Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 31 Juli 2024, Densus 88 kembali melakukan penangkapan tersangka terorisme. Penangkapan tersebut dilakukan di Vila Syariha, Bunga Tanjung, Dusun Njeding, Desa Junrejo, Kecamatan Junrejo, Batu Malang. Penangkapan ini membuktikan, bahwa jaringan sel teroris masih ada di Indonesia. Bahkan terkadang kita tidak sadar, jaringan tersebut ada di sekitar kita. Atau barangkali mereka adalah teman atau tetangga kita sendiri.
Karena itulah, perlu ada peningkatan kewaspadaan, agar regenerasi jaringan teroris ini bisa berhenti. Memang bukan perkara yang mudah, untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme di Indonesia. Perlu ada komitmen dan keseriusan semua pihak, untuk meredam penyebaran konten radikal. Karena saat ini, propaganda radikalisme dilakukan secara masif dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Dalam penangkapan terduga teroris di Malang tersebut, petugas menemukan bahan peledak high explosive, dan alat-alat yang digunakan untuk merakit bom. Ketiga terduga teroris tersebut, diduga berencana melakukan serangan teror. Sasaran yang dituju adalah tempat ibadah di daerah Malang. Yang mencengangkan adalah, satu dari ketiga tersangka tersebut masih berusia 10 tahun.
Tak dipungkiri, kalangan muda atau yang saat ini banyak disebut sebagai generasi Z, seringkali menjadi target jaringan terorisme. Kalangan muda seringkali diprovokasi dan doktrin dengan sentiment agama, tapi yang telah direduksi artinya. Lalu, mereka seringkali dibenturkan dengan logika yang sesat, yang membuat anak muda mengalami kebingungan. Dan ketika bingung, kelompok radikal ini muncul sebagai penyelamat dengan membawa sentimen keagamaan. Pola inilah yang sering terjadi hingga saat ini.
Banyak kalangan muda yang terjebak dan bergabung dengan kelompok radikalis, karena pemahaman yang salah tentang agama. Ketika salah dalam memahami agama, lalu ditambah lagi menjadi korban provokasi, mereka akan mudah sekali digerakka untuk melakukan tindakan yang tidak masuk akal. Salah satunya adalah meledakkan diri sendiri, yang dimaknai sebagai perbuatan jihad. Padahal, jihad tidak pernah mengajarkan dengan cara-cara kekerasan atau menghilangkan nyawa.
Banyak pemahaman menyesatkan, yang dimaknai sebagai sebuah pembenaran. Salah satunya jihad tadi. Dimaknai sebagai perbuatan menegakkan agama Allah, dan dijamin masuk surga, dengan dijemput 72 bidadari. Ironisnya, tidak sedikit dari masyarakat yang mempercainya. Terbukti tidak sedikit dari kalangan muda yang menjadi korban.
Lalu, kenapa banyak generasi Z menjadi pihak yang rawan terjebak dalam jejaring terorisme? Dari sisi teroris, tentu mereka ingin melakukan regenerasi. Mereka ingin mencari generasi baru. Dan anak muda dinilai sasaran yang tepat. Karena itulah, mereka akan terus melakukan berbagai cara, untuk mencari generasipenerus. Bahkan, level anak-anak pun sudah banyak dimanfaatkan dan didoktrin untuk melakukan perbuatan radikal.
Meski Jamaah Islamiyah sudah memutuskan membubarkan diri, bukan berarti penyebaran paham radikal dan jejaring terorisme mati. Mareka terus mencari generasi-generasi baru, untuk mewujudkan kepentingan mereka. Kecanggihan teknologi, sering disalahgunakan untuk menyebarkan paham radikal di media sosial. Anak muda yang lemah dalam literasi, akan mudah menjadi korban. Karena itulah, era teknologi informasi seperti sekarang ini, harus diimbangi dengan ilmu pengetahuan yang benar. Selain itu juga diimbangi dengan pemahaman agama yang tepat, serta pemahaman nasionalisme yang kuat. Harapannya, generasi muda Indonesia tumbuh menjadi generasi tangguh, yang tidak mudah terprovokasi. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H