Mohon tunggu...
Nuning Hallett
Nuning Hallett Mohon Tunggu... -

pelaku, peneliti, dan sahabat berbagi perkawinan campuran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melindungi Perempuan atau Menjaga Kedaulatan?

19 Februari 2010   23:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:50 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan Indonesia mendapat kado istimewa menjelang hari kasih sayang di tahun 2010 ini. Kompas 12 Februari 2010 memuat berita tentang program legislasi nasional 2010 yang salah satunya akan membahas draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (HMPAP). Kompas memberitakan bahwa pasal 142 ayat 3 draf tersebut mengatur tentang perkawinan campuran yang mengharuskan pria WNA memberikan jaminan Rp.500 juta jika hendak menikahi perempuan WNI.

Hal ini sebetulnya bukan perkara baru, di tahun 2005 Mahkamah Agung pernah melontarkan wacana ini, yang kemudian ditolak dengan tegas oleh aktivis perempuan. Alih-alih mempertimbangkan keberatan tersebut, MA justru memunculkan deposit 500 rupiah juta dalam draf RUU ini. Bagian penjelasan pasal 142 ayat 3 draf RUU HMPAP menyebutkan jaminan ditujukan untuk melindungi perempuan jika ditelantarkan suami WNA-nya. Jaminan akan dikembalikan jika usia perkawinan mereka mencapai 10 tahun. Namun, jika dilihat dari kacamata "negara kekeluargaan" (familial state) dan nasionalisme berbasis "politik tubuh" (body politics), menurut penulis pasal tersebut adalah upaya untuk menahan laju pernikahan antara perempuan WNI dengan pria WNA untuk menjaga kedaulatan.

Dalam konstruksi negara kekeluargaan, negara menempatkan diri sebagai ayah dan rakyat sebagai anak-anaknya (McClintock, 1995). Sang ayah umumnya merasa paling tahu dan berhak untuk mengatur kehidupan sang anak, terutama anak perempuan, dan melepas tanggung jawab ketika sang anak perempuan "diserahkan" kepada suaminya. Untuk melindungi perempuan, negara merasa perlu untuk meminta jaminan sebesar 50.000 dolar kepada calon "menantu"nya. Sayangnya, negara lupa bahwa perkawinan adalah sesuatu yang dilakukan oleh dua orang dewasa yang secara sadar membuat keputusan. Dengan intervensi yang terlalu jauh semacam ini, negara menganggap bahwa rakyat perempuannya tidak mampu (incapable) melakukan "kontrak" untuk mengarungi hidup bersama calon pilihannya.

Perlindungan seharusnya diberikan dengan cara memberikan kemudahan untuk melakukan perkawinan, membekali perempuan dengan pengetahuan tentang hak-haknya dalam perkawinan serta dokumen lengkap yang terdaftar di dua negara. Negara perlu meninjau kembali peraturan yang diskriminatif terhadap mereka, terutama yang menyangkut kepemilikan properti dan kemudahan ijin tinggal bagi suaminya karena banyak di antara mereka yang ingin menghabiskan masa tuanya di tanah air.

Selama ini, kebijakan yang menyangkut hajat perempuan nyaris tidak didiskusikan dengan yang bersangkutan. Aparat negara merasa lebih mengetahui kebutuhan rakyat perempuannya dengan memakai kacamata mereka sebagai laki-laki dan menunggu perempuan bereaksi atas kebijakan tersebut. Dalam hal ini, draf RUU HMPAP pasal 142 telah berhasil memancing kemarahan perempuan Indonesia, bahkan yang sama sekali tidak punya hubungan apapun dengan pria WNA. Yang menjadi kekhawatiran terbesar adalah stigmatisasi bahwasanya perempuan Indonesia seolah-olah "dijual" oleh negaranya

Mereka mempertanyakan, apa bedanya jaminan 500 juta rupiah dengan jual-beli calon istri (mail-order bride)? Dalam jual beli calon istri, seorang pria WNA memberikan sejumlah uang kepada ayah mempelai perempuan sebesar 10.000-15.000 dolar dan, setelah dinikahi, tidak jarang si istri diperlakukan sebagai budak atau pegawai tanpa gaji. Sedangkan, melalui jaminan 500 juta rupiah dalam RUU ini, pria WNA menyerahkan uang kepada negara yang menempatkan diri sebagai "ayah". Setelah perempuan itu menikah, negara tidak mau tahu apakah nasib si perempuan akan sama seperti korban jual-beli calon istri karena perempuan tersebut dianggap sudah menjadi milik suaminya. Sang "ayah" juga tidak merasa perlu menjamin hak-hak anak perempuannya yang sudah dinikahi WNA.

Reaksi lain yang muncul adalah jumlah deposit yang sangat banyak. Apakah ini berdasarkan asumsi bahwa pria WNA cenderung makmur, ataukah ada upaya menahan laju perkawinan campuran yang akhir-akhir ini meningkat pesat? Berdasarkan pendapat yang dihimpun dari diskusi online terungkap bahwa 50.000 dolar AS adalah gaji setahun kebanyakan pria di luar Indonesia. Kita harus membuka mata bahwa perkawinan campuran dulu dan sekarang sangat berbeda. Pada dekade 70 dan 80-an, perempuan WNI menikahi pria ekspatriat yang menjadi eksekutif perusahaan multi-nasional, sedangkan perkawinan campuran tahun 90 atau 2000-an mayoritas berasal dari kelas yang sama. Mereka bertemu dengan perantaraan internet atau sesama buruh migran yang bertemu di tempat kerja.

Apabila pasal 142 ayat 3 ini diberlakukan, maka para pelaku perkawinan campuran menyarankan agar perempuan Indonesia menikah di luar negeri, menanggalkan kewarganegaraan Indonesia, atau tidak mendaftarkan pernikahannya di Indonesia sehingga masih dianggap lajang. Apakah negara ingin kehilangan mereka?

Dalam perspektif nasionalisme berbasis "politik tubuh", Yuval Davis (1997) mengungkapkan bahwa perempuan sebagai warga negara mempunyai tugas-tugas pokok sebagai, antara lain, penjaga batas kultural (cultural border guard), agen sosialisasi nilai-nilai kultural dalam keluarga, dan simbol budaya nasional melalui busana. Batas kultural yang ditandai dengan populasi ditentukan oleh darah dari ayah, sehingga perempuan yang menikah dengan WNA dianggap "gagal" dalam menjaga batas-batas kultural untuk melahirkan keturunan "murni" Indonesia, apalagi untuk mensosialisasikan nilai budaya Indonesia. Selain itu, mereka dianggap gagal menjadi simbol budaya nasional melalui pakaian, seperti stigma yang selama ini dilekatkan kepada perempuan yang menikah dengan WNA sebagai perempuan yang "tidak baik".

Oleh karena itu, sangat masuk akal jika negara tidak takut kehilangan perempuan yang nekad menikah dengan pria WNA karena mereka dianggap sebagai warga negara yang "gagal". Mempersulit pernikahan dengan WNA bisa jadi mempunyai motif untuk menjaga kedaulatan dengan dalih melindungi perempuan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun