Murid Tidak Belajar dari Guru yang Mereka Tidak Sukai: Nilai dan Pentingnya Hubungan Manusia
Pernahkah kita berpikir, mengapa beberapa murid tampak enggan memperhatikan di kelas, bahkan cenderung menutup diri dari pelajaran?
Sebagian besar guru mungkin akan menyalahkan kurangnya motivasi atau disiplin dari murid. Namun, James Comer, seorang pakar pendidikan, memberikan pandangan yang menyentuh akar persoalan ini: "Tidak ada pembelajaran berarti yang bisa terjadi tanpa hubungan yang bermakna."
Kutipan ini membuka mata kita pada kenyataan bahwa pembelajaran bukanlah proses mekanis. Pendidikan melibatkan hubungan manusia yang kompleks, tempat rasa saling percaya, empati, dan penghormatan menjadi jembatan utama bagi proses belajar mengajar.
Dalam praktiknya, beberapa guru merasa tugas mereka selesai setelah menyampaikan materi, memberi tugas, dan melengkapi penilaian. Beberapa bahkan beranggapan bahwa "disukai murid" adalah hal yang remeh dan tidak perlu diperhatikan.Â
Namun, pandangan ini mengabaikan inti dari pendidikan itu sendiri. George Washington pernah berkata, "Semua pembelajaran adalah pemahaman hubungan."
Apa artinya ini? Murid, sebagai manusia yang sedang tumbuh dan mencari identitas, membutuhkan lebih dari sekadar fakta atau rumus. Mereka membutuhkan figur yang dapat menjadi teladan, seseorang yang mendengarkan, memahami, dan memperhatikan mereka. Tanpa hubungan ini, pelajaran hanyalah kata-kata hampa yang sulit mereka serap.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mengajarkan prinsip yang hingga kini tetap relevan: "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."Â
Guru harus hadir sebagai teladan di depan, pembangun semangat di tengah, dan pendorong di belakang. Ketika guru hanya fokus pada tugas mengajar tanpa peduli pada hubungan emosional dengan murid, prinsip ini menjadi hampa.
Mari simak kisah inspiratif berikut;
Di sebuah sekolah kecil di pelosok, seorang murid bernama Dara dikenal sebagai anak yang sulit diatur. Dia kerap mengabaikan pelajaran dan sering mendapat teguran dari guru.Â
Namun, narasumber yang juga merupakan wali kelas mencoba pendekatan berbeda. Ia tidak hanya mengajarkan pelajaran di kelas, tetapi juga berusaha mengenal Dara lebih dalam.
Beliau mulai menyapa Dara setiap pagi, memuji usaha kecilnya, dan mendengarkan cerita-ceritanya. Meski tampak sederhana, namun dalam beberapa bulan, perubahan terlihat.Â
Dara mulai lebih terbuka, aktif bertanya di kelas, dan bahkan menunjukkan minat pada pelajaran yang dulu ia benci. Hubungan emosional yang terjalin menjadi kunci perubahan tersebut.
Kisah diatas bukanlah kebetulan. Penelitian menunjukkan bahwa murid belajar lebih baik ketika mereka merasa dihargai dan diperhatikan oleh guru mereka.Â
Hubungan yang baik menciptakan lingkungan belajar yang positif, di mana murid merasa aman untuk bertanya, berpendapat, dan berproses tanpa takut dihakimi.
Sebaliknya, guru yang cenderung otoriter atau tidak peduli sering kali menemui hambatan dalam proses mengajar.Â
Murid yang merasa diabaikan atau tidak dipahami akan lebih cenderung menutup diri, bahkan kehilangan motivasi untuk belajar.
Bapak Ibu guru hebat, Mari kita berefleksi !
Pendidikan adalah perjalanan bersama. Sebagai pendidik, penting untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah saya telah menciptakan ruang di mana murid merasa didengar? Apakah saya sudah menunjukkan kepedulian pada kebutuhan emosional mereka?
Guru yang baik bukan hanya mereka yang menguasai materi pelajaran, tetapi juga mereka yang memahami bahwa setiap murid adalah individu unik dengan cerita dan tantangan masing-masing.Â
Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Pendidikan sejati terjadi di hati, bukan sekadar di kepala.
Membangun hubungan yang bermakna dengan murid bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, empati, dan dedikasi.Â
Namun, hasilnya akan sebanding. Murid tidak hanya belajar materi, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang akan membekas sepanjang hidup mereka.
Karena pada akhirnya, murid tidak akan belajar dari guru yang tidak mereka sukai. Sebaliknya, mereka akan mengenang guru yang menyentuh hati mereka, memberi semangat, dan percaya pada kemampuan mereka, bahkan ketika mereka sendiri tidak yakin bisa melakukannya.Â
Inilah makna sejati dari pendidikan: hubungan manusia yang membangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI