Seorang anak kecil (kemudian diketahui bernama Evan) menjadi korban jiwa serangan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela , Ngagel Surabaya pada hari Minggu, Â 13 Mei 2018. Evan dan adiknya Cattlyn sesaat keluar dari mobil dan menuju gereja sementara orangtuanya memarkir mobil.Â
Evan adalah salah satu dari 10 korban meninggal akibat bom di tiga lokasi gereja Surabaya, dan adiknya serta 40 lain luka-luka. Satpam yang berusaha menghalangi beberapa motor masuk ke area parker terluka parah, begitu juga dua polisi yang ikut menjaga gereja itu.
Seorang saksi mata yang berjualan di kantin dekat gereja Katolik mengatakan bahwa dirinya melihat ada dua orang masuk ke dalam halaman gereja dengan membawa ransel, dan mereka langsung meledak. Ledakan itu cukup hebat karena mengenai satpam dan polisi serta anak kecil itu. Mungkin cerita ini belum benar-benar presisi karena tulisan ini masih beberapa jam sejak kejadian dan masih dalam penyelidikan kepolisian.
Kita ingat bahwa teror bom yang menyerang tempat ibadah dan keramaian dimulai saat bom Bali pada tahun 2002. Setelah itu rentetan bom lain seperti mengikuti sampai tahun 2010. Tahun 2010 -- 2015 grafik aksi terorisme menurun tetapi faham radikalisme dan intoleransi meningkat. Teknologi mempermudah penyebaran faham radikalisme dan intoleransi melalui gawai.
Karena itu ketika bom Thamrin meledak pada awal tahun 2016, ditengarai dilakukan oleh para pengikut Bahrun Naim yang berada di Suriah dengan cara merekrutnya dengan menggunakan media sosial melalui internet. Sehingga bisa disimpulkan bahwa tidak lagi memakai pola jaringan konvensional tetapi lebih rumit.
Kerumitan itu membesar dan terdistribusi berbentuk sel-sel kecil yang berdasar pada ide radikalisme dan menyebar secara cepat. Ide (radikalisme) yang sama dan menyebar  (terdistribusi) dengan cepat  melalui kemudahan teknologi. Grup WA, Faceboook , jaringan telegram dan bentuk media sosial lain menjadi  distributor terbaik faham radikal tersebut.
Karena itu kejadian seperti Surabaya layak kita waspadai bersama. Ide kekerasan itu bisa menular, tidak  mengenal jarak, karena terdistribusi dengan mudahnya melalui internet. Begitu juga semangat terorisme dan kekerasan dengan mudah bisa dipicu dengan melihat gambar hasil penyerangan atau bom di daerah lain.
Sudah selayaknya kita mulai melihat diri kita akan hakekat agama itu sendiri ; pada Allah yang kita sembah. Allah menghagai manusia karena itu manusia juga harus menghargai sesamanya. Kedamaian dan kerukunan adalah hal yang diingini Allah untuk kaumnya di dunia ini.
Sebentar lagi kita menghadapi bulan puasa; bulan dimana beribu-ribu ampunan dan hidayah akan dilimpahkan Allah kepada kita. Sudah selayaknya kita menghargai bulan besar itu dengan berlomba-lomba melakukan kebaikan untuk sesama, dan bukan melakukan kekerasan apalagi terorisme. Karena pada hakekatnya jika kita berbuat baik kepada sesama manusia sama saja dengan kita berbuat untuk Allah yang kita sembah.
Kita sambut Ramadhan kali ini dengan perasaan hikmat. Ingatlah pada Evan dan Cattlyn yang meninggal dan luka karena bom teroris di halaman gereja; ingat pada pahala dan kemanusiaan yang kita ukir bersama. Berbeda keyakinan bukan berarti kita harus meniadakan kaum berbeda itu.
Jangan sampai kekerasan dan terorisme merusak semangat kita menyambut bulan Ramadhan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H