Terlebih ketika masuk pada materi budaya positif dilingkungan sekolah, sebagai guru Saya sering memberikan label kepada murid - murid Saya.
Kamu ini, kamu begini, kamu pintar, dia bodoh, dia nakal, dia rajin, dia malas dll.
Judsment tersebut ternyata bukanlah suatu hal yang baik untuk seorang guru lakukan terlebih setelah Saya mempelajari materi budaya positif.
Budaya positif memberikan gambaran bahwa bukan hanya pembelajaranya saja yang harus dimanusiakan namun juga manusianya.
Yaitu dengan memahami kondisi dan letarbelakang murid-murid kita, terlebih bagaimana cara kita menggali potensi murid dengan memahamai apa yang mereka lakukan dan bagaimana cara penyelesaiannya.
Hal itu dilakukan dengan menggenakan segitiga restitusi yang dilakukan dengan cara 1. Menstabilkan identitas, 2. Validasi Tindakan yang salah dan 3. Menanyakan Keyakinan.
Ketiga cara tersebut diharapkan mampu untuk menggali apa yang mereka miliki dan menyadari apa yang meraka lakukan sehingga mereka memiliki perbaikan atas inisiasi dari dalam dirinya.
Hal itu dimulai dengan cara memandang peran Saya sebagai guru?, bukan apa yang akan Saya laukan pada murid agar sesuai dengan keinginan Saya.
Terlebih ketika mepelajari modul 2 tentang praktik pembelajaran yang berpihak pada murid, dimana pada modul itu lebih memperjelas bagaimana peran Saya dalam menjadi fasilitator bagi murid.
Hal itu dilakukan dengan 1) melakukan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan murid, 2) pembelajaran sosial emosional dan 3) coacing untuk supervisi akademik.