Sebenarnya agak kurang pas menuliskan di obrolan kopi ini. Walaupun saya bukan pecinta kopi, tapi tidak pernah membenci kopi. Awalnya saya tidak suka kopi karena ampasnya itu. Maklum waktu saya kecil, almarhum bapak hanya minum kopi hitam yang berampas pekat. Jadinya kami hanya mengenal kopi itu. Saya suka nimbrung minum kopi bapak, tapi males kalau ampasnya suka sampai di mulut. Jadi, pas asyik-asyiknye menyeruput kopi, terhenti lantaran ampas nyangkut di bibir.
Kebiasaan minum kopi semakin lumayan sering sejak kakak laki-laki saya memperkenalkan kopi torabika yang larut dalam air, artinya tidak ada ampasnya. Kenapa saya suka? Karena selain kopi, kakak juga membeli krimernya, jadi rasanya agak-agak beda gitu. Mantab deh! Sejak saat itu, saya lumayan sering minum kopi plus krimer.
Namun kebiasaan minum kopi ini sempat terhenti ketika saya kuliah dan ngekost sendirian. Jadi tak ada lagi yang menyuplai kopi gratis. Saya beralih ke susu dan sereal mengikuti teman-teman di kos.
Nah, saya mulai kembali menikmati kopi setelah bekerja. Walaupun tidak sesering pecinta kopi. Yang sering saya konsumsi saat ini adalah  luwak white coffee. Setiap ada rekan kerja yang menyeduh kopi itu, langsung mengundang hidung untuk mencium aromanya, dan membuat kita ingin menikmatinya juga.
Dan akhir-akhir ini, bukan saja para guru, murid-murid sudah mulai terkontaminasi menikmati secangkir kopi. Sempat saya menemukan satu gelas bekas minum kopi dan masih disimpan di kelas. Saya sedikit marah karena membiarkan sampahnya di dalam kelas. Saya bertanya-tanya, koq semakin banyak anak yang minum kopi ya? Selidik punya selidik, ternyata hal itu dilakukan demi tugas sekolah.
Ya, sekolah kami memang sedang gencarnya mencanangkan green education. Salah satu programnya adalah reuse dimana siswa diajarkan cara menggunakan kembali limbah yang bisa diberdayakan. Salah satunya adalah bungkus kopi sachet. Untuk membuat sebuah karya olahan limbah bungkus kopi ini dibutuhkan limbah yang tidak sedikit. Pada akhirnya siswa ditugaskan untuk mengumpulkan bungkus kopi dalam satu program yang dinamakan Bank Sampah.
Dalam data bank sampah tersebut, setiap nama siswa per kelas ditempel di papan pengumuman, dan disana tercatat berupa pieces bungkus kopi sachet yang sudah dikumpulkan. Semakin banyak mengumpulkan limbah bungkus kopi tersebut, semakin banyak poin yang bisa didapat. Nah, karena hal itulah, banyak siswa laki-laki yang membeli kopi, menyeduhnya, meminumnya dan menyimpan bungkus kopinya untuk kemudian diserahkan kepada ketua kelas untuk didata.
Limbah bungkus kopi ini memang dapat diolah menjadi berbagai macam alat kebutuhan keluarga yang cukup memadai. Misalnya dari bungkus kopi, bisa dihasilkan karpet anyaman plastik, tas jinjing, dan lain-lain. Akhirnya, kopi yang menjadi minuman favorit di saat mengantuk, tidak hanya favorit di bagian bubuknya, tetapi juga menjadi favorit di bagian limbahnya.
Selamat berkreasi! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H