Mohon tunggu...
Nunung Masruroh
Nunung Masruroh Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP N 9 Mandau Duri

Seorang guru yang memiliki concern pada dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koneksi Materi Modul 1.4

27 Oktober 2022   21:42 Diperbarui: 27 Oktober 2022   21:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

KONEKSI MATERI MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF

Oleh Nunung Masruroh, S. Ag

Guru SMPN 9 Mandau Kec. Mandau Kab. Bengkalis Riau

CGP ANGKATAN 6

Peran pendidik dalam penerapan budaya positif di sekolah adalah sebagai inisiator juga eksekutor yang merancang, melaksanakan, mengevaluasi sekaligus menjadi teladan dalam penerapan budaya positif di sekolah.  Pilosofi  Pendidikan KH Dewantoro menegaskan bahwa tujuan Pendidikan adalah untuk menuntun segala kodrat yang ada pada  anak, agar mereka dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.  

Seorang pendidik bagaikan petani dalam menumbuhkan bibit-bibit tanaman, agar tanaman tersebut tumbuh dengan maksimal maka seorang pendidik perlu menyediakan lahan yang bagus serta pemeliharaan yang maksimal terhadap tanaman, penerapan budaya positif di sekolah merupakan upaya untuk menumbuhkembangkan bibit-bibit kebaikan yang sudah ada pada anak di sisi lain seorang  petani harus memiliki kwalitas yang mumpuni dalam melaksanakan tugasnya.   

Nilai-nilai yang perlu dimiliki seorang petani sebagai  pendidik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik adalah   berpihak pada murid, reflektif, mandiri, kolaboratif dan inovatif dalam perannya sebagai pemimpin pembelajaran, coach bagi guru lain, pendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan pada murid serta penggerak komunitas praktisi merupakan modal dasar bagi seorang yang bertugas sebagai pelaksana bagi terwujudnya pembangunan budaya positif di sekolah.

Peran ini dimaksudkan agar pendidik mampu mewujukan murid yang memiliki profile pelajar Pancasila yakni murid yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berahlak mulia, mandiri , bergotong royong, berkebinekaan global, bernalar kritis serta  kreatif. Untuk mewujudkan profile pelajar Pancasila maka seorang guru harus memiliki visi ke depan tentang gambaran murid seperti apa yang diharapkan di masa depan. Visi ini akan memberi arah terhadap langkah-langkah perubahan yang akan kita lakukan, termasuk di dalamnya perubahan tentang berbagai upaya pembangunan budaya positif di sekolah. Inti dari Pendidikan adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik, termasuk perubahan karakter anak yang dihasilkan dari pembiasaan -pembiasaan baik di sekolah.  

Dunia  terus bergerak   dan  perubahan, maka pendidikan pun harus terus bergerak melakukan perubahan, itulah sebabnya KH Dewantoro menegaskan bahwa anak harus didik berdasarkan kodrat alam dan kodrat zaman. Paradigma perubahan Inquiri Apresiatif  merupakan paradigma perubahan dengan penerapan management aset yang mengawali gerakan perubahan dengan pandangan positif terhadap semua aset yang ada  disertai langkah-langkah pemberdayaan . 

Semua anak adalah aset berharga dengan segala potensi baiknya, maka untuk melakukan terobosan terobosan baru dalam pembangunan budaya positif di sekolah kita perlu memakai   paradigma  IA dengan tahapan    BAGJA merupakan perwujudan dari pendekatan Inquiri afresiatif yang mengatur alur dari langkah prakarsa perubahan yang akan diambil. Untuk menumbuhkan profile pelajar pancasila maka sekolah perlu membangun budaya positif yang menyatu dalam keseharian aktifitas di sekolah, budaya positif ini berawal dari disiplin positif yang dikembangkan secara konsisten sehingga menjadi budaya baik di sekolah. 

Budaya positif akan terbentuk manakala kita terbiasa menerapkan disiplin positif, yang dibentuk berdasarkan kebajikan universal yang disepakati bersama, memberi ruang pemahaman terhadap berbagai latar belakang motivasi perbuatan manusia,  berbagai kebutuhan mendasar manusia, serta berdasarkan pada optimisme akan adanya  perbaikan di masa yang akan datang. 

Budaya positif akan lahir manakala setiap indiviu yang terlibat di dalamnya memiliki kesadaran tentang perlunya penerapan kebiasaan-kebiasaan baik di sekolah, oleh karena kita perlu menumbuhkembangkan motivasi intrinsik pada diri anak dalam mematuhi aturan yang ada. Salah satu upayanya  antara lain adalah anak dilibatkan dalam menyusun keyakinan kelas atau sekolah sehingga sebuah aturan itu memang dibuat bersama untuk ditaati bersama dan menjadi  milik bersama  berdasarkan kebajikan universal yang diyakini oleh semua pihak yang terlibat dalam penegakan budaya positif tersebut. 

Di sisi lain guru sebagai pelaksana Pendidikan perlu merubah mind set tentang aturan penegakan disiplin positif termasuk didalamnya perubahan posisi kontrol guru dari pemberi hukuman, pembuat merasa bersalah, pemantau menjadi seorang manager yang menggunakan segi tiga restitusi sebagai skema penegakan disiplin positif, dalam menyelesaikan pelanggaran yang terjadi di sekolah, 3 langkah restitusi yang merupakan perwujudan dari posisi kontrol manager yaitu stabilisasi identitas,( pada tahap ini anak distabilkan identitasnya sehingga tidak merasa kehilangan harga diri atas pelanggaran yang dilakukan), Validasi tindakan ( Pada tahap ini tindakan pelanggaran yang dilakukan anak divalidasi, sebagai tindakan yang memiliki alasan) serta  menanyakan keyakinan kelas ( Tahap anak diingatkan kembali tentang keyakinan kelas yang sudah disepakati, serta anak dimotivasi untuk menemukan cara memperbaiki kesalahannya). .

Pada modul 1.4.  ada beberapa konsep tenang pembentukan disiplin positif. Bahwa disiplin bukan semata-mata tentang ketaatan pada aturan tetapi tentang tumbuhnya kesadaran diri untuk mengikuti aturan dengan berdasarkan motivasi yang datang dari dalam diri anak. Pada dasarnya setiap perbuatan manusia pasti memiliki alasan, demikian juga dengan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang siswa, untuk bisa memahami alasan dari perbuatan siswa maka kita harus mengetahui tentang terpenuhi atau tidaknya lima kebutuhan dasar manusia. 

Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi akan memunculkan prilaku yang merupakan upaya pemenuhan terhadap kebutuhan dasar tersebut. Pemahaman tentang 5 kebutuhan dasar manusia akan menutun kita untuk bisa menerapkan disiplin positif dengan cara pandang yang lebih bijaksana. Hukuman dan penghargaan yang selama ini kita pakai  ternyata bukan solusi untuk menumbuhkan disiplin positif, kedua cara tersebut hanya akan menimbulkan efek jangka pendek serta hanya memunculkan ketaatan dengan motivasi ekstrinsik. 

Keyakinan-keyakinan saya tentang penegakan disiplin selama ini ternyata hanya ilusi. Saya mempercayai bisa mengendalikan anak seutuhnya, saya menganggap efektif hukuman dan penghargaan, saya mengagungkan teori stimulus dan respon, saya lebih banyak menempatkan diri pada posisi kontrol sebagai seorang pemberi hukuman, pembuat merasa bersalah, teman atau hebat-hebatnya hanya sampai posisi pemantau yang kesemuanya lebih banyak menimbulkan konsep diri yang gagal, serta saya  baru menyadari ternyata motivasi ketaatan anak adalah sebatas menghindari ketidaknyamanan atau paling bagus mengharapkan penghargaan.

Pengalaman berharga ketika  saya mengenal tentang penerapan disiplin positif dengan langkah awal mencoba menerapkan kesepakatan kelas, ternyata saya mendapatkan suasana pembelajaran yang lebih tertib. Selanjutnya ketika kami merumuskan tentang keyakinan kelas, anak antusias dan menyepakati bersama keyakinan kelas untuk kelas mereka. 

Pada tahap berikutnya ketika terjadi pelanggaran dan saya menyelesaikan dengan memposisikan diri sebagai manager dan menggunakan segitiga restitusi anak terlihat memiliki keyakinan diri untuk melakukan perbaikian atas kesalahan mereka dan hubungan kami sebagai seorang guru dan murid menjadi lebih dekat.

Saya merasa bersemangat untuk terus menerapkan langkah-langkah segitiga restitusi dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran di sekolah. Serta bersemangat untuk terus mengasah diri agar dapat menempatkan diri dalam posisi kontrol sebagai manager yang bisa membantu anak menemukan motivasi intrinsiknya. Walaupun di sisi lain saya bertanya pada diri sendiri, jika hukuman atau konsekuensi ditiadakan bagaimanakah upaya untuk mengontrol tindakan anak ketika proses segitiga restitusi masib berjalan pada tahap awal, karena semua pasti memerlukan proses demikian juga dengan anak, untuk melaksanakan segala rencana perbaikannya pasti tidak langsung menjadi benar seutuhnya, ada tahap tarik ulur, ada tahap lupa sebelum sampai pada tahap konsisten.

Hal-hal yang sudah baik  dalam penerapan disiplin positif antara lain anak mau bekerja sama untuk merepleksi diri, mandiri dalam merencanakan perbaikan diri, serta ada kemauan untuk bersegera dalam melakukan perbaikan diri tersebut. 

Sedangkan hal yang perlu diperbaiki adalah, belum semua kelas mengerti dan merumuskan tentang keyakinan kelas, di sisi lain anak yang sudah melalui proses penanganan dengan menggunakan segitiga restitusi itu terkadang konsistensi melakukan perubahan belum terbangun, artinya perlu upaya yang terus menerus untuk menumbuhkan tanggung jawab terhadap rencana perbaikan yang anak susun.

Pada waktu yang lalu saya sering sekali menerapkan posisi kontrol sebagai teman pada murid, tapi dalam kondisi tertentu saya juga pernah berada dalam posisi pemberi hukuman dan pembuat merasa bersalah serta pemantau. Pada saat saya memposisikan diri sebagai  teman, hubungan murid dan guru memang lebih rilek tapi anak jadi tergantung pada saya dan anak juga tidak mandiri dalam perbaikan dirinya, serta tidak terarah. 

Lain halnya  dengan posisi kontrol manageman ini saya merasa lebih  dekat dengan anak, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin sehingga saya sendiri merasa nyaman juga bersemangat, bersinergi dengan anak agar mereka secara mandiri menemukan solusi perbaikan diri, sehingga perbaikan diri mereka lebih bersifat menetap, aplikatif serta  bisa diterapkan  ketika dalam berbagai situasi.

Segitiga restitusi adalah hal baru bagi saya jadi sebelum mempelajari modul ini saya belum pernah menerapkan segitiga restitusi dalam dengan tahapan yang seutuhnya, yang saya pakai adalah penyelesaian masalah biasa dengan menggunakan tahapan restitusi stabilisasi identitas, itu pun tidak dengan pendekatan segitiga restitusi, hanya dorongan secara alamiah saja agar jangan membuat anak tertekan.

Pembangunan budaya positif di sekolah baru berhasil jika kita berhasil membangkitkan motivasi intrinsik anak, oleh karena itu modul ini akan lebih lengkap jika disertai dengan materi tentang cara-cara  membangun motivasi intrinsik pada anak,  di samping itu pembangunan bidaya positif memerlukan kolaborasi dengan berbagai pihak, maka  perlu penambahan materi tentang teknik membangun kolaborasi yang solid dengan semua pihak yang terlibat, baik di sekolah maupun di luar sekolah, sebab membangun budaya positif butuh kerja sama dengan berbagai pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun