Akhir-akhir ini saya sering memikirkan tentang perkembangan kota, terutama kota dimana saya tinggal untuk merantau, kota itu adalah Yogyakarta. Kota dengan segudang keistimewaan hingga disebut Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain karena kegiatan yang selalu membuat saya mengamati keadaan dimana saya tinggal, beberapa jam dan hari yang lalu banyak tulisan mengenai Yogyakarta yang sudah tak lagi nyaman. Wajar saja jika banyak yang mengamati kota ini. Ya, selain Keraton dan Sang Raja yang membuat kota ini istimewa dan menarik untuk dikunjungi, adapula tempat wisata serta kebudayaan yang patut dipelajari. Maklum saja, Yogyakarta juga terkenal dengan sebutan kota Pelajar dan Kebudayaan. Banyaknya universitas di Yogyakarta dan mahasiswa dari berbagai daerah yang menuntut ilmu menjadikan sebutan kota Pelajar tetap eksis hingga sekarang.
Siapa yang tidak tahu Malioboro, Tamansari, Alkid (Alun-alun kidul), Sekaten, Keraton, Merapi, Bukit Bintang, Pantai-pantai Gunung Kidul, Monjali, Taman Pintar, Museum Dirgantara, Gudeg (makanan khas Yogya)? Tempat dan makanan tersebut merupakan ciri khas kota Yogyakarta. Ciri khas tersebut yang selalu dicari oleh para turis domestik maupun mancanegara. Yogyakarta memang terkenal dengan kenyamanannya. Apa saja disana murah dan ramah. Lingkungan yang bersih, tata kota yang lapang dan leluasa, serta keasrian budaya yang menambah betah siapapun yang berkunjung ke kota ini. Sayangnya, itu dulu saat saya masih kecil dan bolak-balik ke Yogyakarta karena kebetulan kakek dan saudara-saudara orang tua ada disana. Tak ada macet, mobil-mobil selalu ramai lancar, kawasan Malioboro masih lengang. Parkiran tidak membludak ke badan-badan jalan, sedangkan sekarang? Untuk mencapai malioboro saja macetnya hampir satu jam sendiri di perempatan lampu merah, ditambah lagi para polisi yang sering menyetop kendaraan yang melanggar untuk ditilang.
Selain kawasan Malioboro, kawasan Galeria Mall dan sepanjang jalan daerah Sagan juga sering macet. Hal ini terjadi karena banyaknya tempat-tempat makan dipinggir jalan dan parkirannya mengganggu pengendara lainnya. Saat ini, di Yogyakarta sedang gencar dilakukan pembangunan mall-mall besar. Para investor berlomba - lomba untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, bahwa Yogyakarta adalah salah satu kota yang berpotensi besar dalam pendapatan wisata. Tingkat konsumerisme masyarakat Yogya pun bertambah. Masyarakat yang dulunya tradisional dengan hidup sederhana di Yogya menjadi hedonis seiring perkembangan zaman. Mall dan supermarket besar yang dibangun oleh para investor (asing) selain untuk menyediakan barang-barang pokok harian juga menyediakan berbagai kebutuhan baru, barang-barang mewah yang harus dibeli dengan uang dan gengsi semata.
Pembangunan mall mewah di Yogya yang terus meningkat seperti yang ada di dekat UIN Sunan Kalijaga, lalu dekat jalan Janti, dan tempat-tampat lain akan semakin membuat tidak nyaman para pendatang dan penghuni kota Yogya. Apa bedanya nanti dengan kota-kota metropolitan lain yang terkenal dengan macetnya? Apa bedanya kota istimewa ini dengan kota megapolitan yang 'kesemrawutannya' belum bisa diatasi hingga kini? Â Apa bedanya tinggal di Yogya dengan ibukota yang selalu macet? Bukan tidak mungkin suatu saat nanti Yogya akan menjadi metropolitan, TAK LAGI NYAMAN DAN TENTRAM. Pembangunan gedung mewah (read: mall) tersebut yang akan menjadi akar bertambahnya kemacetan di Yogyakarta.
Indonesia memang identik dengan serba instan dan cepat. Maka dari itu negara ini menjadi target pasaran semua jenis perdagangan dari negara belahan bumi manapun. Macetnya di Yogya juga ditenggarai sebagai akibat dari meningkatnya jumlah pengguna sepeda motor dan mobil. Mobil bukan hanya sekedar menjadi kebutuhan untuk move on , namun sebagai gengsi dan budaya konsumerisme anak muda dan pejabat zaman sekarang. Murahnya pajak dan mudahnya kredit kendaraan di Indonesia juga menjadikan masyarakat sangat antusias untuk memiliki kendaraan tersebut. Â Jika kita melihat turis-turis asing di Yogya, mereka sangat semangat untuk berjalan kaki, mereka terbiasa jalan kaki di negaranya. Penggunaan mobil dibatasi dengan mahalnya pajak kendaraan dan bahan bakar minyak. Dulu, masih banyak orang-orang di Yogya yang menggunakan sepeda onthel sebagai kendaraan sehari-hari mereka. Kini, sepeda onthel tersebut hanya digunakan saat hari-hari tertentu dan oleh komunitas tertentu di Yogya atau hanya orang-orang tertentu yang masih sangat mencintai kesederhanaan dan kebudayaan.
Pada akhirnya, sederas apapun arus globalisasi dan modernisasi di dunia ini berjalan, Yogyakarta tetaplah Yogyakarta. Kota Istimewa yang harus senantiasa kita jaga keistimewaannya, baik dari penghuni asli maupun pendatang. Semua pihak terkait, pemerintah dan masyarakat harus tegas dalam membuat kebijakan. Jangan mudah menggoyahkan keistimewaan Yogya dengan investasi-investasi asing yang menggiurkan. Kurangi pembangunan - pembangunan modernisasi yang mengatasnamakan kemakmuran pendapatan daerah demi terjaganya Yogyakarta yang ISTIMEWA, Yogyakarta berhati NYAMAN. Keep moving forward but don't be greedy :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H