Jakarta, Rabu, 17 Desember 2014 tepatnya di kantor Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) saya berbincang-bincang santai dengan salah satu staffnya bernama Ibu Lucia Wenehen. ICRP sendiri merupakan salah satu LSM yang bergerak dalam bidang advokasi bagi kebebasan beragama dan kepercayaan sebagai bagian hak dasar manusia yang harus dijunjung tinggi. Dalam percakapann kurang lebih 2 (dua) jam tersebut ada beberapa hal yang saya pikir menarik untuk di garis bawahi tentang kebebasan beribadah di negeri Indonesia:
1. Indonesia menganut ideologi kebhinekaan yang terpelintir
Hampir sebagian besar penduduk Indonesia mengakui bahwa bangsa ini mempunyai satu filosofi yang sudah turun temurun yakni bhineka tunggal ika. Sebuah filosofi dasar yang membangun kesatuan nusantara. Prinsip dasar inilah yang dijadikan sebagai slogan lambang negara dan bahkan tertuang secara resmi dalam undang-undang dasar negara. Anehnya paham kebhinekaan yang jelas-jelas mengakui dan menganut akan perbedaan baik agama, suku, ras, kepercayaan dan warna kulit ini dipelintir sejumlah pihak. Bhineka dipahami dengan pengertian yang berbeda satu sama lain dan bahkan cenderung dipelintir seolah menjadi yang berbeda-beda harus menjadi satu.
2. Korban agama/kepercayaan minoritas harus ditanggung anak-anak
Sangat disayangkan anak-anak selalu menjadi korban utama yang tidak pernah tahu kenapa dirinya harus menjadi korban. Melihat situasi semacam ini membuat seorang anak bertanya-tanya apakah sebenarnya beribadah itu? Siapakah Tuhan itu? Kenapa Tuhan seolah harus memecah belah umat manusia dalam kotak-kotak agama/kepercayaan? Mungkin ini adalah sejumlah pertanyaan-pertanyaan klasik, tetapi sejauh mana hal ini sudah terselesaikan. Berapa banyak dari anak-anak korban minoritas harus mendapat bullying dari masyarakat dan presure yang dirinya sendiri tidak mengerti? Stigma negatif tentang agama/kepercayaan minoritas yang dianut kedua orang tuanya menjadi bahan ejekan masyarakat yang tanpa disadari telah melukai dan menghancurkan paradigmanya.
3. Masih banyak tokoh lintas agama yang peduli dengan keberagaman
Dalam obrolan dengan Ibu Lucia salah satunya memberikan inspirasi bahwa masih banyak orang-orang yang peduli dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Ibu Musda Mulia salah satunya sebagai tokoh perempuan muslim reformis yang adalah pendiri ICRP menjadi prototype akan penghargaan keberagaman negeri ini. Dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga agama pemerintah seperti KWI, PGI, MBI, PHDI, Megabudhi, KASI, BKOK badan koordinasi orang kepercayaan, ICRP memberikan edukasi secara berkala tentang realita keberagaman Indonesia dan bagaimana histori serta karakteristiknya. Cara pandang pluralistik yang edukatif menjadi wacana sekaligus wawasan yang dibagikan melalui diskusi lintas agama. Bersama tokoh-tokoh lintas agama mendiskusikan isu-isu terhangat sekaligus menindaklanjutinya dengan tindakan nyata menuju penghargaan keberagaman. Bukan saja dari sisi persuasif tetapi sisi advokasi berjejaring dengan LSM lainnya dan pemerintah dalam mempromosikan serta melegalkan kebebasan beribadah sebagai hak dasar hidup manusia yang paling hakiki.
4. Persoalan dasar keberagaman agama/kepercayaan dimulai dari kepentingan elit politik
Tidak dipungkiri sebagian besar pemicu tidak terselesaikannya persoalann semacam ini di negeri ini adalah adanya elit politik yang ingin dan tetap berkuasa. Ada sejumlah kebijakan-kebijakan dengan sengaja disusun dengan mengesampingkan keberagaman karena interfensi politik kotor serta keinginan melanggengkan kekuasaan. Tarik menarik antar kepentingan inilah yang kemudian memainkan fungsi agamanya yang sebenarnya membawa damai justru menjadi konflik internal negeri ini. Isu SARA adalah senjata paling ampuh yang sangat mudah dipakai untuk merusak serta mengambil suatu posisi kepemimpinan. Sebut saja masa-masa pilpres beberapa waktu lalu sangat sarat dengan isu SARA yang dengan mudahnya dilempar sana-sini.
