersebut adalah cabai, bawang bombai, bawang merah, dan kentang. Khusus untuk komoditas cabai, yang sebelumnya pada semester I dikatakan tidak ada masalah, di semester II keran impor justru dibuka hingga 10 ribu ton. Wow! It' scary, isn't it?. Disamping itu, pasar dalam negeri kita, juga akan digelontor dengan buah-buahan impor. Untuk semester II 2013 ini yang masuk dalam daftar RIPH adalah lemon, limau, anggur melon, apel, durian, lengkeng, jeruk mandarin, pisang, dan pepaya. Bayangkan, bagaimana mungkin pepaya dan pisang masuk dalam daftar RIPH yang perlu diimpor? Padahal produksinya bisa dihasilkan sepanjang tahun tanpa ada halangan. Bahkan saya hampir setiap kali lewat Pasar Minggu, yang namanya pisang dan pepaya rasanya tidak pernah absen disana. Sangat banyak dan berlimpah jumlahnya, bahkan  sampai busuk karena kebanyakan. Mereka yang menjabat di Kementerian Pertanian memang bisa berdalih bahwa kebijakan impor itu telah melalui penghitungan produksi lokal dan konsumsi masyarakat. Namun, alasan seperti  itu rasanya tidak masuk akal dan sungguh ironis sekali. Suatu negara yang berlimpah kekayaan alamnya, termasuk hasil pertaniannya. Tapi produksi hasil pertaniannya hampir semua impor. Dimanakah kita bisa mengajak anak-anak untuk mencintai produk dalam negeri, kalau ternyata setiap harinya yang mereka lihat dan yang mereka makan adalah produk impor??? Alih-alih pemerintah merancang strategi untuk meningkatkan produksi petani dalam negeri, tapi justru jalan pintas yang pemerintah lakukan dengan cara mengimpornya. Seperti program tahunan yang harus impor saja, karena permasalahan dasarnya memang tidak pernah diperbaiki. Jangankan langkah gampangan ini bisa menyembuhkan, malah membuat para produsen hortikultura nasional, yang dikenal dengan Dewan Nasional Hortikultura kita, ikut meradang. Mereka merasa tidak diajak untuk berdiskusi oleh pemerintah. Jika pernyataan tersebut benar, berarti pemerintah memang belum menjadikan petani sebagai mitra sejati. Padahal mereka seharusnya menjadi partner yang saling membutuhkan, tapi justru para petani dibiarkan berjalan dan bergelut sendiri dengan permasalahan yang mereka hadapi. Bahkan sekarang mereka harus berhadapan dengan produk-produk dari impor yang bentuknya kelihatan lebih bagus dan besar-besar. Walaupun belum tentu kualitasnya juga yang lebih baik. Kebiasaan jalan pintas ini juga terlihat dalam polemik impor bawang ilegal, bulan Maret yang lalu. Untuk menurunkan harga bawang putih yang sudah mendekati Rp100 ribu per kilogram, pemerintah melepaskan 332 peti kemas berisi bawang putih yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Padahal, kontainer itu  tertahan karena ketidaklengkapan persyaratan impor, yakni tidak memiliki rekomendasi impor produk hortikultura dan surat persetujuan impor. Akhirnya lolos juga. Dimanakah konsistensi dari pemerintah? Sudah saatnya pemerintah menunjukkan ketegasan dan komitmen untuk melindungi sekaligus meningkatkan produksi komoditas lokal, apapun jenis produknya. Salah satu caranya adalah dengan menutup rapat-rapat keran impor untuk komoditas yang bisa disediakan petani dan masyarakat dalam negeri, sembari kita memperkuat daya tawar. Agar apa yang kita perjuangkan dan usahakan untuk mencintai produk dalam negeri tidak bertepuk sebelah tangan. Rasanya masing-masing Departemen tidak ada koordinasi didalamnya, sehingga terasa pemerintahan kita berjalan dengan dua arah. Sampai kapan masyarakat harus melihat tontonan seperti itu??? Bagaimana menurut Anda? Silakan dishare pengalaman dan ide-ide Anda? Sekedar tulisan ringan untuk mencurahkan uneg-uneg yang ada dalam pikiran, karena melihat persoalan bangsa yang terasa tidak pernah selesai. Salam Prihatin,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun