Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi, anak-anak, dan kamu. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Delapan Belas Tahun

5 Juni 2022   20:21 Diperbarui: 5 Juni 2022   20:30 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Upah yang seharusnya dia terima setiap minggu, entah raib ke mana tanpa sempat diberikan kepada Ibu terlebih dulu. Kata Ibu, hal itu terus berulang sejak aku berumur lima tahun.

Di kali lain, Ayah juga pernah tepergok olehku sedang bersama Tante Maya, tetangga kami. Mereka sedang duduk berdua-duaan di dalam kedai nasi kucing. Aku yang saat itu belum makan---padahal di rumah sudah Ibu siapkan---melihat mereka saling suap sate telur, langsung mendekat, bermaksud hendak meminta, atau setidaknya menegur mereka. Akan tetapi, Ayah malah menghardikku.

"Hei, anak sialan! Siapa yang menyuruhmu kemari, hah? Bikin malu saja! Sudah sana, pulang!" Ayah seolah-olah mengusir seekor kucing liar yang bertemu di pinggir jalan. Mungkin seumur hidupku itu adalah hal paling bodoh yang aku lakukan di hadapan Ayah. Dan aku masih ingat sampai detik ini.

Setelah drama pembakaran arsip dan dokumen penting malam itu, kami tidak punya jejak bukti apa-apa lagi. Mulai dari akta kelahiranku, surat-surat penting, hingga sertifikat rumah. Sampai akhirnya Pak RT mengantar kami untuk mengurus ulang arsip dan dokumen itu ke kantor polisi dan kantor administrasi negara agar dibuatkan duplikatnya. Beruntungnya kami masih ada orang-orang yang peduli. Jadi untuk melanjutkan sekolah, aku hampir tidak menemukan hambatan yang berarti.

Suatu hari pernah aku berkata pada Ibu, apa tidak sebaiknya Ibu mengurus perceraian saja. Toh Ayah sudah tidak pernah berkabar lagi selama belasan tahun. Itu sudah sangat cukup untuk dijadikan alasan bercerai di mata hukum. Saat itu Ibu hanya diam. Tidak menjawab bersedia atau tidak. Mungkin juga Ibu sudah menganggap Ayah mati, sama seperti anggapanku.  

Hari ini aku sedang menyibukkan diri di kantor percetakan milikku yang letaknya bersebelahan dengan rumah Ibu. Usaha ini kurintis sejak aku masih kuliah dan akhirnya berkembang cukup baik hingga kini.

Sejak arsip dan dokumen kami hangus terbakar waktu itu, aku pernah mengkhayal bisa membuat kertas cetak yang antiapi. Haha! Sebuah khayalan yang sangat ingin aku wujudkan. Agar tak ada lagi orang-orang yang mengalami kejadian seperti kami.

Dan pagi ini aku dikejutkan dengan sosok kumal tengah berdiri di depan kantor, di bawah papan nama percetakanku, "Millen Karya Offset". 

Aku perhatikan ciri-cirinya, orang itu sangat mirip Ayah. Hanya saja jauh terlihat tua, badannya lebih kurus dibandingkan dulu ketika dia dengan pongahnya mengusirku di kedai nasi kucing. 

Terlintas di pikiranku, setelah delapan belas tahun berlalu, apa mungkin Ayah kembali? Apa benar dia masih hidup setelah lama kuanggap mati? Ah, betapa beruntungnya Ayah, jika memang benar sosok di depan itu adalah dia.

Aku terus memperhatikan orang itu dari balik ruang kerjaku. Dia masih berdiri di sana sambil memeluk kantong keresek besar. Badan dan pakaiannya kotor, kulitnya amat kusam, dan wajahnya berkerut-kerut. Sedangkan sorot matanya sayu, seperti menyimpan penyesalan yang dalam. Dia masih berdiri di sana sambil terus menatap ke arah rumah Ibu sebelum akhirnya melangkah pergi. [*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun