Istilah edukasi atau pendidikan nampaknya menjadi latah bagi sebagian orang. Saking latahnya tidak elak kata ini menjadi biasa dan kehilangan makna bahkan digunakan sembarangan. Persoalannya bahwa negeri ini yang semakin maju dari sisi teknologi maupun pendidikan justru berbanding terbalik dengan kedewasaan mental anak mudanya. Sebuah refleksi pada hari Senin, 15 Desember 2014 dalam perjalanan sore di Jakarta herannya saya bertemu dengan beberapa peristiwa. Pertama ada seorang anak muda tanpa kaki sebelah kiri memakai tongkat dengan mandiri masuk ke sebuah busway dan duduk disana. Kedua, saya melihat di tempat yang berbeda seorang wanita muda membawa tas ransel cukup besar berjalan tanpa tujuan sambil tertawa dan tersenyum sendiri bahkan sambil berbicara sendiri sekalipun disana tidak ada handphone atau sesuatu yang lain. Nampaknya, dia juga belum mandi sekian hari karena pada waktu mendekati saya dalam perjalanan tersebut bau yang tidak sedap terasa.
Sebelumnya kita perlu kembali redefinisi apa itu edukasi mental? Mental sendiri yang dimaksud disini adalah kemampuan diri seseorang mengatasi masalah, sedangkan edukasi merupakan sebuah pembudayaan atau pembiasaan dimana seseorang tahu dan sanggup melakukan apa yang diajarkan. Untuk itu, edukasi mental merupakan pembudayaan seseorang dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi (problem solving).
Untuk itulah, tidak heran jika kita sejak kecil sudah diajarkan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang dipikirnya tidak bermanfaat bagi kita suatu saat nanti tetapi justru sebenarnya kekeliruan pemahaman ini ada di dua belah pihak. Pertama, pihak institusi pendidikan terkhusus guru mampu menjelaskan dengan baik kenapa ada sejumlah pelajaran itu perlu diberikan. Kedua, pihak anak hanya melihat sebatas dirinya dan cita-citanya sehingga berpikir belajar yang penting sesuai dengan keinginan saja. Ketiga, pihak orang tua yang justru sebaliknya meminta anak mampu belajar ini dan itu sehingga dipikir menjadi anak sibuk dan cerdas.
Kembali ke persoalan edukasi mental maka ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di Indonesia:
1. Anak muda semakin kreatif tetapi semakin rendah daya juang
Sebagian besar anak muda sekarang nampaknya semakin sadar jiwa kewirausahaannya, sehingga tidak elak mereka berjuang sedari dini untuk dapat mencari uang sendiri. Banyak dibuktikan sejumlah anak muda sedari sekolah atau kuliah sudah berhasil dengan usahanya. Walaupun demikian, tidak sedikit pula mereka yang hendak mencoba hal sama justru gagal dan makin terpuruk. Sekali gagal dalam usaha, studi, ataupun sejenisnya semakin tidak punya semangat dan berjuang. Semangat '45 nenek moyang kita sudah tinggal sejarah dan seolah terlupakan. Jadi kegagalan sekali adalah kegagalan seumur hidup.
2. Mental (daya tahan) atau Mental (terlempar)
Tentu anda tahu bahwa dua kata ini dapat dipakai secara bersamaan dalam dua konteks yang jauh berbeda. Mental dalam artian daya tahan menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah dan terus berjuang atas kegagalan untuk meraih kesuksesan. Di sisi lain, mental dalam artian kedua adalah terlempar yang dapat diartikan tidak survive. Ya, anak muda masa kini memang punya mental yang tinggi yakni mental dari peredaran perjuangan bermasyarakat.
3. "Galau" ditinggalkan kekasih
Berapa banyak sekolah atau intitusi pendidikan bukan saja mengajarkan edukasi seks tetapi juga cinta dan berpasangan. Persoalannya banyak anak muda justru belajar akan hal ini dari insting atau melihat senior atau celakanya taruhan teman. Percintaan dimulai dengan sangat cepat dan diakhiri dengan cepat pula. Putus cinta inilah yang sering membuat dan mempopulerkan kata "galau" bagi sejumlah anak muda masa kini. Generasi ini dipenuhi dengan kegalauan dan bad mood yang terlalu sampai-sampai tidak makan, minum, mengurung diri, dan gantung diri akhirnya. Mental seorang anak muda hanya terbatas sampai dengan perasaan patah hati dan setelah itu tidak mampu atau berani mengambil sikap untuk bangkit lagi dengan cara yang objektif bahwa masih begitu banyak manusia lain yang kelak bisa jadi pasangan hidup. Mungkin harap dimaklumi persoalannya adalah sejumlah kegalauan juga dimulai dari keberanian menyerahkan segalanya termasuk virginitas. Tidak heran harta paling berharga yang telah diserahkan ini membuat dirinya tidak tahan lagi menanggung beban.
4. Paradigma negatif adalah mentalitas masa kini
Aneh memang tapi nyata sejumlah anak muda masa kini dipenuhi dengan berbagai pikiran negatif. Melihat apapun negatif, melihat banyak hal selalu menggunakan paradigma negatif, sehingga di dalam otaknya apapun tidak ada yang benar, baik, adanya kejahatan dan kebrutalan. Hal ini dibuktikan oleh salah seorang anak murid saya sendiri berusia 10 tahun. Setiap kali berkata-kata maka semua perkataan yang muncul adalah negatif. Teman-teman jahat, guru-guru jahat, pembantu jahat, orang tua jahat, lingkungan jahat, harus jadi pintar jika tidak pintar nanti jadi pencundang, harus banyak uang karena itu pride. Semua pikirannya menjadi sangat sempit, praktis, pragmatis dan negatif. Mentalitas seperti inilah yang pada akhirnya cuman dipenuhi dengan marah-marah, kritik sana sini tapi tidak memberi solusi, sibuk sana-sini tapi tidak ada yang dihasilkan, muka cemberut, kata-katanya kasar, tidak simpatik, dan cenderung melawan setiap bertemu orang.
5. Hidup dalam bayang-bayang
Hampir dipastikan sebagian besar orang masa kini khususnya anak mudanya begitu mudahnya membangun kehidupan dibalik bayang-bayang. Bayang-bayang idola mereka, bayang-bayang harta kekayaan mereka, bayang-bayang gadget terbaru mereka, bayang-bayang pacar mereka, semuanya adalah bayangan. Apa maksudnya hidup dalam bayang-bayang? Maksudnya adalah identitas diri kita ditentukan dengan semua atribut itu tanpa menyadari bahwa yang spesial bukan atributnya karena itu semua bisa hilang suatu saat nanti. Kita dari lahir sampai dengan kematian hanya membawa jasad tubuh ini saja bersama roh/jiwa kita. Persoalannya sadarkah roh/jiwa anda masih di dalam tubuh anda atau jangan-jangan sudah melayang jauh disana dan kini kita hanya mengenakan tubuh dan atribut itu saja yang suatu saat akan lenyap. Tetapi justru anehnya kita dengan bangganya membanggakan diri tanpa menyadari akan hari kelak. Ini juga yang membuat mentalitas begitu mudahnya pudar seiring dengan kefanaan hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H