Mohon tunggu...
Tahta Kurniawan
Tahta Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Young and Enthusiasm

Banjar\r\n10 Januari 1996

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nakhoda Hujan Keempat

29 Oktober 2015   15:03 Diperbarui: 29 Oktober 2015   16:20 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sang bocah termenung dibawah kaki-kaki dermaga. Matanya kosong menatap bulir-bulir pasir pantai yang berguguran melalui selal-sela papan diatas kepalanya. Sedangkan ombak dan burung-burung seolah-olah pergi. Tak ada bunyi berdebur ataupun kicauan. Ia berada dalam kesepian yang dibalut bunyi berbenturan buritan kapal-kapal nelayan yang seolah-olah berbicara pada sang bocah. “Ikut bersama kami menuju lautan.” Sang bocah berdiri dan dalam satu kedipan ia telah menyelam.

                Hampir tiga kali hujan datang di atas dermaga hanya dalam satu hari. Itu pertanda langit sedang murka. Begitulah mitos orang-orang pinggiran pantai. Tak ada yang berani satu orangpun yang pergi kedermaga barang hanya untuk mengambil lampu petromak atau mengaitkan layar. Mereka percaya hantu-hantu laut akan tiba jika mereka berada di dermaga. Namun semua mitos itu telah menjadi kalimat kosong bagi sang bocah. Dirinya tetap berada di dermaga dan tanpa diduga-duga sang bocah melihat begitu banyak nelayan berada di atas kapal.

                Ada yang mengaitkan layar, ada pula yang membawa jaring-jaring, ada yang melemparkan tombak ke buritan kapal. Semua ini menjadi aneh ketika ada seorang kapten yang mengenakan pakaian Nakhoda biasanya walau sang bocah tak tau hal itu, di tambah pedang dan juga ikat kepala layaknya perompak lautan. Sang bocah penasaran. Ia mengambil nafas panjang dan melompat kelaut. Mencoba mendekati kapal-kapal yang banyak orangnya. Jika kalian tahu, hanya satu kapal yang ia tuju. Yang paling besar dengan moncong kayu yang diukir dengan sedemikian rupa mirip kepala seekor singa.

                Seseorang dari kapal menyadarinya, nampaknya yang tahu tentang keberadaan sang bocah melaporkan kepala kapten kapal dengan berbisik. Tanpa disadari gerimis mulai menitik, membuat bintik-bintik hitam di layar kapal dan mengundang angin selatan bertiup kencang.

                “Naiklah bocah.” Teriak sang kapten. “Sebelum ada yang melemparkan tombak mengira kamu adalah seekeor hiu.”

                Tali tambang besar menjadi panjatan bagi sang bocah menaiki kapal yang paling besar. Dalam sekejap semua mata orang-orang diatas kapal menusuk sang bocah. Seperti mata-mata yang penasaran sekaligus haus akan sesuatu. Sang kapten mendekatinya perlahan. Mengeluarkan pedang dan menjilat pedangnya.

                Seseorang di atas buritan kapal berteriak menatap sang bocah. “Makan malam akan enak.”

                Sang bocah merinding sekaligus mempertahankan ketakutannya. Ia berharap sema akan baik-baik saja. Mungkin tidak akan baik-baik saja.

                “Kami tidak akan memakanmu, tenang saja.” Kapten itu menyarungkan pedangnya di pinggang. Kumisnya bergerak mengarah kekiri karena angin selatan terlalu kencang. Matanya sayu, namun tajam, bak seekor singa kelaparan.

                “Jika kalian berlayar pada hujan keempat dalam satu hari di bulan Februari ini. Hantu-hantu laut akan muncul dan mencoba memakan kalian.” Kata sang bocah terbata-bata, hanya mitos itu yang muncul dalam kepalanya. Lantas semua orang di atas kapal tertawa. Sang bocah ikut tertawa walau tak mengerti apa yang ia tertawakan.

Semuanya terasa berbeda. Bahkan kaki sang bocah pun tak dapat melangkah barang sekali.

Hujan membuat segala aktivitas di atas kapal maupun percakapan dibuat seperti sedang berteriak. Tetapi walau seperti itu sang bocah mendengar apa yang dikatakan kapten walau dengan pelan. Bukan karena sang bocah hebat dalam mendengar, tetapi karena semua keanehan kapal dan orang-orang di depannya.

“Jangan takut bocah.” Kata sang kapten. Sambil tertawa kejam. “Kami hanyalah perompak Siberia yang mampir di dermagamu. Tidak untuk menjarah, melainkan untuk berteduh. Setiap kali hujan empat kali dalam sehari, kamipun tidak tahu tiba-tiba berada dekat sekali dengan dermaga ini.” Matanya yang hitam kebiruan seolah-olah berkata jujur.

Seseorang menambahkan. “Lihatlah langit utara yang menghitam dan bergumul disana.” Menunjuk kedepan.”Itu menyimpan bintang-bintang yang dinamai orang-orang mongol. Kami sedang menuju kesana, tanpa mengetahui jalan dan arah angin bertiup.”

Sang bocah menambahkan.”Tinggal mencocokan dengan bintang Osidius dan menyiapkan angin selatan untuk berlayar, mungkin kalian akan tiba tiga malam dari sekarang menuju tempat yang kalian tuju.”

Semua orang terdiam. “Pulau, bukan tempat.”

Sang bocah mengangguk. Sang kapten menatapnya lekat. Hujan masih saja menetes. Langit menjadi gelap. Sang bocah tertawa kejam. “Apakah kamu tidak mengetahui kami ini siapa bocah ?”

“Kalian hanya orang-orang yang tersesat. Sama seperti aku.”

“Jika kau ingin tahu. Kami adalah perompak yang memakan daging manusia. Kami perompak kanibal.” Kata sang kapten.

Semuanya semakin terasa aneh. Mungkin karena mitos yang hadir menjadi benar menurut sang bocah. “Jika kalian manusia mengapa kalian memakan manusia lain. Dan mengambil hak-hak yang bukan kalian miliki seharusnya.”

“Karena itu sudah menjadi bagian dari diri kami. Tidak lebih, tidak kurang. Orang-orang pulau pesisir mengatakan bahwa itu adalah Nafsu.” Dalam sekejap. Kapten itu mengeluarkan pedangnnya. Dan melingkarkan keleher sang bocah.

Sang bocah menunduk. Matanya tertutup. Sepertinya ia sedang bersiap apabila pedang kapten tadi memisah kepala dengan tubuhnya.

“Apakah ada permintaan terakhir ?” kata sang kapten di balik awan mendung dan rintik-rintik hujan serta dinginnya angin selatan.

Sang bocah menegakan kepalanya, matanya tajam, bibirnya tanpa ragu bergerak. “Apakah aku boleh bergabung dengan kalian ?” lantas semua terdiam dalam keheningan.

***

                Laki-laki yang berdiri di atas tiang gantungan layar meneropong dari lautan. Ia melihat sebuah pulau dan dermaga kecil yang sudah terlihat menghitam karena digerus ombak. Tak ada bentuk-bentuk kehidupan. Hanya pasir dan ombak serta burung-burung pesisir yang terbang rendah. Laki-laki itu mengenakan pakaian nakhoda. Orang-orang disekitarnya sepertinya menghormatinya layaknya seorang raja.

                “Hujan keempat hari ini. Dan ini bulan Februari.” Kata seorang di bawah. Berteriak kepada laki-laki itu yang dikenal sebagai seorang kapten kapal bermoncong singa.

                Ia menuruni tiang. Jari kelingking kanannya terlihat terputus oleh gigitan. Banyak pula luka di wajah, mungkin akan lebih banyak lagi jika pakaiannya di buka.

                “Kita akan berhenti di dermaga itu. Sambil menunggu hujan dan juga awan. Persiapkan akan menghadapi badai besar.” Kata kapten laki-laki itu.

                Mereka melemparkan jangka di pinggiran dermaga. Kapal-kapal bawahan berada tidak jauh dari kapal inti yang bermoncong singa ini. Kapten itu berdiri di pinggiran kapal. Meneropong awan utara dan sesekali melihat layar memperhatikan angin selatan yang mungkin akan berubah pikiran.

                Seseorang berbisik. “Ada seorang bocah di dermaga itu. Ia sedang menyelam.”

                Kapten itu mendekati pinggiran kapal. “Naiklah bocah.” Teriaknya.

                Bocah yang ia lihat seperti anak-anak pesisir dengan kulit yang penuh penyakit. Persis bocah tiga puluh tahun lalu di dermaga yang sama.

                Kapten itu lantas berteriak. “Bocah. Jika kamu ingin bergabung dengan kami.” Kapten itu melingkarkan pedanngya di leher sang bocah. “Kami kanibal. Memakan daging manusia. Jika kamu ingin bergabung dengan perompak seperti kami. Gigit kelingkingmu sampai putus. Untuk menandakan kamu seorang bagian dari kami.

                Tubuh bocah itu bergetar. Hampir menangis. Kapten menambahkan “Jika kamu tidak mau. Kami akan memakanmu.”

                “Hantu akan muncul jika itu hujan keempat.” Kata sang bocah terbata-bata.

                Sang kapten berteriak. “Kamilah hantu itu dan aku adalah bocah tigapuluh tahun lalu yang di bawa hantu.”

               

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun