Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Jangan Lakukan Politisasi Agama Jelang Pilkada

22 November 2024   19:33 Diperbarui: 22 November 2024   19:33 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak sampai seminggu lagi kita menghadapi pemilihan umum daerah (pilkada). Terdapat sejumlah dinamika yang mewarnainya. Ada yang soal politik dinasti, ada yang soal calon kepala daerah adalah ex narapidana korupsi, ada yang soal ex gubernur yang saat pencalonan di masa lalu memakai politik identitas, kini mendukung salah satu calon baru di daerah yang sama. Ada juga yang secara sembunyi memakai politik uang dll.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa perhelatan politik seperti sekarang ini, gerakan politisasi dan mistifikasi agama oleh kelompok radikal semakin aktif.  Mereka mengamplifikasikan narasi-narasi tertentu untuk mengacaukan situasi dan bukan untuk mendukung salah satu calon semata. Bahkan banyak dari mereka yang mengecam pilkada sebagai salah satu implementasi demokrasi yang gagal menunjukkan keberhasilannya. Menurut mereka banyak hasil dari demokrasi yang tidak terpuji seperti korupsi, kekuasaan yang semena-mena dll.

Seringkali mereka mengusung tema syariat Islam sebagai dasar bernegara yang paling tepat untuk Indonesia dan khilafah adalah bentuk pemerintahan yang tepat untuk umat Islam di seluruh dunia. Mereka hanya mengemas sedemikian rupa seolah itu adalah mandat ketuhanan yang harus dilakukan oleh umat Islam .

Persoalannya, hukum Islam lebih banyak dipahami secara normatif dan dijadikan sebagai identitas "genuine"yang diusung oleh kaum konservatif. Akibatnya, orang bisa menggadaikan kemanusiaannya demi keimanan yang gelap mata. Ajaran agama seringkali mengandalkan teks dalam kitab suci tanpa mengindahkan konteksnya, sehingga tidak bisa diterapkan di Indonesia yang sarat keberagaman. Kesadaran teks sering kali berbanding terbalik dengan kepekaan konteks sehingga rentan mengancam integrasi nasional.

Mereka seringkali menolak moderasi agama yang memang diperlukan di negara seperti Indonesia ini. Lalu menghembuskan perlunya kekhilafahan di semua ruang gerak kita termasuk politik. Padahal perbedaan jadi takdir Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Setiap momentum politik adalah peluang harmonisasi. Tuhan membuat perbedaan, umat manusia yang merawatnya. Mengupayakan persatuan adalah bentuk tanggung jawab sosial untuk menghormati kehendak Tuhan berupa keberagaman itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun