Mohon tunggu...
Nastiti Cahyono
Nastiti Cahyono Mohon Tunggu... Editor - karyawan swasta

suka menulis dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nilai Syariat dalam Kearifan Lokal, Proses Islamisasi di Indonesia

20 Oktober 2024   14:37 Diperbarui: 20 Oktober 2024   14:40 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah panjang penyebaran Islam di Indonesia dimulai dari pertumbuhan dan perkembangan di wilayah yang dahulu dikenal dengan sebutan Dwipantara, Nuswantara, Nusantara lalu menjadi Asia Tenggara, dan sebagian besar wilayah itu kemudian menjadi Indonesia yang kita ketahui saat ini. Islam tumbuh kira-kira pada abad ke-12 atau 13 kemudian berkembang pesat di Samudera Pasai, Semenanjung Malaya dan Aceh, kemudian menyebar ke keseluruh kepulauan Swarnadwipa (Sumatera), Javadwipa (Jawa), Molucas (Maluku), Celebes (Sulawesi), Borneo (Kalimantan), dan Nusa Tenggara.

Islam berkembang secara bertahap dan melibatkan banyak unsur sosial, budaya, tokoh, pranata sosial, dan lembaga hingga akhirnya terbentuk kekuasaan politik yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam di Peurelak, Pasai, Malaka, Demak, Aceh Darussalam, Mataram, Cirebon, Banten, Banjar, Gowa Makassar, Ternate, Tidore, Buton, Bima, Palembang, Madura, Johor, Kedah, Indragiri Riau hingga Raja Ampat di Papua.

Nusantara menjadi bangsa muslim menurut pandangan pakar dan peneliti Indonesia karena nilai-nilai yang diajarkan Islam lebih cocok dan sesuai dengan pandangan hidup yang berlaku di mayoritas masyarakat lokal, seperti etos dagang, tauhid, egalitarianisme (kesamaan hak dan kesetaraan), toleransi, dan moderasi. Tidak hanya pedagang tapi juga ulama/wali, para pengembara sufi, raja-raja, budayawan, sastrawan, dan lain-lain juga mempunyai andil dalam penyebaran Islam di Nusantara. Transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara tercipta karena peranan tokoh-tokoh tersebut, sehingga pranata keagamaan, pranata sosial-budaya, dan politik berkembang beriringan pada masa itu.

Budaya banyak digunakan sebagai medium Islamisasi di bumi Nusantara. Pantun, prosa, gurindam12, hikayat, dan sebagainya dipakai sebagai medium menyampaikan ajaran tasawuf. Namun karena ajaran tasawuf menggunakan huruf Arab, menjadi sulit bagi masyarakat luas. Teks dalam huruf Arab itu kemudian dialihbahasakan kedalam bahasa Melayu (Pegon) sehingga dapat dimengerti. Hal ini juga terjadi di Jawa, namun karena tidak ada pantun, Wali Songo menggunakan medium gending, tembang, seni pertunjukkan seperti wayang untuk menyebarkan Islam.

Wali Songo tak menolak budaya Jawa tapi mengisinya dengan nilai dan ajaran Islam. Huruf Arab yang dimelayukan (Pegon) diajarkan ke masyarakat luas, akhirnya semua orang dapat mempelajari ilmu-ilmu yang awalnya sulit karena berbahasa Arab. Hal ini mirip dengan adaptasi pesantren atas naskah-naskah berbahasa Arab yang kemudian diajarkan dengan bahasa Jawa-Arab (huruf Jawi).

Jadi nilai syariat Islam sudah banyak mempengaruhi budaya atau adat istiadat di Indonesia karena proses islamisasi Nusantara. Yang tinggal sekarang adalah hanya kemasannya belaka karena substansi dari adat istiadat sudah melalui proses akulturasi ajaran Islam dengan budaya lokal. Sikapilah dengan bijak kearifan lokal yang telah terbukti berabad-abad menjaga keharmonisan relasi sesama manusia, manusia dengan alam dan lingkungan serta manusia dengan Sang Maha Pencipta.

Islam menilai suatu perbuatan itu kepada niatnya, dan niat itu letaknya di dalam hati. Kok bisa-bisanya niat yang adanya di dalam hati seseorang diterjemahkan dan dipukul rata dengan menghukuminya sebagai perbuatan bid'ah atau malah perbuatan syirik. Mungkin kalau ingin memberi peringatan bisa lebih santun, dengan himbauan atau meluruskan, tidak dengan menghukumi. Ingat, anda bukan cenayang yang bisa tahu isi hati seseorang. 

Setiap perbuatan baik pasti ada potensi untuk melenceng, karena setan tidak pernah tinggal diam, mereka selalu berusaha menyesatkan manusia. Jadi memang butuh saling mengingatkan, tapi bukan menghukumi atau menghakimi!!!

Jikala ada kearifan lokal yang telak-telak melanggar syariat bisa kita tinggalkan, tidak juga lantas kita membela mati-matian untuk tetap melestarikannya. Namun jika yang dipermasalahkan adalah perbuatan-perbuatan baik seperti memuji Nabi SAW dengan barzanzi atau sholawatan, maulidan, tahlilan, atau bahkan ziarah kubur, dianggap melanggar syariat, mungkin cara pikir anda yang keliru. Kalau anda sebegitunya alergi dengan kearifan lokal, menyatakan kearifan lokal pemicu desakralisasi agama dan lebih mengagungkan budaya Arab secara berlebihan, lantas mengklaim semua budaya Arab itu sebagai ajaran Islam, mungkin anda mengidap sindrom inferiority complex. Hati-hati lho!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun