[caption id="attachment_335154" align="aligncenter" width="515" caption="Ilustrasi Inflasi (doc: www.ollydondokambey.com)"][/caption]
Sudah bukan rahasia lagi setiap bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Fitri, harga-harga bahan pangan, seperti beras, daging, ayam, telur, sayuran, bumbu-bumbu dan lain-lain melonjak tajam. Kenaikan ini memang dipicu oleh meningkatnya permintaan Konsumen akan bahan pokok karena ingin menyediakan menu berbuka dan sahur yang lebih baik dan enak serta banyaknya instansi atau perusahaan yang berusaha mengadakan acara buka bersama. Akhirnya membuat permintaan akan bahan pangan meningkat, yang mendorong harga-harga untuk naik.
Kenaikan permintaan dan harga-harga ini bagi sisi pengusaha dan produsen, sebenarnya memberikan signal yang bagus. Hal ini karena mereka akan memperoleh insentif yang berupa keuntungan (profit) untuk memproduksi barang yang lebih banyak. Jadi kenaikan harga-harga tidak selalu berarti buruk asalkan masih dalam tingkat wajar dan terjangkau. Yang menjadi masalah apabila ada pengusaha yang berusaha menimbun bahan pangan untuk spekulasi dan berharap akan memperoleh keuntungan lebih banyak lagi. Pada akhirnya membuat kelangkaan akan suatu barang atau bahan pangan. Inilah yang membuat harga-harga menjadi tidak terkendali.
Memang untuk penyediaan bahan pangan, diperlukan ketahanan pangan. Selama hal ini bisa ditangani, maka gejolak harga-harga bisa dikendalikan. Tapi kalau barang dan bahan-bahan tersebut terkena banjir, gagal panen maupun kekeringan otomatis akan terjadi kelangkaan barang. Ujung-ujungnya harga-harga akan naik dan akan memberikan efek pada harga barang lain yang terkait.
Apalagi kalau barang/bahan tersebut harus didatangkan dari luar negeri (impor), karena persediaan dalam negeri yang tidak cukup. Otomatis kenaikan harga barang/bahan tersebut bisa sangat tinggi. Hal ini pernah terjadi pada saat kelangkaan kedele, cabe dan daging sapi. Makanya harga-harga barang tersebut melonjak tajam, karena kita tidak mempunyai ketahanan pangan sehingga harus impor.
Itulah sebabnya masalah ketahanan pangan menjadi suatu hal yang sangat penting bagi suatu bangsa. Apalagi bangsa Indonesia yang mempunyai lebih dari 250 juta penduduk. Ada sedikit gejolak di luar negeri saja, kita akan terkena imbasnya berupa harga-harga yang melonjak sangat tajam.
Begitu juga kalau ada kenaikan harga BBM, infrastruktur serta distribusi barang-barang yang kurang bagus, akan memberikan imbas pada meningkatnya biaya produksi, sehingga berakibat pada naiknya harga bahan pangan tersebut. Maka wajarlah kalau pengusaha menaikkan harganya untuk menutup biaya yang dikeluarkan dan mengantisipasi kerugian yang akan di derita. Jadi kita tidak bisa menyalahkan seorang pengusaha atau produsen, karena masalah ini menjadi tanggung jawab pemerintah.
Jadi masalah inflasi memang merupakan masalah yang kompleks, karena menyangkut keterkaitan banyak pihak. Antara lain Konsumen (C), Pengusaha/Industri (I) serta Lembaga dan berbagai Kementrian terkait baik di Pemerintahan Pusat maupun Pemerintah Daerah yang diwujudkan dengan symbol G (Government). Serta yang tidak kalah pentingnya adalah dari sisi Impor (M).
Oleh karena itu, Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendiri untuk mengatasi persoalan inflasi ini, walaupun BI mempunyai kewenangan untuk mengatur dan membuat kebijakan monter, yaitu menyangkut pengaturan jumlah uang yang beredar.
Upaya yang bisa Dilakukan untuk Mengendalikan Inflasi
[caption id="attachment_335155" align="aligncenter" width="531" caption="5 Komoditas dengan Inflasi tertinggi (doc: ciptranews.com)"]
Secara hitungan angka, inflasi yang rendah akan lebih baik daripada kenaikan harga-harga yang meningkat tajam. Karena hal ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Lebih-lebih bagi warga yang mempunyai penghasilan tetap, kenaikan harga-harga yang meningkat tajam akan sangat terasa. Ini tidak lain, karena gaji yang mereka peroleh tidak bisa dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lagi. Akhirnya menjadikan orang miskin bertambah miskin.
Disamping itu, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil suatu keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang berakibat pada menurunnya pertumbuhan ekonomi.
Begitu juga dengan tingginya tingkat inflasi domestik, dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif dan pada akhirnya akan memberi tekanan pada nilai rupiah.
Untuk itulah dalam tataran teknis, diperlukan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia dengan dibentuknya Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota dari TPI ini terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Menko Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, maka pembentukan TPI akhirnya diperluas hingga ke level daerah sejak tahun 2008. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI, baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
Jadi sebenarnya sumber tekanan pada harga-harga bukan hanya pada hal-hal yang bersifat moneter, yaitu banyaknya uang yang beredar di masyarakat. Tapi dalam kenyataannya, inflasi juga dipicu oleh hal-hal yang sudah disebutkan diatas seperti gagal panen, musibah banjir, kenaikan harga BBM, masalah infrastruktur dan transportasi yang jelek maupun karena pengaruh luar negeri, terutama untuk bahan pangan yang diimpor.
Apalagi dalam menghitung angka inflasi secara nasional dilakukan dengan cara menjumlahkan angka-angka inflasi yang terjadi di kota-kota, terutama kota-kota yang memberikan dampak besar pada inflasi, seperti Bengkulu, Samarinda dan Depok.
Berikut sedikit gambaran dari peran beberapa Kementrian dalam usaha mengendalikan inflasi.
Sebagai contoh peran dari Kementrian Dalam Negeri yang meliputi Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi penting dalam mengendalikan inflasi. Ini tidak lain karena masalah inflasi juga banyak dipicu oleh kebijakan Pemerintah Daerah, terutama yang menyangkut ketersediaan pangan. Bahkan pengaruhnya bisa mencapai 70 – 80%.
Sebenarnya, kalau Pemerintah Daerah bisa mengatasi kebutuhan daerahnya sendiri, dengan cara mendatangkan barang-barang yang diperlukan dari daerah surplus, maka apa yang Pemerintah Daerah lakukan sebenarnya bisa menekan inflasi. Daripada semua barang-barang harus didatangkan dari Jakarta lebih dahulu baru kemudian didistribusikan ke daerah.
Memang Pemerintah Pusat pun tidak bisa lepas tangan. Namun yang menjadi tanggung jawabnya adalah untuk masalah yang besar-besar menyangkut penyediaan infrastuktur dan transportasi yang bagus dan lancar, keamanan, moneter dan lainnya. Apabila hal ini
Inilah yang dilakukan Gubernur DKI Joko Widodo dalam mengendalikan inflasi di Jakarta, yaitu dengan mencoba mendatangkan berbagai kebutuhan dari daerah surplus. Seperti misalnya beras didatangkan dari Sulawesi Selatan dan kalau tidak salah kebutuhan daging dari Sumatera Selatan. Tindakan seperti inilah yang membuat inflasi di Jakarta relative rendah dibanding dengan daerah lain. Maka wajarlah kalau Gubernur DKI Joko Widodo memperoleh penghargaan dari Pemerintah, karena berhasil menekan inflasi di wilayahnya.
Menyadari bahwa kebijakan daerah lebih banyak menjadi pemicu inflasi, maka dari Kementrian Dalam negeri mempersiapkan tiga agenda penting. Pertama, mengeluarkan Permendagri No.9/2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah. Kebijakan ini utamanya, meminta kepada seluruh kepala daerah agar menetapkan dan memiliki produk unggulan daerah, sekaligus menentukan harganya. “Supaya petani dan nelayan memiliki harga yang stabil untuk produk tersebut, meskipun dalam kondisi panen raya, maupun tidak dalam kondisi panen raya,” ujarnya.
Kedua, mengeluarkan informasi harga pasar. Pusat Informasi Harga Pasar sebenarnya sudah ada, tinggal dikuatkan. Ini dilakukan untuk menghindari adanya orang-orang yang hanya mencari untung bagi dirinya sendiri dari informasi harga yang tak diketahui. Dan agenda ketiga adalah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yakni memperkuat kerjasama antar kabupaten.
Bagaimana halnya dengan tugas dari Kementrian Keuangan dalam pengendalian inflasi? Dalam Kementrian Keuangan sebenarnya sudah dibentuk Tim Pemantau dan Pengendalian Inflasi (TPI). Pembentukan tim ini didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan No.88/KMK.02/2005 dan Gubernur BI No.7/9/KEP.GBI/2005 yang berlaku untuk masa tugas 1 tahun (tahun 2005).
TPI ini dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan satu sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintah, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga stabilitas makro ekonomi sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6/2009.
Sedangkan tugas dari TPI adalah untuk melakukan koordinasi dalam rangka penetapan sasaran inflasi tiga tahun ke depan; melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan yang ditempuh; dan melakukan koordinasi dalam rangka merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung pada pencapaian sasaran inflasi kepada Menteri Keuangan.
Hal ini penting dilakukan karena Kementrian Keuangan memiliki beberapa indikator ekonomi yang diperlukan dalam menyusun APBN, yaitu yang menyangkut pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan seterusnya. Namun dalam pembahasan APBN yang lebih panjang, biasanya cuma ada dua hal mengemuka, yaitu pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Dua hal inilah yang mendorong Kementrian Keuangan perlu berpartisipasi aktif dalam menjaga inflasi bersama lembaga pemerintah lainnya.
Peran Bank Indonesia dalam Mengendalikan Inflasi
Akhirnya yang tidak kalah pentingnya adalah peran dari Bank Indonesia dalam mengendalikan inflasi. Seperti yang tertulis dalam websitenya, Bank Indonesia secara kapasitasnya sebagai Bank Central Republik Indonesia mempunyai fungsi utama adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara pada aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia bisa diukur dengan mudah. Namun untuk mencapai tujuan tunggal tersebut, Bank Indonesia perlu didukung oleh 3 pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya, dimana ketiga bidang tugas tersebut perlu terintegrasi agar bisa mencapai tujuan tunggalnya secara efektif dan efisien.
Ketiga tugas bidang tersebut adalah (1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (2) Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran; (3) Mengatur dan mengawasi Bank. Jadi pengendalian inflasi merupakan bagian dari salah satu tugas bidang Bank Indonesia dari sisi Moneter.
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan sementara (temporer) dan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices mencakup kurang lebih 40% nya
Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.
Oleh karena itu dalam upaya pencapaian sasaran untuk menekan lonjakan laju inflasi diperlukan sinergi, kerjasama serta koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Hal ini penting sekali karena kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yang pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H