Mohon tunggu...
nunk
nunk Mohon Tunggu... Arsitek - arsitek birokrat

arsitek birokrat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Kampung Warna: Menghilangkan Permukiman Kumuh atau Sekadar "Make Up" Saja?

23 Agustus 2017   15:29 Diperbarui: 23 Agustus 2017   23:41 3283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Pelangi Wonosari, Semarang. Sumber ilustrasi: kitaina.id

Tren kampung warna warni seperti mewabah di negeri ini. Tercatat telah ada puluhan lokasi kampung warna-warni yang dulunya kumuh sekarang menjadi destinasi wisata baru. Di Jawa Timur ada Kampung Jodipan Malang, Kampung Kelir Kroman Grasik, Kampung sungai Kalilo Banyuwangi dan kampung Kenjeran Surabaya. Di Jawa Tengah ada Desa Wisata Bejalen Ambarawa dan Kampung Warna Wonosari di Semarang, dan di beberapa kota lain seperti di Lubuk Linggau dan Kampung Teluk Seribu di Balikpapan. 

Kampung warna di Indonesia berawal dari Kampung Kali Code di Yogyakarta. Merupakan permukiman kumuh di pinggiran Kali Code dengan latar belakang penghuninya adalah pekerja kasar dan sektor informal. Pemerintah bermaksud menggusur pada tahun 1983, tetapi dapat ditangguhkan atas permohonan ketua RT dan Romo Mangun.

Akhirnya dilaksanakan revitalisasi dan selesai selama kurang lebih 2 tahun. Proses revitalisasi berjalan secara spontanitas dan alamiah. Umumnya konstruksi rumah menggunakan bambu, dinding bilik bambu dan atap seng. Partisipasi warga yang besar menjadi faktor utama keberhasilan program ini. Relawan dari mahasiswa seni rupa turut berperan dalam memperindah tampilan luar rumah mereka yang artistik dan penuh warna. Karya Romo Mangun ini berhasil meraih Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural di negara berkembang. Nilai-nilai estetika di Kampung Code yang berwarna-warni, sederhana, apa adanya menyimpan nilai kemanusiaan di mana sesuatu yang dicap kumuh dapat berubah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi pada estetika perkotaan.

Budaya berswafoto dan diunggah di sosial media menjadi penyebab utama orang mendatangi lokasi wisata termasuk kampung warna. berfoto di photo booth menjadi kegiatan rutin di tiap acara, baik formal maupun non formal. Semakin banyak yang nge-like atau komentar di foto seseorang seperti meningkatkan derajat eksistensi orang tersebut. Budaya ini telah menggeser tujuan utama orang berwisata yaitu untuk melepas penat, mencari udara segar dan menikmati pemandangan. Dahulu orang menghindari pemukiman kumuh, untuk berbecek-becek apalagi untuk berkunjung dan berswafoto, namun saat ini orang mau saja berwisata dengan membayar dengan nominal cukup murah, dengan tetap berpanas-panas ria dan berbagai aroma yang menusuk hidung serta polusi udara khas perkotaan namun dengan disuguhi pemandangan yang menarik dan unik.

Di dunia sebernarnya telah ada kampung warna-warni yang lebih dahulu terkenal seperti di Riomaggiore dan Cinque Terre, keduanya di Italia. Atau Favela Rochinca dan Santa Marta di Brazil. Riomaggiore adalah sebuah desa yang telah ada sejak abad 13 dengan bangunan berundak warna-warni karena bangunan bertingkat terletak di perbukitan. Terletak di teluk Genoa, sebagai tujuan wisata terkenal, desa ini memiliki restauran, bar dan toko-toko untuk turis. Lain halnya dengan di Brazil, kampung warna-warni di Brazil terdapat di favela. Favela adalah sebutan wilayah urban yang dihuni masyarakat miskin dan kumuh. Favela terbesar terdapat di Rio de Janeiro. Seperti halnya di Indonesia, favela-favela terdapat di perkotaan sebagai permasalahan klasik negara berkembang.

Cinque Terre di Italia. Sumber ilustrasi: lonelyplanet
Cinque Terre di Italia. Sumber ilustrasi: lonelyplanet
Favela di Rio de Janeiro. Sumber ilustrasi: urbanadventures.com
Favela di Rio de Janeiro. Sumber ilustrasi: urbanadventures.com
Tren kampung warna untuk mengentaskan kawasan kumuh sebenarnya hanyalah riasan wajah saja. Akses masyarakat kawasan kumuh terhadap sanitasi dan air bersih perlu mendapat perhatian lebih. Perbaikan drainase, sanitasi dan air bersih menjadi syarat utama pengentasan kawasan kumuh, seperti tertuang dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) 100-0-100 pada tahun 2019 dan target RPJMN 2014-2019, yaitu target 100% akses air minum, 0% kawasan permukiman kumuh, dan 100% akses sanitasi layak.

Sustainable Development Goals adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi. Tujuan ini dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030.

Pemandangan alam yang menarik yang tidak dimiliki oleh kawasan permukiman terutama di perkotaan memaksa warga baik secara swadaya maupun bantuan Pemerintah menyulap lingkungan permukiman menjadi secantik mungkin untuk menjadi lokasi photo booth. Warga secara sukarela bergotong royong mengecat rumahnya warna warni, bahkan terlibat pula komunitas-komunitas mural yang sukarela mencurahkan kreativitas mereka ke dinding, genteng bahkan di jalan-jalan lingkungan pemukiman warga. Barangkali ini menjadi salah satu alternatif penanganan kawasan kumuh secara swadaya oleh masyarakat di samping menciptakan obyek wisata baru di perkotaan dan meningkatkan perekonomian sehingga berujung pada kesejahteraan masyarakat.

Dengan berdatangannya wisatawan untuk berswafoto, membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Tiket masuk, pemandu wisata dan parkir menjadi pemasukan bagi kelompok masyarakat, sementara warga dapat menjajakan makanan, minuman dan souvenir dengan membuka warung. Sebagai obyek wisata, kampung warna hendaknya tidak hanya menyiapkan tampilan make up warna-warninya saja, namun juga berbenah aspek non fisik, seperti penyiapan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) wisata yang mengelola kampung warna, sehingga dapat terjaga keberlanjutannya.

KSM ini mengelola finansial pemasukan dan pengeluaran, jangan sampai begitu muncul dan terkenal, namun karena warga tidak siap menyambut wisatawan dan tidak dikelola secara profesional, kampung warna menjadi terbengkelai dan ditingggalkan. Pemerintah perlu mengadakan pelatihan bagi warga dalam mengelola obyek wisata, serta turut membantu mempromosikan dan bantuan anggaran bila dimungkinkan.

Dengan pengelolaan yang profesional, kampung warna bisa secara mandiri mengentaskan kemiskinan dan pemukiman kampung kumuh. Diharapkan dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat, secara otomatis perilaku masyarakat juga berubah, yang tadinya membuang sampah sembarangan di sungai, buang air besar di sungai menjadi berkurang. Perubahan perilaku masyarakat menjadi hidup sehat secara otomatis meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, semoga....!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun