Hari itu langkah kaki terasa berat, air mata tak bisa terbendung dan jalan terasa gontai. Rasanya waktu berhenti dan kenanganya tak akan pernah saya lupakan sepanjang hayat dan hidup.
Pagi itu memang tak seperti hari-hari lainnya, ransel yang biasanya tersimpan waktu itu itu terisi penuh, baju-baju sudah tidak ditempatnya dan beberapa buku memenuhi tas berdesakan dengan baju.
Simbah medekapku dengan kencang dan tak terasa air mata keluar dari bola matanya yang tak sekuat dulu ketika muda.
Begitu juga dengan ibu, tak berhenti bertutur dan selalu mengingatkan "hati-hati, jaga kesehatan, sering-sering telfon dan selalu ingat kepada Allah SWT serta selalu beribadah" ucapnya sambil menciumi wajah ini.
Suasana memang sangat mengharu biru, untuk pertama kalinya saya akan pergi jauh dari rumah, merantau tak kenal saudara hanya yakin kepada sang pencipta.
Bagaimana tidak, di tempat rantau tak ada keluarga sedarah hanya yakin akan kemampuan yang telah ditempa selama puluhan tahun dan bimbingan dari orangtua.
Modal membawa ijazah S1 Pendidikan geografi dengan predikat cumloud saya memberanikan diri untuk merantau ke tanah Melayu tepatnya di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung.
Ketika kaki akan menuju pintu bandara, ibu menarik tanganku dan kembali bertuah "le sing ati-ati yo, ojo kremungsung sing sabar, ojo lali dongo karo tepo sliro karo uwong" ucap ibu sambil kembali meneteskan air mata.
Setelah itu kami kembali berpelukan dan melaju untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah rantau yang benar-benar baru pertama kali saya mengunjunginya.
Sesampainya di bandara tujuan, saya kembali menelepon ibu dan mengabari bahwa saya sudah mendarat dan akan melanjutkan perjalanan  menuju sebuah desa trasmigrasi dimana calon istri saya (saat ini istri saya) memberikan alamat rumah orang tuanya.