Mohon tunggu...
nunk
nunk Mohon Tunggu... Arsitek - arsitek birokrat

arsitek birokrat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salatiga Bukan Kota Radiator Spring

19 Juni 2017   10:11 Diperbarui: 20 Juni 2017   22:41 2144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: infonawacita.com

Yang hobi nonton film animasi tentu tidak asing dengan kota Radiator Spring, ya kota kecil dalam film The Cars karya Disney/Pixar tahun 2006. Kota fiktif ini dalam ceritanya menjadi kota mati gara-gara dibangun interstate road atau jalan tol, karena tidak ada lagi pengendara yang transit di kota ini. Radiator Spring memang kota fiktif, namun cerita ini berdasarkan kondisi sebenarnya kota-kota kecil yang terletak di bagian jalan Route 66 yang mengalami penurunan dengan adanya interstate-40 (I-40) pada awal tahun 1970-an. 

Route 66 sebagai salah satu jalan nasional berawal dari Chicago melalui Kota Illinois, Missouri, Kansas, Oklahoma, Texas, New Mexico, Arizona, dan California sebelum berakhir di Los Angeles dengan panjang 3.940 Km. Route 66 yang diresmikan tahun 1926 merupakan jalur utama para imigran yang pergi ke Barat dan menjadi penyokong ekonomi kota-kota kecil yang dilaluinya. Route 66 secara resmi dihapus dari sistem jalan raya Amerika Serikat pada tahun 1985 karena dinilai sudah tidak relevan karena digantikan oleh I-40. Namun, saat ini bagian jalan yang melalui Illinois, New Mexico, dan Arizona telah ditetapkan sebagai National Scenic By Way (Jalan Berpemandangan Indah Nasional) dan masuk dalam peta dengan nama barunya "Historic Route66" (Route 66 yang bersejarah).

Apa kaitannya Radiator Springs dengan Salatiga? 

Pertanyaan ini terlintas saat foto Gerbang Tol Salatiga yang viral sebagai gerbang tol terindah di Indonesia yang disejajarkan dengan gerbang Tol di Swiss, bahkan Gubernur Jateng pun turut swafoto dengan gambar latar Gerbang Tol Salatiga. Pihak TMJ selaku pengelola Jalan Tol Semarang-Solo memang memiliki tag line "panoramic tol road" untuk ruas Semarang-Solo. 

Beberapa pihak menyambut positif keberadaan Tol Semarang-Solo. Namun, ada juga beberapa kalangan berpendapat sebaliknya. Ilustrasi kota Radiator Spring di atas memberikan gambaran ketakutan pihak-pihak tersebut sebagai dampak adanya Tol Semarang-Solo. Kota Salatiga dikhawatirkan akan menjadi kota mati bila Pemerintah Kota Salatiga tidak segera mengambil langkah. 

Pemerintah Kota Salatiga telah mengusulkan penambahan gerbang tol di Jalan Patimura untuk akses di sebelah utara Salatiga, sementara saat ini hanya ada gerbang Tingkir-Barukan untuk akses di sebelah selatan. Diharapkan adanya penambahan gerbang tol di sebelah utara mempermudah pengguna tol untuk masuk atau keluar Salatiga. Tapi, apakah itu cukup? Atau apakah langkah itu tepat?

sumber: infonawacita.com
sumber: infonawacita.com
Kota-kota di Jawa dibangun pada masa kolonial Belanda dengan salah satunya mempertimbangkan jangkauan sarana transportasi pada masa itu, yaitu kuda. Rata-rata jarak antarkota antara 40-50 km dengan mempertimbangkan kemampuan kuda sehingga kota-kota itu tumbuh sebagai kota transit pada awalnya kemudian berkembang sesuai karakteristik masing-masing kotanya. Dengan perkembangan teknologi transportasi, jarak bukan lagi menjadi kendala. Adanya tol semakin mempersingkat jarak tempuh, mengurangi biaya transportasi, memperlancar arus distribusi barang dan manusia dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian juga.

Dalam film The Cars digambarkan tokoh utamanya, yaitu McQueen, pada akhirnya berhasil menghidupkan kembali kota Radiator Spring dengan menjadikan kota tersebut pusat latihan balap timnya sehingga mampu membelokkan interstate travelers untuk berkunjung ke Radiator Springs. Apakah Salatiga memerlukan McQueen untuk meramaikan kotanya?

Kota Salatiga terletak di antara Kota Semarang dan Solo, berada di tengah-tengah Kabupaten Semarang yang mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah, sementara Radiator Spring digambarkan sebagai kota kecil di tengah-tengah gurun yang tandus dan tidak berpenghuni, namun keduanya sama-sama memiliki pemandangan yang indah. Kegiatan utama Radiator Spring hanyalah sebagai kota transit bagi interstate travelers, yaitu isi bensin, ganti ban, makan-minum dan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Wajarlah bila dengan adanya tol kotanya mati. Beberapa pihak mengharapkan Salatiga membangun sesuatu yang memiliki daya tarik sehingga memaksa pengguna tol untuk singgah ke Salatiga. Sesuatu itu apa?

Kota Salatiga kegiatan utama kotanya sudah bergeser dari kota transit menjadi kota tujuan. Lihatlah pelat-pelat nomor kendaraan di pasar pagi, di pasar-pasar, di pusat-pusat perbelanjaan, di sekolah-sekolah dari SD, SMP, SMA, SMK hingga perguruan tinggi bahkan di rumah sakit hampir dipenuhi pelat nomor kendaraan luar kota di sekitar Salatiga. Memang fungsi transit masih ada di Salatiga. Citarasa kuliner di Salatiga saat ini mampu menarik para interstate travelers mampir di Salatiga untuk menikmati wedang ronde, sate kambing, sate sapi, nasi goreng, roti, dan lain-lain. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran beberapa kalangan bahwa adanya tol akan berdampak ke sektor tersebut. 

Kota Salatiga dalam RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) dan RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) termasuk sebagai PKN (Pusat KegiatanNasional) Kedungsepur dan ditetapkan sebagai PKW (Pusat Kegiatan Wilayah), yang artinya Salatiga bersama-sama dengan Kendal-Demak-Ungaran-Semarang-Purwodadi menjadi kawasan strategis nasional dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan bersama. Sebagai PKW, Salatiga berperan melayani kawasan sekitar, seperti Beringin, Suruh, Dadap Ayam, Tengaran, Getasan, dan Tuntang dalam berbagai sektor, seperti perdagangan jasa, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal ini selaras dengan tujuan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Salatiga, yaitu mewujudkan Kota Salatiga sebagai pusat pendidikan dan olahraga di kawasan Kendal--Ungaran--Semarang--Salatiga--Purwodadi (Kedungsepur) yang berkelanjutan didukung sektor perdagangan dan jasa yang berwawasan lingkungan.

Dengan adanya tol atau tidak adanya tol, Salatiga tetap ramai dikunjungi warga hinterland, seperti Beringin, Dadap Ayam, Suruh, Tengaran, Getasan, dan Tuntang yang membutuhkan pelayanan dalam berbagai sektor, seperti perdagangan jasa, pendidikan, dan kesehatan. Kegiatan perekonomian terus bergerak dimulai dari pasar pagi pedagang-pedagang sayur dari Getasan dan Kopeng sudah berdatangan sebelum subuh ke Salatiga. Pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi warga dari sekitar Salatiga untuk berbelanja, sementara sekolah-sekolah di Salatiga menjadi tujuan menuntut ilmu, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Demikian pula mereka mendapat pelayanan kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan di Salatiga. 

Kota Salatiga harusnya tetap optimis menyambut tol. Memang kota kecil ini tidak memiliki potensi alam yang berlimpah, namun kota ini telah mengambil peran sebagai kota perdagangan dan jasa yang melayani tidak hanya warga Kota Salatiga, tetapi juga wilayah sekitarnya. Lihatlah Singapora, kota kecil yang tidak memiliki sumber daya alam tapi mengatur perdagangan di Asia, bahkan dunia. Di sektor pariwisata, Salatiga ke depan sebaiknya mengembangkan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), pertumbuhan hotel di Salatiga yang terus meningkat dapat didukung untuk mengembangkan MICE di Salatiga. 

Setelah Tol Semarang - Solo beroperasi, akses dari Bandara A. Yani Semarang maupun Adi Soemarmo Solo dapat dicapai dengan mudah dan cepat. Salatiga dengan adanya jalan tol akan semakin berperan mendukung kota-kota besar di Jawa Tengah seperti Semarang dan Solo. Penyediaan hunian bagi warga Semarang dan Solo dapat dipenuhi di Salatiga, kota yang relatif masih sejuk dan kota paling toleran di Indonesia, merupakan kota yang layak untuk dihuni dan dapat diakses hanya dalam satu jam dari Semarang maupun Solo. Julukan sebagai Indonesia mini membuktikan Salatiga sangat kondusif dan harmonis. Pendidikan yang berkualitas di Salatiga menjadi magnet bagi pencari ilmu, tidak hanya warga Salatiga dan sekitarnya, tetapi juga kota-kota di seluruh Indonesia.

Namun, Kota Salatiga jangan sampai terlena. Apa yang telah dimiliki oleh kota ini dan rencana-rencana yang akan datang jangan sampai melupakan aspek lingkungan hidup. Pembangunan jalan tol ini telah mengorbankan ratusan hektar lahan pertanian, baik sawah maupun tegalan. Jangan sampai tol dan tuntutan investasi tidak mengindahkan pembangunan berkelanjutan dan merusak keindahan alamnya.

Hilangkan ketakutan Salatiga akan mati. Salatiga bukan Radiator Spring.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun