Perguruan Nasional Taman Siswa adalah model perguruan (sekolah) yang memberikan hak yang sama kepada pribumi untuk mengeyam pendidikan seperti golongan priyayi dan orang-orang Belanda pada waktu itu.
Jejak rekam peristiwa tersebut kemudian menghantarkan beliau menjadi Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang pemikiran dan filosofinya tentang pendidikan terus digali dan direfleksi untuk dijadikan model dalam aplikasi pendidikan Indonesia saat ini.
Salah satu pemikiran dan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terus bergema hingga era sekarang adalah semboyan yang difragmentasi dari istilah Bahasa Jawa.
Ing ngarso Sung Tulodo (di depan memberikan contoh), Ing Madya Mangun Karso (di tengah memberikan gagasan/ide) dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan motivasi/semangat).
Bila direfleksikan pada proses pembelajaran dan pengajaran saat ini, semboyan tersebut dapat diartikan.
Guru memiliki peran sebagai fasilitator dalam rangka menebalkan potensi murid dengan titik simpul pada pengembangan budi pekerti murid yang berkaitan dengan olah rasa, olah karya, olah karsa, dan olah raga (kognitif, afeksi dan psikomotorik).
Lebih jauh Ki Hajar Dewantara dalam kutipannya terkait pemikiran dan filosofi pendidikan Indonesia mengungkapkan.
"pendidikan dalam arti sebenarnya memiliki tujuan untuk menuntun segala kodrat murid agar mendapatkan kebahagian dan keselamatan setinggi-tingginya".
Kodrat murid pada kutipan tersebut dapat diartikan sebagai kodrat alam dan kodrat zaman.
Dimana kodrat alam melekat pada diri murid terkait dengan lingkungan belajarnya dan kodrat zaman berkitan dengan waktu yang murid lalui saat ini, baik yang berkaitan dengan politik, sosial, budaya, pendidikan dan perkembangan zaman.
Hal itu mengisaratkan guru sebagai fasilitator harus mampu merancang pembelajaran sesuai dengan konteks lingkungan murid tinggal (Kontekstual Learning) serta sesuai dengan karakteristik perkembangan zaman di era saat ini atau kecakapan abad 21, sehingga murid mampu memunculkan potensi dan sifat baik dalam dirinya.