Di era media sosial, berbagi momen bersama anak adalah hal lumrah. Dari langkah pertama hingga cerita lucu mereka, segalanya menjadi konten yang menarik. Fenomena ini dikenal sebagai "sharenting", orang tua yang membagikan kisah parenting mereka secara online.
Namun, di balik kehangatan cerita dan potensi popularitas, ada risiko yang kerap terabaikan. Banyak anak yang tak punya kendali atas apa yang dibagikan tentang mereka.Â
Padahal, setiap unggahan bisa berdampak panjang, baik bagi perkembangan psikologis mereka maupun hubungan sosialnya di masa depan.
Lalu, bagaimana agar orang tua bisa berbagi dengan bijak, tanpa merugikan anak, saat ini ataupun nanti? Berikut panduan detail untuk sharenting yang aman dan tetap menghormati hak anak.
1. Anak Anda bukan sekadar konten, libatkan mereka dalam keputusan. Momen lucu atau mengharukan memang menggoda untuk dibagikan. Namun, sebelum memposting, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah anak saya setuju dengan ini?"
Jika anak sudah cukup besar, libatkan mereka. Jelaskan apa yang ingin Anda unggah dan dampaknya. Beri mereka hak untuk menolak atau memberikan pendapat. Dengan cara ini, Anda tidak hanya menghormati privasi mereka, tetapi juga mengajarkan pentingnya pengambilan keputusan sejak dini.
Anak salah seorang teman saya pernah berkata, "Aku merasa malu setiap kali teman-temanku membicarakan beberapa foto masa kecilku di medsos. Teman-teman memanggilku si gemoy sampai saat ini. Apalagi salah satu videoku menjadi bahan ejekan."Â
Ungkapan tersebut bisa menyadarkan kita bahwa mereka punya perasaan yang harus dihormati. Mungkin saat itu foto atau video tersebut lucu dan menggemaskan, orang tua dengan bangga membaginya. Tapi dampaknya adalah ketika anak beranjak tumbuh besar dan dewasa. Akan ada beragam ekspresi yang dia ungkapkan dan diberikan oleh teman disekelilingnya.
2. Hindari konten yang memalukan atau menyinggung martabat anak. Terkadang, orang tua tanpa sadar mengunggah konten yang kelak dapat membuat anak malu. Misalnya, video mereka menangis, marah, atau insiden memalukan lainnya. Di mata orang tua, itu mungkin lucu, tapi di mata anak, itu bisa jadi kenangan pahit.
Bayangkan anak Anda melihat video itu saat dewasa atau teman-temannya menjadikannya bahan olok-olokan. Alih-alih kebanggaan, yang muncul adalah rasa terpojok dan trauma.
3. Batasi informasi pribadi yang Anda bagikan. Data pribadi seperti lokasi sekolah, jadwal harian, hingga alamat rumah sebaiknya tidak diunggah. Informasi ini berpotensi digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan memicu ancaman penculikan atau penipuan.
Gunakan pengaturan privasi di media sosial untuk membatasi siapa saja yang dapat melihat unggahan Anda. Pastikan hanya orang-orang terpercaya yang memiliki akses ke momen anak Anda.
4. Ajari anak tentang resiko dunia digital.
Jangan biarkan anak tumbuh tanpa pemahaman tentang jejak digital. Beritahu mereka bahwa apa yang diunggah di internet sulit dihapus sepenuhnya. Ajarkan mereka untuk bijak memilih apa yang layak dibagikan.
Dengan memberikan pemahaman ini, Anda membantu mereka membangun kesadaran digital yang penting untuk masa depan. Ini juga membangun kepercayaan antara Anda dan anak.
5. Jangan jadikan anak sebagai komoditas finansial. Monetisasi konten anak memang menggoda, terutama dengan adanya peluang endorsement dan penghasilan dari platform digital. Namun, pastikan bahwa anak tidak merasa terbebani atau dieksploitasi.
Jika penghasilan diperoleh dari konten mereka, alokasikan sebagian untuk tabungan masa depan mereka. Kita harus selalu mengingat bahwa anak adalah subjek, bukan objek. Hak mereka harus tetap diutamakan.
6. Pantau dan lindungi dari komentar negatif, internet tidak selalu ramah. Komentar negatif dari warganet bisa merusak kepercayaan diri anak. Sebagai orang tua, Anda harus aktif memantau respons publik dan menyaring hal-hal yang berpotensi menyakiti anak.
Jika ada komentar yang merugikan, tangani segera. Beri tahu anak bahwa Anda ada untuk melindungi mereka, sekaligus ajarkan cara menghadapi kritik dengan bijak.
7. Ciptakan konten yang positif dan inspiratif. Jiika ingin membagikan cerita anak, fokuslah pada hal-hal yang menginspirasi. Misalnya, pencapaian kecil mereka, hobi yang mereka sukai, atau momen kebersamaan keluarga. Konten seperti ini tidak hanya memperkuat hubungan Anda dengan anak, tetapi juga memberikan dampak positif bagi audiens Anda.
Jadilah orang tua yang bijak. Sharenting adalah seni yang membutuhkan keseimbangan antara berbagi kebahagiaan dan menjaga privasi anak. Sebelum mengunggah, selalu tanyakan pada diri Anda, "Apakah anak saya nyaman dengan ini?", "Apakah ini akan berdampak buruk pada masa depan mereka?"
Ingat, jejak digital adalah warisan yang Anda tinggalkan untuk anak. Jadikan itu sesuatu yang mereka banggakan, bukan mereka sesali.
Di balik setiap unggahan, ada cerita yang bisa membangun atau menghancurkan. Pilihan ada di tangan Anda sebagai orang tua. Mari berbagi dengan hati, demi kebahagiaan dan kenyamanan anak-anak kita!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI