Melalui pesan whatsapp saya bertaya kepada seorang teman yang memosting sebuah buku hasil menulis keroyokan beberapa waktu yang lalu.
Saya menanyakan kepada teman saya terkait krisis ISBN yang melanda dunia penerbitan di Indonesia.
Pertanyaan tersebut kemudian dijawab sepontan oleh teman saya, "krisis ISBN Indonesia terjadi karena banyaknya penerbitan nomor ISBN yang melewati batas".
Setelah membaca jawaban tersebut, kemudian saya mencoba mencari tau lewat internet terkait kenapa Indonesia terjadi krisis ISBN.
Hasilnya mencengangkan, berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, krisis ISBN terjadi karena ketidakwajaran produksi buku di Indonesia.
Ketidakwajaran produksi buku tersebut dapat diamati dari permintaan nomor ISBN yang mengalami lonjakan karena banyaknya publikasi yang sebenarnya tak layak diberi ISBN, namun dimintakan ISBNnya.
Selain itu, ketidakwajaran tersebut juga dapat diamati dari 1 juta nomor ISBN yang diberikan ke Indonesia pada tahun 2018 telah digunakan untuk menerbitkan sebanyak 623.000 judul buku hanya dalam kurun waktu 4 tahun (2018-2022).
Akibatnya Perpusnas selaku agensi ISBN di Indonesia diberikan teguran oleh Badan Internasional ISBN di London dan mengakibatkan mencuatnya istilah "krisis ISBN" di Indonesia.
Krisis ISBN tersebut semakin nyata jika melihat sisa jatah ISBN yang tinggal 377.000 judul buku sedangkan jatah penerbitan per tahun di Indonesia adalah 67.340 judul buku.
Jika kita akan menerima kembali nomor ISBN pada tahun 2028 (kurun waktu 10 tahun dari tahun 2018) maka bisa diperkirakan nomor ISBN tersebut akan habis sebelum masa pemberian nomor kembali oleh Badan Internasioanl ISBN.