Mohon tunggu...
nunung aulia
nunung aulia Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Saya seorang guru yang suka menulis dan menerbitkan 4 karya solo berupa novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tidak Gila

20 Juli 2024   15:59 Diperbarui: 20 Juli 2024   16:04 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dibuat oleh AI

"Dimana Erna? Sudah jam begini tak kunjung datang?" tanya bos Udin pada salah satu teman kerjaku dengan memasang wajah seperti orang marah.

Tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan yang terlontar. Mereka menungguku di ruang meeting. Pagi ini memang diadakan meeting untuk membahas artikel yang akan dimuat di majalah SURYA. Aku hadir setelah lima menit meeting usai. Semua ketentuan sudah diputuskan tanpa menunggu kehadiranku. Bahkan, artikel yang sudah aku susun pun diubah konsepnya begitu saja. Aku sedikit kecewa. Apa yang sudah aku kerjakan sia-sia.

"Artikel sudah diubah sesuai konsep yang diinginkan dan sekarang sudah naik cetak ke majalah. Kamu juga dari mana saja, jam sekarang baru hadir." ucap bos Udin.

"Maaf. Tadi saat perjalanan menuju kemari, mesin mobil tiba-tiba mati. Aku ke kantor naik KRL." jawabku sedikit wajah ditekuk.

Namun, bos Udin tak mau menerima alasan. Dia tetap saja mengomel tanpa arah. Lalu, aku izin ke ruang kerja. Sesampai di sana, aku meletakkan buku dan tas di atas meja dengan kasar. Aku mendudukkan diri di kursi. Datang Zubaidah ke ruangan untuk menghiburku.

"Ada apa dengan dirimu, Na? Tidak seperti biasanya kamu seperti ini. Tulisanmu pun juga hancur. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" tiga pertanyaan terlontar sekaligus dari bibir tipis Zubaidah.

Aku mendengus kesal. Sekilas mengingat betapa sialnya diriku tadi. Mesin mobil mati, bertemu orang gila di KRL, dan sekarang kenal omel. Seketika terlintas ide cemerlang dari pikiranku. Aku tersenyum sendiri memikirkan ide itu. Aku meminta Zubaidah untuk memberikan waktu selama seminggu.

Bagaimana kalau aku menyamar sebagai orang gila? Aku akan pergi ke rumah sakit jiwa hanya sekadar minta izin pengambilan data kepada pimpinan rumah sakit. Ah, ide cemerlang. Kamu sangat jenius, Na.

"Ju, mungkin selama seminggu aku tidak pergi ke kantor. Aku akan cuti untuk mengambil riset sebagai ide tulisan artikel selanjutnya. Jika bos Udin mencariku, tolong atasi dia, ya?" ujarku panjang lebar dengan memintanya untuk mengatasi bos Udin.

Aku sampai di pelataran halaman rumah sakit. Aku tersenyum geli membayangkan sendiri menjadi orang gila. Namun, demi pekerjaan, aku rela melakukannya untuk tulisan yang menarik. Aku menemui penjaga untuk sekadar minta izin bertemu dengan pimpinan rumah sakit ini. Tak lama kemudian, aku sudah berada di ruang kerja dr. Arifin---direktur utama rumah sakit jiwa 'Kasih Bunda'.

"Hahaha... Apa yang kamu pikirkan? Ide macam apa itu? Kamu menyamar jadi orang gila? Mana bisa? Yang ada nanti kamu jadi gila sungguhan!" ucap dr. Arifin.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Lantas, dr. Arifin memanggil dua petugas perempuan untuk membawaku ke ruang inap. Sebelum ke kamar, aku sudah diganti dengan pakaian pasien. Semua barang yang aku bawa diletakkan di loker penyimpanan barang. Aku mengatakan kepada dua perawat kalau aku tidak gila.

"Kamu gila. Semua orang gila yang datang kemari juga mengatakan tak gila." seloroh salah satu perawat yang membawaku.

Aku mengulanginya sekali lagi. Namun, tetap saja dua perawat tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Aku juga mengatakan pula kepada mereka bahwa aku datang ke sini hanya sekadar melakukan riset untuk pengambilan data tentang kehidupan pasien di sini. Dua perawat itu tetap diam tak menggubrisku. Sehingga, aku menyerah dan membiarkan mereka membawaku ke kamar rawat. Sesampainya di kamar, aku bertemu dengan pasien lain.

Beragam tingkah yang dilakukan para pasien tersebut membuatku ikut tersenyum. Ada yang selalu melakukan salat karena semasa hidupnya dia berbuat dosa. Ada pula yang mengancam akan membunuh. Aku hanya duduk dan tersenyum melihat aksi mereka di atas tempat tidur. Sesekali aku mencatat apa yang aku lihat dan aku dengar di buku kecil dengan tinta biru. Saat aku menulis di atas buku kecil, dia datang dari belakang untuk melihat apa yang aku tulis. Aku bertingkah layaknnya seperti orang gila sungguhan. Sungguh menguras hati dan emosi. Kalau saja ini bukan untuk tulisan yang akan dimuat, aku tidak akan berada di tempat seperti ini.

Hari berganti hari. Sudah seminggu aku berada di sini. Saatnya aku kembali ke kantor untuk membuat tulisan yang akan dimuat. Aku pergi ke ruang dr. Arifin untuk sekadar undur diri. Namun, apa yang terjadi. Di ruangan itu hanya ada perawat yang galaknya minta ampun. Aku bertanya kepada dia keberadaan dr. Arifin.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya perawat itu dengan nada sewot.

"Aku ingin bertemu dengan dr. Arifin. Ke mana beliau?" tanyaku dengan wajah bingung mencari keberadaannya.

"Ada urusan apa kamu menanyakan dr. Arifin? Dia sudah meninggal tiga hari yang lalu karena serangan jantung." jawabnya dengan sewot.

Bagaikan petir menyambar. Aku terkejut mendengar berita duka itu. Aku mulai takut apa yang dikatakan dr. Arifin dulu waktu aku minta izin untuk melakukan riset. Aku terjebak di sini dengan ide gila ini. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aku mengatakan semuanya kepada satu perawat yang memberikan kabar duka itu. Namun, tampaknya dia tidak percaya dengan apa yang ucapkan. Dia memanggil perawat lain untuk menyeretku kembali ke kamar rawat.

"Sus, aku tak gila, Sus. Aku tak gila. Aku ke sini hanya sekadar melakukan riset. Hanya dr. Arifin yang tau itu." rengekku terus-menerus kepada dua perawat agar dilepaskan.

Seperti biasa, mereka tidak mempercayaiku. Bahkan, pasien yang lain pun juga mengatakan hal yang sama. Aku dianggap gila sungguhan. Aku mulai merutuki diri. Aku tertunduk dan menangis di atas tempat tidur. Berusaha mencari akal untuk bisa keluar dari rumah sakit ini. Segala macam cara sudah aku lakukan. Aku melihat bang Oman---tukang sayur sedang menurunkan belanjaan sayur dari atas mobil. Terlintas sebuah ide. Aku memanggil bang Oman untuk minta bantuan. Namun, apa yang terjadi? Bang Oman pergi begitu saja tak menanggapi. Aku berteriak memanggilnya, tetapi dia tidak menoleh sedikit pun.

"Hey, sedang apa kamu di situ? Apa yang kamu lakukan dengan kekasihku?" teriak salah satu pasien ke arahku dengan menganggap bang Oman adalah kekasih pujaannya.

Aku berlaga sama seperti dia. Aku juga bilang kalau bang Oman juga kekasihku. Dia mendengar apa yang aku ucapkan, dia mengancam untuk membunuhku. Lalu, dia pergi. Aku bergidik ngeri mendengarnya.

Kembali ke rencana awal, bagaimana aku keluar dari tempat ini. Aku menulis catatan kecil untuk disampaikan kepada bang Oman. Naas. Aku ketahuan oleh pasien yang menganggap bang Oman kekasihnya. Dia mengira kalau aku menulis surat cinta untuk bang Oman. Dia menyerangku dan merebut buku kecil itu dari tanganku. Aku merebutnya kembali. Namun, genggaman itu erat. Sehingga terjadi rebutan antara aku dengan pasien itu. Karena tenaganya yang kuat seperti baja, aku terpental ke belakang hingga kepalaku terbentur lemari besi. Aku jatuh tak sadarkan diri.

Setelah tersadar, aku membuka mata. Terlihat ruangan serba putih. Aku memegang kepalaku yang sakit akibat benturan itu. Rasa pusing mengelilingi kepalaku. Ada bayangan dua perawat secara bergantian memarahiku dan bilang kalau aku gila. Aku teringat kembali apa yang diucapkan dr. Arifin, bagaimana kalau kamu gila sungguhan? Aku ketakutan dan berteriak dengan menyebut kata 'Aku tak gila' berkali-kali. Tak ada respon sedikit pun dari perawat dan juga pasien yang lain. Aku menjadi frustasi dengan apa yang aku lakukan. Aku menghela napas kasar, berharap ada titik terang untuk jalan keluar. Aku mulai menyesali dengan ide yang aku ciptakan sendiri.

Bagaimana kalau aku terjebak selamanya di sini? Aku tidak gila. Aku hanya melakukan penyamaran saja di sini agar mendapatkan bahan untuk tulisan. Mengapa ini harus terjadi padaku? dr. Arifin, mengapa kamu pergi?

Tak ada gunanya aku merutuki nasib. Satu-satunya jalan, aku harus bisa keluar dari sini bagaimana pun caranya. Aku berpikir keras untuk memikirkan solusi dari setiap masalah yang aku hadapi. Saat di ruang pemeriksaan, aku melihat ponsel tergeletak di meja. Diam-diam aku mengambilnya untuk menghubungi Zubaidah. Belum sempat panggilan terjawab, aku tertangkap basah sudah mengambil ponsel itu. Sekali lagi aku menjelaskan kepada perawat itu kalau aku tidak gila dan aku meminjam ponselnya untuk menghubungi temanku. Lagi dan lagi perjuanganku gagal. Namun, aku tak berhenti begitu saja. Keesokan harinya, rumah sakit gaduh karena beberapa pasien lain. Aku menyelinap untuk bisa keluar menuju mobil angkutan sayur yang dikemudi oleh bang Oman. Aku sedikit bernapas lega bisa mencapai masuk ke mobil tanpa diketahui bang Oman.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di tujuan, mobil berhenti. Lalu, aku keluar dari mobil itu. Namun, lagi dan lagi aku ketahuan bang Oman. Dia langsung menarikku kembali masuk ke mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Aku berteriak histeris. Tak sengaja Zubaidah dan bos Udin melewati mobil angkutan sayur. Mereka berhenti mendengar teriakanku. Lalu, mereka turun dan menghampiriku. Zubaidah dan bos Udin membantuku membuka ikatan. Mereka menjelaskan kepada bang Oman bahwa aku tidak gila. Aku hanya terjebak di antara orang-orang gila hanya karena riset yang juga gila. Aku tersenyum lega bisa terbebas dari tempat orang-orang gila dirawat. Sungguh pengalaman menarik yang tak terlupakan bisa berkumpul dengan orang-orang gila. Beragam catatan di sana mengenai tingkah laku orang-orang gila dan para perawat orang gila. Kalau tidak kuat mental, jangan sekali-kali menyamar sebagai orang gila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun