Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pena Lebih Tajam dari Tirani: Pramoedya dan Mahakarya yang Menolak Mati

3 Februari 2025   17:09 Diperbarui: 3 Februari 2025   17:17 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pramoedya Ananta Toer: Kata-Kata yang Tak Bisa Dijegal, Karya yang Tak Bisa Dibungkam

Di negeri yang gemar menyekat suara-suara kritis, Pramoedya Ananta Toer memilih untuk tetap bicara. Tidak dengan pidato lantang di atas podium, tidak pula dengan orasi yang menggema di jalanan.

"Pram" begitu ia kerap disapa adalah sosok yang tak pernah menyerah pada tekanan. Ia berbicara melalui kata-kata, yang mengalir dalam setiap lembar buku, menembus batas waktu dan kekuasaan. 

Bagi seorang Pramoedya, kata-kata bukan sekadar barisan huruf di atas kertas. Kata-kata adalah perlawanan,  kejujuran dan nyawa. 

Maka, ketika kekuasaan mencoba membungkamnya, ia tidak berhenti menulis. Ketika pena dan kertasnya dirampas, ia tidak menyerah. Bahkan ketika ia dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke Pulau Buru, ia tetap berkisah.

Dibungkam, Namun Tak Pernah Diam

Pramoedya lahir bukan dari zaman yang mudah. Ia tumbuh dalam pergolakan, dalam pasang surut sejarah Indonesia yang penuh luka. 

Karyanya bukan sekadar cerita, melainkan cermin dari bangsa ini, terlalu jujur, terlalu berani, dan karenanya, terlalu berbahaya bagi mereka yang ingin sejarah ditulis dengan satu suara saja.

Pada tahun 1965, setelah peristiwa G30S, ia ditangkap tanpa pengadilan. Hanya karena pemikirannya yang dianggap dekat dengan ideologi kiri, ia dicabut dari kebebasannya dan dibuang ke Pulau Buru.

Di sana, ia dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang sangat keras. Setiap hari, kakinya menapaki tanah keras dengan beban kerja yang melelahkan, ditengah tubuh-tubuh yang didera kelaparan, dan di sekelilingnya, kematian seakan begitu dekat.

Namun, di tengah semua itu, Pram tetap menulis. Ia tidak memiliki pena, tidak ada kertas, bahkan sekadar hak untuk membaca pun dirampas. 

Imajinasi dan ingatannya tidak bisa dikekang. Maka, ia menuturkan kisahnya secara lisan kepada sesama tahanan, menyusun bab demi bab dalam ingatan.

Dari sana lahirlah Tetralogi Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Ia tidak menulisnya dengan tangan, tetapi dengan nyawanya.

Api yang Tak Pernah Padam

Ketika akhirnya ia dibebaskan pada 1979, kebebasan itu hanyalah ilusi. Ia masih diawasi, dicekal, dan dilarang berbicara di depan publik. 

Buku-bukunya dilarang beredar, bahkan rumahnya pernah digerebek dan manuskripnya dibakar. Namun, api yang membakar karyanya justru menjadi suluh semangat bagi banyak orang.

Semangatnya tak pernah padam. Seperti halnya "Minke", tokoh utama dalam Bumi Manusia yang menolak tunduk pada penindasan, Pram juga menolak menyerah. Meskipun ia dilarang meninggalkan negeri untuk menerima berbagai penghargaan internasional, suaranya tetap menggema.

Dunia tak menutup mata. Ia dianugerahi Ramon Magsaysay Award, dinominasikan untuk Nobel Sastra, dan karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Bahkan buku-bukunya dilarang beredar, generasi muda tetap mencarinya, membacanya secara sembunyi-sembunyi, seolah membisikkan perlawanan dalam diam.

Mahakarya yang Tak Pernah Mati

Kini, Pramoedya telah tiada, tetapi suaranya tetap hidup. Ia membuktikan bahwa kata-kata lebih kuat dari borgol, lebih tajam dari senapan, dan lebih abadi dari kekuasaan yang berusaha membungkam.

Ia adalah bukti bahwa kekuasaan bisa merampas kebebasan, bisa menghapus nama dari daftar penghargaan, bisa membakar naskah hingga menjadi abu. Tapi kekuasaan tak pernah benar-benar bisa membungkam kekuatan kata-kata.

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."

Pramoedya tak pernah hilang. Ia tetap hidup dalam setiap halaman bukunya, dalam setiap jiwa yang membaca dan meneruskan perjuangannya. 

Sebab, sebagaimana yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya, sebuah gagasan tak bisa dipenjara, dan sebuah cerita tak akan pernah mati.

Mari teladani dan terus jaga kobar semangat seorang "Pramoedya Ananta Toer" dalam jiwa kita semua..

Semoga Bermanfaat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun