Â
 Beberapa orang mungkin masih asing dengan konsep al-wala' wal bara'. Dua istilah yang diambil dari ayat al Qur'an. Al-wala'  artinya kesetiaan, kecintaan dan perwalian yang diambil dari ayat (QS. Al-Maidah [5]: 55-56). Dalam pelaksanannya di lapangan, konsep teologi ini tereduksi bahkan kadang dipolitisasi sebagai bentuk hanya mencintai, berteman dan memilih teman dan pemimpin yang seagama.
Ini terbukti saat Pilkada Jakarta pada tahun 2017 dimana Pilkada berlangsung dua putaran. Di putaran kedua menyisakan dua pasangan kandidat dimana salah satunya adalah non muslim. Ayat dan konsep memilih pemimpin yang seagama di atas dipakai sebagai alat untuk menarik pemimpin ibukota.
Bukan saja berhasil (karena akhirnya pemimpin yang seagama yang akhirnya terpilih) tapi juga menimbulkan kebencian kepada umat yang berbeda yang dalam kontestasi memang ada calon yang berbeda keyakinan. Kita mungkin masih ingat pada seorang nenek yang meninggal -- yang semasa hidupnya mendukung pemimpin non muslim- oleh pihak-pihak tertentu ditolek untuk kepengurusan jenazahnya, saat nenek ini meninggal. Satu peristiwa yang menunjukkan betapa kuatnya kebencian yang terdapat pada pihak-pihak ini.
Ini tak lepas dari konsep al bara' yang artinya  melepaskan, membenci dan memusuhi. Konsep ini diambil dari dari Al-Mumtahanah [60]: 4. Seperti di Pilkada Jakarta, konsep teologis ini dipahami secara serampangan sebagai bentuk membenci dan memusuhi yang berbeda secara keyakinan.
Al-wala' wal bara' menjadi sangat problem sangat besar bagi Indonesia dalam satu decade ini karena ditafsirkan secara serampangan, dan dibumbui hal-hal yang bernada ekstrem. Jika konsep ini dihembuskan secara terus menerus dan massif oleh beberapa pihak, maka tak pelak akan membelah bangsa, apalagi jika dikaitkan dengan peristiwa politik. Selain Pilkada Jakarta seperti yang saya ungkapkan di atas -- meski tak sama persis tapi keterbelahan juga pada Pilpres 2014 dan Pilpres tahun 2019.
Sebenarnya prinsip al-wala' wal bara' ini adalah konsep baru yang tidak popular dalam  khazanah keislaman ulama klasik.Prinsip atau konsep ini sering digunakan oleh beberapa kelompok yang cenderung intoleran bahkan radikal sebagai bentuk doktrin keimanan yang berdampak pada penegasan sosial untuk berkomitmen setia kepada sesama muslim dan melepaskan diri dari ikatan non muslim (kafir). Atau bahkan membencinya.
Sebenarnya, alih-alih menguatkan keimanan, al-wala' wal bara' justru akan bertentangan dengan prinsip dan ekspresi keimanan. Dalam banyak keyakinan, bukankah tidak lengkap iman seorang sebelum mencintai dan menghormati tetangganya, apapun latarbelakangnya (termasuk keberbedaannya dengan kita).
Ataukah keimanan seseorang harus menjauhkan diri dari keragaman? Tidak bukan ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H