Saat pulang kampung pada lebaran kemarin saya sungguh terkaget-kaget dengan apa yang terjadi pada kondisi desa tempat saya lahir.
Sawah yang dulu saya ingat sebagai tempat bermain dan berekreasi dengan teman-teman telah berubah drastis.
Kebanyakan sawah atau lahan tidak lagi ditanamai padi atau palawija, melainkan dibangun rumah dan toko-toko besar yang orang-orangnya sama sekali tidak saya kenal.
Bahkan salah satu pekarangan warga yang dulu menjadi tempat bermain bola dan mencari buah melinjo, kini telah ditembok setinggi hampir empat meter.
Karena alih kepemilikian dari pemilik sebelumnya ke pemilik baru yang berasal dari daerah kota atau pinggiran kota.
Saat itulah saya merasa desa saya yang tadinya sangat luas menjadi sempit akibat banyaknya pembangunan yang terjadi.
Ternyata hal itu dilakukan oleh penduduk kota yang rumahnya terkena gusuran pembuatan jalan tol atau orang kota yang menanamkan investasinya di desa kami.
Satu hal yang membuat saya agak tercengang, sungai yang dulunya bersih sekarang terdampak limbah olahan tahu-tempe yang mengalihfungsikan rumah warga menjadi industri rumahan.
Namun apadaya, itulah ekspansi orang-orang kota dan bermodal ke desa kami, yang atas alasan ini itu, membuat masyarakat menjual lahan, rumah atau sawahnya untuk beralih kepemilikian.
Hal itulah yang kemudian menjadikan perubahan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di desa kami tinggal.