[caption id="attachment_318730" align="aligncenter" width="536" caption="Deklarasi Caleg Perempuan (doc: antaranews.com)"][/caption]
Sebagai orang yang berhak memilih, tentu penasaran siapakah calon yang pantas didukung. Tentunya sebelum memilih, saya ingin tahu siapa calon legislatifnya yang akan menyuarakan segala kepentingan rakyat untuk kemajuan bangsa, bukan untuk kepentingan sesaat. Makanya saya tidak ingin memilih legislatif seperti memilih kucing dalam karung. Tahu-tahu yang didalamnya macan atau singa yang lebih ganas dan berbahaya.
Kini bukan saatnya lagi kita memilih calon legislatif hanya berdasarkan gelar, kecantikan, dan kekayaan semata. Tapi saya akan memilih caleg yang berkualitas, mempunyai track record yang bagus, mempunyai ide-ide yang cemerlang serta mampu menyuarakan hak-hak dan mengerti aspirasi warganya. Apalagi kalau kualitas itu ada pada seorang Caleg perempuan, maka ia pantaslah menjadi perempuan legislatif yang akan duduk di Senayan atau DPRD setempat. Diharapkan mereka mau mendengarkan suara rakyat, berjuang dan memperjuangkan aspirasi rakyatnya. Tidak hanya mau tujuannya saja yang tercapai untuk menjadi wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD.
Oleh karena itu masa kampanye sebenarnya sebuah proses dialog yang terbuka. Yaitu suatu dialog yang jujur antara warga dengan para caleg untuk menemukan siapa caleg yang sebenarnya. Bukan untuk memanipulasi dan memoles demi kepentingan diri sendiri. Menurut Robert Bala, ciri dari kampanye yang jujur ditandai oleh beberapa hal. Pertama, sumber dialog berasal dari lawan bicara, yaitu untuk menyerap aspirasi, bukan menyampaikan apa yang akan ‘dikerjakan’. Dengan caleg memiliki empati dan memerhatikan apa yang dikehendaki rakyat, maka rakyat/warga akan mudah menerima dan akan dengan senang hati untuk memberikan suaranya.
Kedua, kampanye itu harus memberikan rasa optimisme untuk melanjutkan kehidupan dan memahami tanggungjawab yang ada. Kalau caleg itu perempuan, maka diharapkan mereka bisa memberikan peran positif karena bisa menyuarakan lebih banyak permasalahan yang dihadapi ketika mereka duduk di DPR/DPRD.
Ketiga, dialog atau kampanye perlu berjiwa. Sebuah dialog akan dirasakan manfaatnya ketika yang ‘bermain’ adalah jiwa, yaitu ada usaha untuk saling memahami jiwa partner karena ingin menyuarakan nuraninya dan berharap agar suaranya didengarkan dan ingin menyuarakan nuraninya.
Apabila semua sudah dijalankan, tidak berarti semua perempuan yang masuk dalam daftar caleg berhati mulia. Hal ini terbukti dengan terjebaknya beberapa politisi wanita dalam kisaran korupsi menunjukkan bahwa hal itu tidak menjamin bahwa mereka lebih baik dari lelaki.
Tetapi yang pasti, kehadiran mereka yang seimbang, melalui dialog yang luwes dan terbuka, akan memungkinkan sebuah kontrol yang lebih kuat. Maka kehadiran perempuan memang sangat dibutuhkan di Senayan atau DPRD setempat. Hal itu tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan kesetaraan jender, kuota caleg perempuan dan memberikan wajah lebih sejuk. Tetapi apabila wanita ikut berkiprah, maka kemajuan akan bisa diraih. Hal ini karena secara alamiah, perempuan tidak akan berjuang untuk dirinya sendiri tetapi mereka ada untuk orang lain.
Memang tidak dapat dipungkiri keterlibatan legislatif perempuan dalam kasus korupsi, menjadi sebuah duri dalam daging. Itu menunjukkan bahwa kuota ternyata tidak memberi kontribusi positif. Walaupun keterlibatan beberapa perempuan dalam korupsi tidak menjadi alasan untuk menggeneralisir. Hal itu akan memberi kesimpulan yang sama karena perkara korupsi juga melibatkan banyak laki-laki.
