Satu ketika, saya mengobrol dengan putra saya sebelum tidur. Karena dia belum mengantuk, akhirnya acara tidur pun harus dilakoni dengan bercerita dulu.
Dia pun bertanya, "Ma, emangnya pesantren bisa mengubah anak nakal jadi anak baik?"
Saya, "Rayhan kata siapa?"
Rayhan, "Aku nonton di film Madun, Ma! Rizal kan baru pulang dari pesantren, terus sekarang dia jadi baik, terus pakai peci terus. Dia tiga tahun loh ma di pesantrennya."
Saya, "Oh...gitu."
Nah, saya sudah mulai bingung jawabnya nih. Akhirnya saya pun menjelaskan bahwa sebenarnya untuk menjadi anak baik tidak harus di pesantren nak. Di sekolah mana saja bisa koq, bahkan di rumah pun bisa jadi anak baik.
Mendengarkan penjelasan saya, dia pun sedikit bingung.
Katanya, "Tapi ma, Rizal kan dulunya jahat, dia gak mau berteman sama Madun. tapi pulang dari pesantren dia malah jadi baik."
Saya, "Berarti Rizal memang sebenarnya anak baik, nak. Cuma mungkin kemarin itu dia sedang mencari perhatian ibunya yang sibuk. Jadinya berulah deh. Nah, pas masuk pesantren, dia lebih sering diingatkan untuk rajin sholat, belajar dan sayang sama semua orang. Makanya, dia jadi baik lagi deh!"
Dia pun menganggukkan kepala sambil bilang, "Oh, gitu ya?"
Mungkin ini bukan pertanyaan yang dilontarkan anak kecil saja. Orang dewasa bahkan sudah berpendapat yang sama. Buktinya, banyak anak-anak yang dikirimkan ke pesantren karena sebelumnya diangga nakal dan sulit diatur. Orang tua yang merasa tidak sanggup mendidik anak mereka beranggapan bahwa jika anaknya belajar di pesantren, maka akan sering diajarkan ilmu agama dan berharap tingkah lakunya akan berubah menjadi lebih baik. Walaupun memang tidak semua anak yang masuk pesantren adalah anak-anak nakal, tapi citra itu masih melekat sampai sekarang.
Apakah pencitraan ini sudah ada sejak berdirinya pesantren?
Kita lihat dulu sejarah pesantren itu sendiri. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Maulana Malik Ibrahim, sebagai pioneer Wali Songo, merupakan tokoh pertama yang mengaplikaiskan atau mengenalkan sistem pendidikan pesantren. Awalnya, Maulana Malik Ibrahim hanya membuka warung sehingga ia bisa menyebarkan agama Islam. Di rumahnya pula ia membuka praktek ketabiban. Karena semakin banyak orang yang ingin belajar islam dan ilmu ketabiban, akhirnya ia medirikan banguan khusus untuk menampung murid-muridnya belajar. Inilah cikal bakal pesantren di Indonesia.
Namun, pendiri pesantren pertama adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel di wilayah Ampel Denta, Surabaya. Jadi pada dasarnya, pesantren memang ditujukan untuk tempat menuntut ilmu sama halnya dengan sekolah umum lainnya. Bedanya, ilmu agama di pesantren memang lebih menonjol.
Munculnya pencitraan pesantren yang diidentikkan sebagai sekolah untuk anak-anak nakal dikarenakan pesantren memiliki kekhasan menghukum siswanya dengan kekerasan. Hukuman fisik di pesantren dulu terasa jamak, seolah-olah sudah menjadi tradisi pesantren. Ada yang dipukul pakai rotan oleh sang kyai, atau bahkan ditempeleng. Jika lapor ke orang tua, maka hukuman malah ditambah oleh si bapak.
Karena alasan itulah maka orang tua menitipkan anak-anak mereka yang cenderung nakal untuk dididik di pesantren yang keras sehingga mereka bisa takut untuk berbuat salah. Meskipun kita tahu, kekerasan bukanlah solusi untuk memperbaiki akhlak anak-anak kita. Akan tetapi, untuk pesantren-pesantren tardisional jaman dulu, metode ini memang cukup berhasil. Sekarang? Sepertinya hukuman fisik sudah tidak ada atau kalaupun masih ada tidak separah dahulu. Bahkan sekarang banyak pesantren mengusung konsep modern dengan pendidikan ramah pada siswa tanpa kekerasan tetapi diganti dengan kedisiplinan.
Jadi pencitraan pesantren sebagai tempat mengubah anak nakal menjadi anak baik sedikit banyak ada benarnya, karena masih banyak pula alasan seperti itu yang dipakai orang tua untuk menitipkan anak-anak mereka di pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H