Tragedi itu tak akan pernah hilang dari ingatan seumur hidupku: kobaran api dan gerombolan asap hitam mengangkasa dari arah rumahku, dan teriakan orang-orang kampung yang mengatakan bahwa seorang dukun memang pantas mati.Â
Tapi aku tak mampu berbuat lebih, ada Ibu yang mesti kujaga. Aku hanya bisa berteriak-teriak meminta tolong seperti orang kesetanan menyadari sepertinya bapakku ada di dalam sana. Orang-orang tak ada yang peduli. Mereka semakin bersorak ketika rumah kami yang tak seberapa luasnya itu runtuh hingga tiga per empat bagian. Sedangkan sebagiannya lagi tinggal menunggu menjadi abu seiras asap hitam yang terus membumbung. Entah bagaimana mulanya orang-orang itu bisa begitu kalap melempar sumber-sumber api ke dalam rumah kami.Â
 Konon, kata salah satu tetanggaku, bapakku adalah seorang dukun sakti yang bisa menghilangkan nyawa hanya dalam sekali kelebat. Namun, hingga kini Ibu tidak pernah bisa menerima desas-desus yang dilontarkan orang-orang kepada Bapak. Ibuku yang lumpuh menangis tersungkur di belakang tubuh-tubuh yang mengerumuni rumah kami yang kusen-kusennya akhirnya berjelaga. Sedangkan aku, aku hanya bisa menatap nanar ketika atap kayu dan genting satu per satu bergemeretak rata dengan tanah menyisakan tiang-tiang pondasi yang kini terlihat belulangnya.
Ternyata begitu cepat api amarah menghanguskan rumah kami.Â
Di sini, di kampungku, katakanlah ia sebuah kampung maksiat. Orang-orang berjudi, minum-minum, menyiksa sekaligus main perempuan adalah pemandangan yang lumrah terlihat. Yu Mina, tetangga yang tinggal di depan rumah, hampir setiap waktu dihajar oleh suaminya. Lelaki pengangguran itu saban hari kerjanya hanya bermain judi dadu di pos ronda bersama kawanannya. Alih-alih ronda malam, mereka malah sering membuat keributan.
Aku merasa iba ketika berpapasan dengan perempuan yang belum juga mempunyai anak setelah lima tahun pernikahannya saat ia akan pergi belanja ke warung pagi itu. Semalam aku sempat mendengar ia bertengkar hebat lagi dengan suaminya yang serupa raksasa itu. Kemudian terdengar suara benda yang berat yang dihantamkan begitu melesakkan dada. Empatiku sebagai perempuan meronta. Aku membayangkan diriku yang dipukuli. Dasar lelaki setan! Tapi, lagi-lagi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Apa kapasitasku melerai sebuah pertengkaran dalam rumah tangga orang? Alih-alih menolong Yu Mina bisa-bisa malahan aku yang kena cibir: kawin saja belum pernah, sok-sokan mau menyelamatkan pernikahan orang. Sejurus kemudian bunyi debam pintu yang dibanting mengakhiri pertengkaran suami istri itu. "Pergi, sana, kau ke neraka!" teriak Yu Mina histeris. Aku menduga lelaki bangsat itu pasti meminta uang bekal ia berjudi. Rambut legam Yu Mina yang panjang sebahu itu ia biarkan tergerai tak beraturan menutupi sebagian wajahnya. Dari aroma pakaian yang dikenakannya, aku yakin, telah beberapa hari ia belum menyentuh air. Entah ini kali ke berapa, pada ceruk matanya, terlihat luka memar lebam membiru-hitam. Belum sempurna bibirku terbuka untuk menyapanya, samar kulihat ia mengulas senyum yang dipaksakan kepadaku seraya cepat-cepat menunduk seolah tidak ingin lukanya diketahui orang lain. Aku hanya membatin, sampai kapan ia akan bertahan dari siksaan suaminya yang biadab itu.Â