Lalu mengapa pemberian kuota 30% mesti dipertahankan? Hal ini karena adanya kesadaran masa lalu yang penuh dengan diskriminasi menjadi salah satu pengalaman pahit. Dengan pemberian kuota menunjukkan sebuah ekspresi untuk menghilangkan kendala masa lalu. Kenyataan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga di Negara-negara lain, karena ada beban sejarah yang tidak bisa disangkal. Dengan cara pandang ini maka pemberian kuota sama sekali tidak mencederai prinsip kebebasan memilih. Justru menyadarkan bahwa pengalaman minimnya partisipasi itu disebabkan oleh pengalaman sejarah. Karena itu, perlu dibantu.
Sebaliknya dalam iklim demokrasi, pemberian kuota justru dianggap bertentangan dengan prinsip ‘equal opportunity’, artinya semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan karenanya tidak perlu ada yang ‘diprioritaskan’. Dalam perspektif ini, pemberian kuota dianggap tidak demokratis karena pemilih bebas menetapkan siapa yang akan menjadi wakilnya. Bukan karena ‘gender’ tetapi karena kualitas. Jadi menurut iklim demokrasi kehadiran caleg perempuan bukan sekedar formalitas untuk memenuhi kuota 30%.
Apalagi pemberian kuota juga menyebabkan konflik internal dalam partai politik, mencederai demokrasi yang sangat diinginkan oleh banyak orang. Paling tidak akan menggeser posisi caleg laki-laki untuk memberi proporsi kepada perempuan.
Lalu apakah kehadiran caleg perempuan benar-benar berkontribusi terhadap dinamika politik atau memberi bobot atau malah tidak ada bedanya?
Sebenarnya pemberian tempat kepada kehadiran perempuan dalam legislatif, tidak sekedar masalah ‘kuota’. Itu tidak lebih dari hanya sekedar memberi peluang tetapi tidak memperhatikan kualifikasi personal. Padahal dibalik pemberian kuota, ada sejumput harapan agar kehadiran caleg perempuan bisa memberi bobot pada parlemen.
Oleh karena itu yang dibutuhkan di lembaga legislatif adalah tidak sekedar ‘legislatif perempuan’ yang terpilih, tetapi karena memang perempuan itu berkualitas. Ini berarti proporsi perempuan legislatif yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam memberi corak dan kualitas pada parlemen. Disisi lain, perlu juga diakui bahwa realitas parlemen yang didominir oleh legislatif laki-laki, kadang terhadang oleh ulah ‘kelelakian’ untuk menunjukkan diri mereka ‘terhebat’. Sehingga berbagai dialog terkadang menjadi mandek atau menemui jalan buntu.
Makanya kehadiran perempuan dengan ‘keperempuanannya’ diharapkan dapat mencairkan atau memperlancar dialog. Namun dari semua itu rakyat/ warga berharap kehadiran perempuan legislatif harus diimbangi dengan ide-ide cemerlang, sehingga mereka memberikan bobot tersendiri. Dengan demikian undang-undang yang dihasilkan memberikan wajah yang lebih seimbang karena masuknya pemikiran perempuan benar-benar sangat diharapkan. Itulah sebabnya dibutuhkan lebih banyak caleg perempuan, agar bisa menghasilkan undang-undang yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena secara kodrati perempuan legislatif ada buat orang lain.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa yang kita butuhkan sekarang ini adalah perempuan legislative, bukan sekedar legislatif perempuan. Saya yakin mereka ada di antara para caleg dan merekalah sebenarnya yang perlu diberi prioritas dibilik suara. Itulah yang perlu kita cari sekarang ini. Semoga ada banyak perempuan legislatif!!
[caption id="attachment_318731" align="aligncenter" width="361" caption="Caleg Perempuan Mmeberi Arti Untuk Bangsa Ini (doc:perempuancaleg.org)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H