Kita sudah 79 tahun merdeka. Banyak hal yang sudah menjadi capaian kita sebagai bangsa. Tapi memang ada beberapa hal mengganjal di kita.
Sebut saja soal intoleransi yang masih saja ada di negara kita. Malah selama satu dekade ini, kasus-kasusnya makin marak dan beberapa malah masuk ke jalur birokrasi dalam hal ini masuk dalam peraturan daerah. Semisal sebuah sekolah negeri di suatu daerah ternyata siswi disana harus memakai jilbab karena sudah menjadi aturan kota tersebut. Sehingga siswi yang mungkin berbeda keyakinan akan memakai jilbab juga.
Intoleransi juga sudah merembes ke system pendidikan kita. Dia masuk melalui pengajar-pengajar yang punya ideologi intoleran, otak sebagian generasi muda kita dicekoki dengan ajaran intoleran yang relative melekat ke anak didik. Proses ini berlangsung lama dan berproses terus, ditambah dengan kemudahan akses informasi yang memungkinkan seseorang mendapatkan faham intoleran dari media sosial dan internet. Beberapa tahun kemudian atau malah beberapa belas tahun kemudian anak-anak ini kemudian menjadi pelaku radikalisme malah terorisme.
Kita bisa melihat fakta itu pada mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Malng terbukti mengumpulkan dana bagi perjuangan ISIS. Disebutkan oleh aparat bahwa dia secara aktif menghimpun dana untuk dikirimkan ke Suriah. Di lain kesempatan dan masih di Malang, kita mendengar berita bahwa seorang yang masih pelajar ditangkap di rumah orangtuanya karena terbukti memiliki bahan peledak. Dalam proses pendalaman polisi, terbukti pelajar tersebut punya rencana untuk meledakkan dua tempat ibadah di Malang.
Belum lagi kisa tentang Dita yang merupakan inisiator bom bunuh diri tiga gereja di Surabaya yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga Dita. Konon, Dita mendapat paparan intoleransi beberapa puluh tahun sebelumnya saat dirinya  masih mahasiswa.  Kemudian berprosesn dan mendapat lingkungan yang mendukung, sehingga akhirnya menjadi pelaku terorisme.
Meski kita pernah punya Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh Islam yang moderat, toleransi di Indonesia masih harus menempuh jalan terjal. Â Padahal secara sejarah toleransi sudah diperlihatkan oleh Wali Songo dan kemudian berproses sedemikian rupa sehingga Islam menjadi agama terbanyak yang dianur warga.
Rasanya, tidak elok jika kita terus menerus berkelindan dengan intoleransi, padahal nenek moyang kita termasuk para tokoh agama sudah mengajarkan sola toleransi berabad lalu. Seharusnya kita bisa melangkah dengan ringa ke depan dan meninggalkan intoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H