"Tikus lagi, Pak?" tanyaku ketika melihat Bapak melintasi samping rumah sambil membawa jebakan. Bapak hanya berdehem pelan. Hampir setiap malam Bapak keluar rumah untuk berburu tikus. Tidak perlu jauh-jauh mencari hingga keluar kampung jika di kampung sendiri tikus-tikus jelek itu seakan tak pernah habis, katanya. Sebelum subuh biasanya Bapak telah kembali. Hasil tangkapannya lantas ia kumpulkan di sebuah kandang besar yang terbuat dari kayu dan ram kawat yang ia bikin sangat kuat di belakang rumah. Kemudian setiap dua hari sekali Bapak memberi makan tikus-tikus itu apa saja: yang paling sering berupa sampah dari dapur bekasku memasak. Memang, sepertinya tikus-tikus itu hanya layak diberi makanan sampah.Â
Mulanya aku merasa aneh dengan kebiasaan Bapak, buat apa memelihara tikus-tikus menjijikan itu? Apakah Bapak akan menjual daging tikus? Atau Bapak ingin memasak daging tikus? Ah, tapi tentu saja hal itu tidak mungkin. Bahkan Bapak tidak membolehkan kami sering-sering memakan daging ayam atau sapi. "Tidak baik untuk kesehatan pencernaanmu, Sur," katanya. "Bukankah sumber dari segala penyakit datangnya dari dalam perut?" lanjutnya. Maka, selepas isya Bapak berangkat. Dalam pembaringannya Ibu hanya bilang, "Jangan banyak protes, Surti! Bapakmu itu lagi kerja, jangan diganggu." Dan aku lagi-lagi harus manut dan segera menutup mulut, tak ada ruang untuk bertanya lagi.Â
Kata orang-orang kampung, bapakku seorang dukun. Sebagaimana ibuku, aku pun tidak mempercayai perkataan mereka, meskipun terkadang aku juga merasa aneh sekaligus ngeri dengan tingkah Bapak mengumpulkan tikus-tikus itu. Memang benar adanya, bapakku kerap melakukan serangkaian ritual. Dengan mengenakan kain sarung dan baju putih ia senantiasa melakukannya sebanyak lima kali dalam tujuh hari. Di atas kepalanya selalu bertengger sebuah udeng berwarna hitam. Pada hari-hari tertentu, di saat sinar bulan purnama memancar sempurna, aku pun sering mendengar Bapak tengah merapalkan mantra yang dibacanya dari sebuah kitab yang cukup tebal. Belum lagi ritual panjangnya yang selalu Bapak langgengkan pada penghabisan waktu sepertiga malam; sebuah ritual yang hampir bisa dipastikan orang-orang di kampungku tidak pernah ada, dan tidak ada yang sanggup melaksanakannya. Mereka terlalu banyak melakukan maksiat. Ironisnya bapaklah yang mereka anggap sesat.Â
Aku sedang menyiapkan makanan untuk Ibu ketika melihat Bapak menenteng perangkap tikus itu lagi. "Untuk apa sih, Pak? Kenapa tidak dibakar saja langsung? Jijik!" selorohku yang tidak terlalu digubris Bapak. Lelaki paruh baya yang jarang tertawa itu lalu membuka pintu kandang besar dan melemparkan tikus yang baru saja ia tangkap ke dalam. Sambil menutup kandang Bapak bilang, "Jika dibakar, nanti mereka akan mati sia-sia. Biarkan saja mereka hidup, aku tidak berhak membunuh. Tugasku hanya menangkapnya."Â
Bapak, akhir-akhir ini menjadi misteri bagiku. Ia tidak pernah menceritakan sebab dan tujuannya menangkap tikus-tikus menjijikkan itu. Pun Ibu. Seperti ada rahasia yang mereka simpan rapat-rapat dari kami (aku dan orang-orang kampung).Â
Â
Suatu hari ketika langit senja baru saja menggelincir masuk ke peraduannya, aku telah mempersiapkan diri untuk mengikuti Bapak. Kali ini aku berniat untuk membuntuti kemana pun Bapak pergi. Aku telah bersembunyi di samping kandang tikus itu. Tapi, sebentar ... suara cericit hewan-hewan ini sepertinya bakal mengancam persembunyianku. Mereka seperti saling berebut ingin keluar. Gerakannya gesit ke atas dan ke bawah lalu saling bertumpuk di belakang pintu kandang. Belum lagi bau busuk sisa makanannya sangat menusuk hidungku. Sialan! Menjijikkan sekali tempat ini! Akhirnya aku memilih untuk menjauh saja dari sana. Baru saja kulangkahkan kakiku, suara Bapak terdengar. "Apa yang kamu lakukan di sana, Sur? Kemarilah, jangan dekat-dekat kandang tikus itu!"Â
Tolol! Betapa tololnya aku! Benar dugaanku, bukan? Bapak pasti mengetahui keberadaanku gara-gara hewan jelek dan bau itu begitu berisik. "Ya, Pak. Surti hanya lewat saja, kok!" O, astaga! Semoga Bapak tidak curiga dengan tingkahku ini.Â
Selepas isya kupastikan Bapak berangkat terlebih dulu. Selang beberapa menit kemudian baru aku menyusulnya. Tapi lagi-lagi sial! Aku kehilangan jejaknya. Bapak berjalan melesat bagaikan cahaya, tak berbekas, tak ada jejaknya. Aku nekat terus berjalan sendirian di jalan setapak yang hanya ada satu lampu penerang di pertigaan antara jalan rumahku dan jalan raya. Seharusnya ini tidak berbahaya, tapi entah kenapa aku merasa ada seseorang yang mengikutiku di belakang. Aku mempercepat langkahku. Mengandalkan sinar rembulan yang menyorot tak seberapa terang, aku terus menajamkan intuisi merasakan ke arah mana Bapak pergi. Jalanan sepi, kanan-kiriku tanah kosong yang gelap. Aku mempercepat langkahku, semakin cepat, terus kupercepat. Setan! Kenapa rasaku sepertinya takut?!Â
Sreeet ...! Bruk!Â
Tanpa kusadari aku jatuh terduduk terpeleset jalanan berpasir ketika berlari tadi. Sial! Aku harus cepat-cepat bangkit. Baru saja aku hendak mengayunkan kaki lagi, seperti ada sesuatu yang menangkap pinggulku. Aku kesulitan berjalan. "Lepas! Lepaskan!" Aku terus meronta. Aku tidak bisa membalikkan badanku. Rasanya didekap oleh sesuatu yang besar. Kurasakan napasnya memburu, aroma tembakau tercium jelas dari telapak yang membekap mulutku. Aku meronta lagi. Tapi sia-sia. Tubuhku terlalu kecil untuk ukuran orang yang membekapku ini. "Mau kemana seorang gadis malam-malam begini, hmmm?" Aku merasakan napasnya yang bau ciu murahan begitu terengah-engah seperti bernafsu. "Mari kita bersenang-senang saja di tanah kosong sana. Ayo!" paksanya sambil mencoba menyeretku. Aku berteriak, mencoba melawan dengan menyikut perutnya. Sia-sia! Cengkeramannya semakin kuat. "Tolooong! Siapa pun ... Â tolong akuu!"Â
"Ha-ha! Percuma kau minta tolong, gadis tukang nguping! Mana ada orang yang mau menolong anak dukun sepertimu?!"Â
Aku terkesiap. Rupanya orang jahat di depanku ini suami Yu Mina. Ia benar-benar bejat!Â
"Pergi, kamu, tikus got! Dasar manusia tak berguna!" Sejurus kemudian lelaki di hadapanku ini semakin kalap menangani tubuhku. Aku dibopongnya ke tengah kebun kosong. Aku semakin meronta, menendang apa saja yang ada di depanku. Ketika pakaianku koyak, aku menjerit, menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya memanggil Bapak.Â
Tiba-tiba sekelebat bayangan orang meluncur di hadapanku. Bayangan itu semakin lama semakin panjang dan terus memanjang. Tampak kedua tangannya yang berkuku tajam terjulur ke depan mencengkeram pundak suami Yu Mina sebelum akhirnya hanya terdengar suara cericit tikus. Semuanya mungkin berlangsung begitu cepat. Namun, dalam pandangan mataku yang mengabur kejadian itu terasa begitu lambat. Aku pingsan. Â
Entah bagaimana mulanya, ketika aku siuman, aku berada di tengah kobaran api dan gerombolan asap hitam yang mengangkasa dari arah rumahku. Tak ada satupun orang yang menolong. Mereka saling berteriak mengatakan bahwa seorang dukun memang pantas mati. Aku hanya bisa menangis histeris memanggil-manggil Bapak. Tapi bayangan Bapak tak kunjung datang berkelebat. [*]
Tangerang, 0822
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H