Masyarakat Indonesia mayoritas memilih menjadi muslim. Meski demikian negara ini tetap tidak mau menjadikan dirinya sebagai negara Islam. Karena Indonesia juga mengakui keberadaan agama-agama yang lain. Karena itulah, toleransi dan saling menghormati antar umat beragama di Indonesia masih tetap terjaga. Namun, sentimen agama seringkali dibawa-bawa untuk mewujudkan kepentingan tertentu. Dan salah satunya adalah untuk urusan politik. Sejak pilkada serentak hingga pemilihan presiden ini, sentimen agama seringkali dibawah untuk mendapatk dukungan masyarakat.
Akibatnya, kelompok radikal yang tadinya 'tiarap' kini mulai bermunculan dalam beberapa tahun belakang ini. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, berbagai ancaman mulai bermunculan. Mulai ancaman tidak dishalatkan, ancaman tidak masuk surge, hingga ancaman makar dan segala macamnya.
Kini, ancaman-ancaman yang mirip kembali muncul usai pemilihan presiden dan wakil presiden. Hal ini menunjukkan bahwa bibit radikalisme dan terorisme, selalu saja mendompleng segala bentuk ancaman konflik.
Sementara, untuk rencana people power yang digagas oleh beberapa tokoh, akan mengundang banyak massa. Logikanya, apakah polisi akan banyak melakukan penjagaan? Jika iya, dititik inilah potensi aksi terorisme itu terjadi. Kenapa? Karena polisi masih menjadi salah satu musuh utama kelompok teroris di Indonesia.
Hanya berawal dari ujaran kebencian dan provokasi, aksi terorisme bisa terjadi. Hanya dari ujaran kebencian dan provokasi, sebagian orang bisa masuk menjadi bagian dari kelompok radikal dan terorisme. Karena begitulah pengakuan para pelaku teror selama ini. Mereka mengenal bibit radikal dari lingkungan sekitar. Bahkan ketika era digital mulai masuk ke seluruh negara, penyebaran bibit radikalisme pun mulai merambah ke media sosial.
Dan penyebaran bibit radikal ini salah satunya melalui penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan di berbagai media sosial. Lalu, jika bibit kebencian identik dengan kelompok radikal, apa bedanya dengan penyebaran kebencian terhadap tokoh politik tertentu?
Jangan kotori bulan Ramadan ini dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Karena di bulan suci ini, umumnya digunakan umat Islam untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Bentuk mendekatkan diri ini bermacam-macam.
Ada yang membaca Al Quran, saling membantu yang membutuhkan, ataupun menebar kebaikan lainnya. Segala perbuatan baik, apapun itu, akan dicatat sebagai ibadah yang sangat luar biasa.
Karena itulah aksi menolak hasil penetapan pilpres, dengan cara-cara yang salah tentu akan sangat mengotori bulan Ramadan. Apalagi rencana aksi massa dalam jumlah tersebut, akan dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk melakukan aksi terorisme.
Mari kendalikan amarah agar bisa menjadi kerahaman. Mari kendalikan kebencian ini agar menjadi kedamaian. Ingat, semua agama yang ada di Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perdamain.
Kebencian dan provokasi jelas menjauhkan kita semua dari perdamaian. Yuk, kita jadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk menebar kebaikan dan melawan segala bentuk kebencian, hoaks dan provokasi. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H