Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Autis Bisa Sembuh? Memahami Spektrum Autisme dan Penanganannya

10 September 2024   19:00 Diperbarui: 10 September 2024   19:01 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Autisme, atau gangguan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD), adalah kondisi perkembangan neurologis yang mempengaruhi interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku. Anak dengan autisme biasanya menunjukkan tantangan dalam memahami isyarat sosial, berkomunikasi secara verbal dan non-verbal, serta berperilaku dalam cara yang mungkin terlihat berulang atau tidak umum. 

Penting untuk dipahami bahwa autisme bukanlah penyakit yang bisa "sembuh" melalui pengobatan atau terapi medis tertentu. autisme merupakan kondisi yang mempengaruhi cara seseorang dalam berperilaku dan berinteraksi. Mereka membutuhkan dukungan serta intervensi yang tepat untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki.

Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang ras, etnis, atau status sosial ekonomi. Gejala autisme biasanya muncul pada usia dini, umumnya sebelum anak berusia tiga tahun, dan terjadi lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan. 

Meskipun tidak ada penyebab tunggal yang diketahui, faktor genetik dan lingkungan sering dikaitkan dengan perkembangan autisme. Penting juga untuk diingat bahwa tingkatan autisme dapat sangat bervariasi dari individu ke individu, sehingga spektrum autisme mencakup berbagai gejala dan tingkat kebutuhan dukungan yang tidak sama.

Autisme sering kali terdiagnosis pada masa kanak-kanak. Orang tua atau guru mungkin mulai memperhatikan keterlambatan dalam bicara, kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, atau perilaku yang tidak biasa pada anak sejak usia balita. Diagnosis autisme biasanya dilakukan oleh profesional seperti psikolog atau dokter spesialis perkembangan anak, yang menggunakan berbagai tes dan pengamatan untuk menentukan apakah seorang anak menunjukkan gejala-gejala ASD.

Intervensi untuk anak autis dapat dilakukan di berbagai tempat, mulai dari rumah, sekolah, hingga pusat terapi khusus. Anak dengan autisme biasanya mendapatkan manfaat dari intervensi dini, seperti terapi perilaku terapan (Applied Behavior Analysis/ABA), terapi wicara, terapi okupasi, dan metode visual. 

Pendekatan pembelajaran yang berdiferensiasi dan inklusif di sekolah juga penting untuk mendukung perkembangan kognitif, komunikasi, sosial, dan emosional mereka. Di Indonesia, terdapat berbagai pusat terapi dan sekolah inklusi yang menyediakan layanan khusus untuk anak autis.

"Autisme Bukan Penyakit dan Tidak Bisa Sembuh"

Salah satu miskonsepsi terbesar tentang autisme adalah anggapan bahwa autisme adalah penyakit yang bisa disembuhkan. Faktanya, autisme bukanlah penyakit melainkan perbedaan neurologis atau gangguan perkembangan yang memengaruhi cara seseorang memahami dan merespons dunia di sekitar mereka. 

Oleh karena itu, konsep "kesembuhan" yang sering dikaitkan dengan autisme adalah keliru. Alih-alih berfokus pada "menyembuhkan" autisme, pendekatan yang lebih tepat adalah membantu anak autis berkembang dengan cara mereka sendiri dan mendukung mereka agar bisa menjalani kehidupan yang bermakna, produktif, dan mandiri.

Dukungan bagi anak autis bertujuan untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan yang diperlukan agar bisa beradaptasi dan berkembang. Berikut beberapa pendekatan utama dalam mendukung anak dengan autisme:


1. Intervensi Dini
   Semakin dini anak autis mendapatkan terapi dan intervensi, semakin besar peluang mereka untuk mencapai perkembangan optimal. Program seperti ABA atau terapi berbasis perilaku lainnya dapat membantu anak belajar keterampilan sosial dan komunikasi yang penting.

2. Pendidikan Inklusif dan Berdiferensiasi
   Anak-anak dengan autisme sering kali membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sekolah khusus atau sekolah inklusi yang memberikan perhatian individual serta pendekatan pembelajaran yang berdiferensiasi dapat membantu anak autis berkembang secara akademis dan sosial.

3. Pendekatan Holistik
   Terapi berbasis seni, musik, atau aktivitas fisik seperti berenang atau yoga juga terbukti bermanfaat untuk anak autis. Aktivitas-aktivitas ini dapat membantu mereka mengekspresikan diri, mengurangi stres, dan mengembangkan keterampilan motorik dan sensorik.

4. Dukungan Orang Tua dan Keluarga
   Peran keluarga sangat penting dalam mendukung anak autis. Orang tua perlu mendapatkan informasi dan pelatihan yang tepat agar dapat mendukung perkembangan anak mereka dengan cara yang efektif. Selain itu, komunitas yang mendukung juga berperan dalam memberikan rasa inklusivitas bagi keluarga dengan anak autis.

Banyak orang yang masih beranggapan bahwa autisme adalah penyakit yang harus disembuhkan. Namun, berbagai studi dan ahli menyatakan bahwa autisme adalah perbedaan neurologis yang akan terus ada sepanjang hidup seseorang. 

Sebuah artikel internasional mengenai "Autism and Its Social Impact" menyebutkan bahwa pendekatan yang paling efektif bukanlah mencari "kesembuhan," melainkan memfokuskan intervensi yang mendukung anak autis agar mereka bisa mencapai potensi maksimal dalam kehidupan mereka .

Anak autis tidak "bisa sembuh" karena autisme bukanlah penyakit yang memerlukan penyembuhan. Autisme adalah spektrum perkembangan neurologis yang membutuhkan dukungan dan intervensi yang sesuai. 

Dukungan melalui terapi, pendidikan inklusif, serta peran aktif keluarga sangat penting untuk membantu mereka berkembang dengan cara mereka sendiri. Masyarakat perlu lebih memahami bahwa tujuan utama dalam mendukung anak autis adalah membekali mereka dengan keterampilan yang membantu mereka menjalani kehidupan yang mandiri dan lebih bermakna.

Referensi:  
Lord, C., Risi, S., Lambrecht, L., Cook, E. H., Leventhal, B. L., DiLavore, P. C., ... & Rutter, M. (2000). The Autism Diagnostic Observation Schedule—Generic: A standard measure of social and communication deficits associated with the spectrum of autism. Journal of autism and developmental disorders, 30, 205-223.

Pukki, H., Bettin, J., Outlaw, A. G., Hennessy, J., Brook, K., Dekker, M., ... & Yoon, W. H. (2022). Autistic perspectives on the future of clinical autism research. Autism in Adulthood, 4(2), 93-101.

Rodríguez-Saltos, E. R., Yenchong-Meza, W. E., & Ponce-Solorzano, M. J. Autism and Its Social Impact.(2020) International Research Journal of Management, IT and Social Sciences, 11(4), 102-109.

Wing, L. (1997). The autistic spectrum. The lancet, 350(9093), 1761-1766.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun