Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stop Bertindak Arogan

5 April 2024   20:52 Diperbarui: 5 April 2024   20:57 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah dari kita yang sempat bertanya, kenapa beberapa orang-orang mengirimkan maknan pada minggu lalu. Kiriman makanan itu bisa mencapai tiga sampai lima diterima oleh satu keluarga dari lingkungan sekitar. Sebagian orang itu adalah kenduri selikuran atau masuk ke fase terakhir dalam bulan ramadan atau disebut Lailatul Qadar.

Banyak orang yang belum mengerti bahwa kultur islam di Indonesia, sebagian besar masih menganurt kultur islam  yang sarat dengan kearifan lokal. Ini juga yang tidak dihilangkan oleh wali sanga yang menyebarkan islam ke Nusantara, asal tidak melenceng dari ajaran islam itu sendiri. Karena itulah Islam menyebar dengan cepat dan baik ke seluruh Nusantara (indonesia).

 Malam Lailatul Qadar disambut dengan berbagai macam tradisi. Sepuluh hari terakhir adalah waktu yang sangat keramat dan mustajab (mujarab/ ampuh) untuk memohon sesuatu atau berbuat baik dengan pahala maksimal. Pada penghujung bulan ramadan, dimulai dari malam ke 21 (selikur) pintu langit terbuka lebar. Ampunan Allah melimpah bagi umay yang mau dengan tulus mohon ampun atas apa yang sudah dilakukan dan sekiranya salah atau tidak tepat dihadapan Allah. Rahmat Allah tercurah ke bumi dibawa langsung oleh malaikat. Di salah satu malam di 10 hari terakhir Ramadan itu, terdapat Lailatul Qadar yang kedudukannya bahkan lebih mulia dari seribu bulan.

Malam ke 21 itulah yang diperingati dengan kearifan lokal di Nusantara sejak zaman dulu. Keraton Surakarta malah punya tradisi khusus untuk malam ke 21 itu yaitu gerebek  selikur yang melibatkan seribu abdi dalem yang berjalan dari Keraton ke Masjid agung Surakarta dengan membawa pelita  atau obor dan tumpeng. Simbolisasi Islam sebagai pencerah itu dilakukan sejak zaman dulu sampai sekarang. Itulah ekspresi agama yang bersanding dengan kultur lokal.

Sayangnya, beberapa dekade ini, beberapa perayaan agama (islam) dengan kearifan lokal, dikecam oleh uimat islam sendiri yang menginginkan pemurnian agama. Sikap mereka keras bahkan melabeli saudara yang seagama dengan kearifan lokal itu sebagai pelaku bid'ah , pelanggar syariah islam bahkan murtad.

Kelompok pemurnian agama itu sering berlaku arogan dan keras dan mau tidak mau menumbuhkan kontroversi diantara umat. Bahkan kelompok itu sering melakukan kekerasan untuk melarang kearifan lokal itu.

Tentu saja ini persoalan yang pelik dan harus diselesaikan dengan baik diantara pihak. Tidak mungkin untuk menghilangkan tradisi yang sudah mendarah dagiung, bahkan para wali tidak melarangnya, alih-alih demi pemurnian agama. Malam Lailatul Qadar akan sia-sia, bahkan amalanpada masa puasa seakan sia-sia jika kelompok itu selalu melakukan tindakan kontroversial bahkan kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun