Mohon tunggu...
Nastiti Cahyono
Nastiti Cahyono Mohon Tunggu... Editor - karyawan swasta

suka menulis dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berita Hoaks dan Dampaknya

9 Mei 2023   22:41 Diperbarui: 9 Mei 2023   22:46 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia informasi,khususnya tahun 2010 ke atas, kita mengenal hoaks. Menurut KBBI , hoaks artinya berita bohong atau berita palsu. Dalam Oxford English Dictionary, hoaks diklasifikasikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat oleh tujuan jahat. Sayangnya, banyak orang yang gemar bermedia sosial (netizen) sering mendefinisikan hoaks sebagai berita yang tidak saya sukai.

Hoaks memang banyak terjadi di dunia media sosial. Ada di tingkat pergaulan sehari-hari sampai menyangkut hal serius seperti politik. Kita tahu bahwa hoaks juga terjadi pada kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk bidang politik yaitu pilpres dan pilkada.

Di Amerika Serikat, juga mengenal hoaks. Mengenal di sini artinya pernah masuk atau terjerembab dalam persoalan hoaks. Kita lihat saat pilpres Amerika selepas Obama memerintah pada tahun 2016. Saat itu kita tahu Hillary Clinton maju sebagai kandidat presiden dari partai Demokrat- partai dimana Obama juga bernaung. Clinton berhadapan dengan Donald Trump dari partai Republik, dimana pada langkah akhir, Trump lah yang terpilih menjadi presiden meski dengan komentar miring karena dia menebarkan hoaks

Saat itu banyak sekali narasi palsu (fake news) seputar Clinton yang akhirnya dipercaya oleh para simpatisannya. Narasi palsu itu diketahui disebarkan oleh tim Trump dan mencakup tiga narasi yaitu Clinton menderita sakit parah, Paus Fransiskus mendukung Trump dan Clinton mendukung penjualan senjata untuk kelompok jihadis termasuk ISIS. Narasi itu tidak hanya di media sosial tapi juga di media mainstream, baik televisi maupun media online. Sehingga mau tidak mau, warga AS membaca dan mendengar.

Ternyata, narasi palsu itu memang benar-benar dipercaya oleh masyarakat AS termasuk warga Amerika yang simpatisan Obama yang berasal dari partai yang sama dengan Clinton. Menurut penelitian, ada sekitar 23 % pro Demokrat yang tidak memilih Clinton. Peneliti menyimpulkan bahwa paparan berita palsu  memiliki dampak sinifikan terhadap keputusan pemilih.

Nah belajar kejadian di AS, Pilkada Jakarta dan Pilpres Indonesia tahun 2019, kita memang harus antisipasi soal ini. Narasi palsu bukan hal sederhana karena dia mempengaruhi kognitif orang sampai tidak mau memilih pihak yang sebelumnya mereka percayai. Narasi palsu atau hoaks juga membuat satu kota terbelah dan susah bersatu lagi seperti yang terjadi di Pilkada Jakarta.

Karena itu, mungkin kita bisa belajar dari itu. Narasi palsu sungguh tidak adil bagi pihak yang diserang. Dan yang penting narasi palsu juga membuat kita menjahi persatuan bangsa; sesuatu yang tak ternilai harganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun