[caption id="attachment_252098" align="aligncenter" width="576" caption="food team"][/caption]
Ini adalah pengalaman pertama saya ke luar negeri. Dari tanggal 26 Januari – 3 Februari, 2013, misi saya adalah mebawa nama bangsa di ajang DeCentralized Asian Transnational Challenges (d’CATCH), yang bertempat di Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand. Ajang ini adalah sebuah sarana untuk melakukan pertukaran budaya (transculture) dengan film dokumenter sebagai medianya. Tahun ini adalah tahun ke-10nya d’CATCH, namun dari awal hingga ke-9, negara yang ikut serta hanya Cina, Jepang, Filipina, dan Thailand. Tahun ke-10 ini, diperluas hingga Indonesia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Dua Minggu sebelum keberangkatan saya, saya disibukkan dengan urusan paspor dan sebuah film dokumenter tentang makanan di Indonesia yang harus kami—tim komunikasi UPN—buat. Setiap negara memang ditugaskan untuk membawa sebuah film dokumenter bertemakan “Transculture” dengan sub-tema yang sudah ditentukan: Color, Food, Ceremony, Performance, dan Transmission. Menyadari bahwa makanan kebiasaan orang Indonesia menyerap budaya lain—seperti mie yang berasal dari Cina—bersama tim dan dosen pendamping, kami berangkat ke Bangkok seusai membuat film dokumenter tentang “mie lethek” sesuai tema yang telah kami pilih: Food.
[caption id="attachment_252103" align="aligncenter" width="300" caption="at Don Mueang Airport"]
Setibanya di Bangkok, dalam perjalanan menuju lokasi acara, kami tidak dimanjakan oleh kendaraan antar-jemput dari panitia, melainkan kami dibiarkan untuk merasakan transportasi umum—salah satunya dalah MRT. Inilah kehebatan kota Bangkok dalam mengatasi kemacetan.
Day 1 acara d’CATCH, seluruh peserta saling berkenalan melalui games dan menari bersama dengan theme “Gangnam Style”. Setelah itu semua negara dikelompokkan berdasarkan sub-tema. Kami beruntung karena tim Food terdiri dari enam negara yang berbeda, menjadikannya tim yang paling bervariasi. Di hari pertama ini, saya hanya menjadi pengamat kondisi saja karena kemampuan bahasa Inggris saya yang kurang baik.
Masih di hari pertama, inilah saatnya untuk mempertunjukkan hasil karya yang dimiliki dari masing-masing negara dari tim food. Setelah kami menonton, kami memiliki sebuah misi untuk membuat film cerita penghubung antar film dokumenter yang dibuat tanpa memotong atau mengedit ulang film yang sudah jadi tersebut. Inilah kesulitan yang pertama adalah mencari koneksi dari keenam film tersebut. Tim kami saya akui adalah tim pekerja keras sehingga pada hari kedua susunan penghubung cerita sudah kami dapatkan.
[caption id="attachment_252104" align="aligncenter" width="300" caption="suasana di MRT "]
Malamnya adalah Welcome Party, dimana setiap negara boleh unjuk gigi tentang seni tradisional dari negaranya. Bernyanyi boleh, menaripun dipersilahkan. Karena baru pertama mengikuti ajang ini, tim kami tidak mempersiapkan apapun untuk dipertunjukkan, alhasil kami hanya bernyanyi. Saya senang dapat melihat langsung kreasi pertunjukan dari negara lain.
Memasuki masa produksi film cerita penghubung ini adalah puncak interaksi yang saya alami, sebagai seorang yang tergabung dalam tim sutradara, keadaan ini memaksa saya untuk bisa berkomunikasi dengan banyak orang dan menyampaikan kehendak yang diharapkan. Bisa bekerjasama dengan tim produksi orang asing adalah cita-cita saya sejak lama, ini jauh berbeda dengan pelaksanan produksi film biasanya. Jika biasanya saya berada dalam sebuah produksi yang underpressure kali ini saya merasakan fun dan masalah bahasa tidak lagi menjadi penghalang bagi saya. Di sela-sela penggalian ide dan produksi terselip cerita untuk bertukar pengetahuan tentang negara lain, saling memahami budaya lain, dan pastinya sebagai ajang untuk promosi budaya negara sendiri.
Jika sedang suntuk, kami selalu bermain bersama permainan tradisional, saat itu kami sempat memperkenalkan permainan domikado eska. Kami bangga karena permainan masa kecil kami bisa dimainkan oleh orang asing dan disaat yang bersamaan saya merasakan homesick—rindu akan Indonesia.
Masa penggalian ide, produksi dan pasca produksi sudah terlewati, kini tiba di akhir acara resmi dari kegiatan ini adalah screening film dari masing-masing tim sub tema. Walau hasilnya sedikit jauh dari kualitas yang bagus karena terkendala oleh waktu pasca-produksi yang sebentar tetapi kami mendapatkan sesuatu yang lebih indah yaitu kebersamaan. Selama satu minggu kami akui, waktu istirahat malam kami sering terpakai untuk penggalian ide dan persiapan untuk syuting. Hal itulah yang membuat intensitas pertemuan kami semakin akrab dan erat.
Pernah suatu ketika disela-sela kegiatan kami, teman kami dari Jepang menangis karena di Jepang sudah tidak ada lagi adat untuk beribadat kepada Sang Kuasa, mereka hanya berada dalam set untuk terus bekerja dan bekerja saja. Ia saat itu sempat menyesali mengapa ia dilahirkan di Jepang dan sempat mengatakan bahwa secara materi Jepang memang kaya tetapi secara spiritual mereka kehilangan itu. Sejak saat itu kami merasakan kedekatan emosional dengan sesama peserta dari negara lain, terutama dengan teman-teman Jepang.
Kalau ada awal pasti ada akhir, di malam farewell party kami manfaatkan untuk bertukar cinderamata yang dibawa dari negara masing-masing. Tim Indonesia saat itu membawa miniatur wayang kulit mini. Bagaimana pun, perpisahan adalah hal yang menyedihkan. Selama 8 hari di Bangkok, pelajaran yang paling berharga adalah kebersamaan untuk saling menghargai kebudayaan dari setiap negara dan film adalah sebuah medianya. Berkat kebersamaan yang erat itu, ketika kami sudah berada di tanah air, kami sering melakukan komunikasi dari negara masing-masing dengan bantuan jejaring sosial.
[caption id="attachment_252106" align="aligncenter" width="300" caption="bertukar suvenir dengan negara lain"]