Sejak saya masuk dalam dunia pendidikan sebagai pengajar, saya banyak bertemu kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dimaksud disini mulai dari hal yang paling sederhana seperti cat calling sampai benar-benar melakukan tindak pelecehan seksual.
Beberapa hari yang lalu saya dikejutkan kembali sebuah curahan hati seseorang yang melaporkan adanya tindak pelecehan seksual pada anaknya. Dalam peran saya sebagai konselor maka saya mendengar baik-baik apa yang disampaikan orang tersebut dari setiap kejadian demi kejadian dan bagaimana kejadian tersebut terungkap.
Awalnya orang tersebut merasa heran dan aneh kenapa anaknya laki-laki mempunyai kebiasaan buruk dengan memelorotkan celana dan menggesek-gesekan kemaluannya (red. penis) ke bagian belakang adiknya perempuan. Umurnya baru 7 tahun dan kejadian yang awalnya tidak diketahui tersebut pun akhirnya mendapat teguran. Usut punya usut orang tuanya bertanya darimana kamu belajar seperti ini? Anak tersebut jauh dari akses media sosial, handphone, teknologi canggih lainnya.
Tidak pernah diduga seorang kakak di sekolahnya mengajari hal tersebut. Awalnya sang kakak hanya mengajaknya ke kamar mandi sekolah. Kemudian saat di kamar mandi sang kakak memelorotkan celananya dan meminta anak laki-laki yang berumur 7 tahun tersebut memegang penisnya sambil memainkannya. Kejadian ini terus berlangsung tanpa sepengetahuan guru atau pihak sekolah.
Sang kakak pun mengancam jika melapor kepada siapa pun. Pada suatu hari sang kakak kembali mengajak ke kamar mandi dan disana sang kakak seperti biasa memelorotkan celananya dan kemudian meminta anak laki-laki tersebut membelakanginya. Di luar dugaan penis sang kakak digesek-gesekan ke bagian belakang anak laki-laki tersebut (red. pantat). Tentu saja anak tersebut sempat kaget dan hampir berteriak tetapi karena kemudian dibungkam dan dipaksa diam maka dia pun menyerah.
Mendengar cerita itu, orang tuanya pun datang kepada saya dan berkonsultasi dengan perasaan yang teramat marah.
Saya pribadi sangat tidak bisa menerima apa pun alasannya relasi seksual diantara orang dewasa dan anak baik itu dalam hubungan suka sama suka ataupun paksaan. Tentu jika kembali pada nurani, peraturan hukum, dan ajaran agama tindakan seperti ini tidak dibenarkan. Hal ini bukan saja tidak mendidik tetapi merusak masa depan dan generasi mendatang. Seksualitas dipahami secara keliru oleh anak sebagai permainan semata (having fun for sex) dan bukan dalam tujuan yang mulia.
Pertanyaannya sekarang, apa yang harus orang tua lakukan atas kejadian tersebut? Lalu, apakah anaknya dapat dipulihkan kembali untuk tidak melakukan perbuatan seperti itu? Dan pertanyaan klasik yang berbuntut atas peristiwa tersebut.
Saya hanya kembali berpesan bahwa dalam lingkungan sekitar dimana pun kita berada tidak ada yang aman bagi anak bahkan di rumah kita sendiri jika tidak ada modal kehangatan dan kasih sayang tulus antara sesama anggota keluarga. Kedua, hal paling penting selalu saja peristiwa seperti ini muncul bukan karena ada laporan dari yang bersangkutan (red. si anak) tapi adanya kejanggalan/keanehan yang ditimbulkan atas perilaku ini membuktikan adanya ketidakpercayaan satu sama lain antara anak dan orangtua.
Ketiga, semua peristiwa ini bisa dikendalikan jika ada pendidikan seksualitas dari dalam keluarga sejak dini. Mulailah saja dulu dengan mengajarkan bagian-bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Perkenalkan peran gender dan fungsi organ seksual sejak dini sehingga anak tahu bahaya dan risiko serta pentingnya untuk masa depan mereka kelask setelah dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H