5. Ada ribuan kepercayaan lokal Indonesia yang menganut filosofi kebajikan
Berapa banyak anda mengenal agama/kepercayaan lokal di Indonesia? Sebagian dari kita mungkin akan terkaget-kaget seperti beberapa rekan saya ketika diberi tahu. Setidaknya ada 1000 lebih kepercayaan lokal asli Indonesia dari ujung Sabang sampai dengan Marauke. Mereka masih eksis dan belum punah sampai saat ini. Masih beraktifitas dalam ritual agamanya masing-masing walaupun ada sebagian yang tersembunyi. Nilai-nilai luhur bangsa ini sebenarnya tidak lepas dari filosofi yang sudah tertanam lama dalam diri leluhur kita yakni kebajikan walaupun dengan ritual yang berbeda. Persoalannya dengan alasan apa kita mendeskreditkan mereka dengan alasan berbeda kepercayaan?
6. Peran Negara melindungi hak warga negara bukan ikut campur pada privasinya
Pernyataan di atas sampai saat ini masih menjadi isu yang terus dibicarakan dan nampaknya belum bertemu pada satu titik. Beberapa pernyataan kontroversial sempat muncul dalam mengaplikasikan pernyataan tersebut seperti salah satunya "yang mayoritas melindungi minoritas" Pernyataan tersebut menimbulkan perdebatan karena konteks yang ada didalamnya tidak sejalan dengan terbentuknya bangsa Indonesia. Dengan alasan apakah mayoritas disebut melindungi minoritas? Siapa yang mayoritas, karena pada kenyataannya bangsa Indonesia tidak pernah didirikan berdasarkan ideologi dan kepentingan mayoritas agama tertentu. Untuk itulah, keinginan terbesar bahwa negara berkewajiban melindungi hak dasar warga negaranya yakni beragama/kepercayaan dan untuk itulah negara tidak berkepentingan dalam mencampuri privasi warga negaranya termasuk apabila tidak ingin beragama apapun. Dengan dasar apa sebuah negara yang mengatasnamakan negara pancasila dapat menentukan baik dan buruknya agama/kepercayaan tertentu. Dengan agama/kepercayaan mayoritas? Adanya 6 agama/kepercayaan yang diakui pemerintah? Atau apa selain itu?
7. Masih adanya guru agama yang berpandangan chauvinistik
Sebuah kejadian lucu sekaligus menarik dan perlu mendapat perhatian terjadi dalam sebuahseminar Pendidikan HAM, Demokrasi, dan Konstitusi bagi penyuluh agama-agama terkhusus guru agama sekota Bekasi. Salah seorang peserta tidak sepakat dalam diskusi bahwa bagi dirinya hormat kepada bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya haram hukumnya. Melakukan hal ini sama dianggap seolah menduakan Tuhan. Bayangkan berapa banyak warga negara Indonesia yang berpikir semacam ini? Inilah yang disebut paham chauvinism. Apabila dirinya berperan sebagi satu orang guru saja yang berpandangan sesempit ini di Indonesia, berapa banyak generasi mendatang yang dididik secara chauvinistik.
8. Generasi muda berpandangan sempit karena kesalahan edukasi
Kesalahan terbesar yang dilakukan orang tua, guru sekolah, guru agama, dan orang dewasa kepada anak-anak adalah doktrinasi. Pengajaran iman orang tua khususnya kepada anak-anaknya adalah kewajiban yang tidak boleh dilupakan tetapi kekeliruannya adalah exclusive minded. Pengajaran iman bukan berarti menyerang dan menjelekkan agama/kepercayaan lain. Pengajaran iman justru bukan membuat alergi anak terhadap suasana atau ritual ibadah agama/kepercayaan lain. Bukankah semakin kita terbuka akan realita keberagaman bangsa ini semakin menolong anak-anak kita berpikir objektif dan justru makin memperkuat iman kepercayaan yang telah diturunkan dari keluarga. Bukankah kebanyakan seseorang berpindah agama lebih banyak dipengaruhi karena pernikahan dan kekecewaan terhadap agama yang sebelumnya dianut. Saya justru salut dengan mereka yang tetap mempertahankan iman kepercayaannya sekalipun menikah beda agama. Disitulah tampak kemurnian iman seseorang diuji sekalipun suatu saat akan berdampak pada keputusan yang harus diambil oleh anak-anaknya.
9. Pluralisme adalah karakteristik bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia tercatat sebagai bangsa yang sangat majemuk, multi budaya, multi ras dan suku, multi kepercayaan dari sejak dulu sebelum nusantara terbentuk. Semua agama yang saat ini diakui sebagai agama negara merupakan agama pendatang. Mereka lupa bahwa jauh sebelum itu ada ribuan kepercayaan lokal yang arif dan bijaksana sudah bertumbuh dan berkembang di negeri sampai saat ini. Perbedaan pun sudah mencari ciri khas dari generasi ke generasi sampai terbentuknya nusantara oleh Majapahit yang adalah kerajaan maritim terbesar dan berjaya pada waktu itu. Itulah cetusan bhineka tunggal ika dharma magruwa terlahir. Sebuah cetusan kebanggan dan keberjayaan sebuah bangsa di tengah keberagamaan suku dan ras sekalipun di bawah komando satu kerajaan. Penghargaan atas keberagaman menjadi cita-cita luhur yang sebenarnya masih sangat dirindukan sampai saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H