Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi, anak-anak, dan kamu. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan di Pendopo Ereveld

5 April 2022   00:44 Diperbarui: 5 April 2022   00:44 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Nadine Putri

Jasad Hans bangkit lagi dari pusaranya. Ia masih penasaran ingin memuntahkan unek-unek semasa hidupnya. Namun, entah dengan siapa, Hans belum menemukan sosok yang dianggapnya tepat. Seringkali ia memandang hamparan rumput jepang yang tertanam rapi, dan bunga warna-warni yang ada di dalam ereveld yang luas itu. Akan tetapi, hal itu tak pernah mampu meredam kecamuk dalam pikirannya. Hans yang telah lama terbujur kaku dan bisu, kini lebih sering mondar-mandir sambil terus menceracau.

"Orang-orang inlander tahunya menjadi seorang serdadu Belanda itu hidupnya enak, terjamin, dan dipenuhi segala kebutuhannya. Mereka tak paham jika sebenarnya wij juga harus bekerja keras mengumpulkan harta untuk keluarga," racaunya sambil membawa popor senapannya ke sana kemari.

 Berbeda dengan Hans, barisan pusara salib yang di dalamnya terkubur rekan-rekan seperjuangannya terlihat lebih damai dalam tidur panjang mereka. Entah kenapa hanya Hans yang terlihat gusar. Hingga malam itu ia mengoceh lagi, "Ik harus menceritakan beberapa hal kepada inlander zaman sekarang. Supaya mereka tahu, bahwa fakta yang dulu terjadi ada yang tidak disebut dalam sejarah mereka. Generasi sekarang belum tahu saja, bahwa nenek moyang mereka banyak juga yang bertingkah nakal dan amoral. Enak saja mereka hanya mengatakan yang jelek-jeleknya saja tentang bangsa ik!"

Hans terus berjalan menuruni anak tangga hingga ke luar pagar ereveld yang megah. Sunyi, sepi. Pohon trembesi yang tumbuh di sisi kanan dan kiri jalan mirip lorong itu menambah kesan redup, sebab jarak penerangan jalan hanya ada setiap seratus meter. Sebenarnya lokasi ereveld itu dekat dengan pemukiman warga kalangan jetset. Akan tetapi, jika siang hari saja wilayah itu jarang ada kendaraan yang lewat, apalagi waktu itu menjelang dini hari---di saat semua orang sudah terlelap---tidak ada satu pun manusia yang bisa ditemui serdadu Belanda yang gugur sebelum Indonesia merdeka itu. Hanya ada suara gemerisik angin dan burung gagak menambah aura magis di sekitar ereveld yang sesekali berkoak di atas dahan trembesi.

"Verdomme! Kenapa tak ada orang sama sekali. Biasanya inlander-inlander itu suka berkumpul di pos sebelah sana," umpatnya sambil terus berjalan. Ia kemudian memutar berbalik arah. Menurut Hans, ini adalah kampung pribumi yang sama seperti tempat ia dulu bertugas. Ia ingat daerah itu. Dan kebiasaannya dulu ia sering memaki-maki warga pribumi yang ikut berjudi di pos atau ketahuan menjual diri kepada serdadu Belanda. Namun sekian lama tidur di ereveld itu, ada satu hal yang Hans belum tahu: di sisi timur paling ujung terdapat sebuah rumah pendopo yang disediakan untuk petugas penjaga makam.

 Adalah Sudrun, yang mendapat giliran jaga malam itu. Bapak lima anak berumur sekitar empat puluhan itu memilih profesi sebagai penjaga makam Belanda sejak lima tahun yang lalu. Ketika anaknya masih tiga orang, Sudrun bekerja sebagai satpam sebuah pabrik jamu besar yang berpusat di pinggir kota. Akibat banyak praktik korupsi yang dilakukan oleh jajaran direksi selama sekian waktu, pabrik akhirnya tidak bisa beroperasi lagi. Hutang di mana-mana sehingga keadaan internal pabrik semakin terpuruk. Akhirnya lewat keputusan pengadilan negeri setempat, pabrik jamu itu ditutup dan dinyatakan bangkrut. Sudrun dan ratusan buruh terkena PHK. Keadaan ekonomi menjadi kacau saat itu. Orang-orang banyak kehilangan pekerjaan karena perusahaan-perusahan kecil gulung tikar, dan sebagian lainnya bergabung dengan perusahaan yang lebih besar demi bisa bertahan. Sudrun yang terbiasa menjadi budak korporat mendadak linglung. Ia bingung harus menghidupi istri dan ketiga anaknya dengan apa. Setelah menganggur sekitar dua bulan, pada sebuah ereveld milik pemerintahan Belanda inilah ia sekarang menggantungkan hidupnya.  

Lelaki berperawakan gagah itu sedang merokok di teras pendopo. Ia melihat dari kejauhan bayangan tinggi besar memakai topi serdadu lengkap dengan popor senjata tersampir di lengan kanannya. Dengan langkah tegap, sosok itu terus berjalan ke arahnya. Sambil mengisap rokoknya dalam-dalam, Sudrun tersenyum miring. Ia paham dan sudah hapal, bahwa bayangan seperti itu biasanya jasad serdadu Belanda dari dalam makam. Tak jarang pula dari sana Sudrun mendengar derap langkah pasukan Belanda yang sedang berbaris, atau suara orang sedang bercakap-cakap dalam bahasa mereka. Tidak ada lagi yang istimewa, karena ia kerap melihatnya.

Serdadu Hans kini berdiri tepat di hadapan Sudrun. Tanpa gentar penjaga malam itu menyapa, "Goedenavond, Meneer ... mau ke mana tengah malam begini?"

"Oh, Heer! Akhirnya ik bertemu inlander! Jij bisa bahasa Nederland juga, ya. Kebetulan ada yang mau ik bicarakan dengan jij." Tanpa banyak basa-basi Hans langsung masuk ke dalam pendopo.

"Huh, dasar londo ora nduwe tata krama, main masuk saja!" batin Sudrun tertawa. Setelah jasad serdadu Belanda itu duduk, ia mulai berceloteh.

"Jij tahu tidak bahwa dulu sebetulnya bangsa pribumi banyak juga yang jahat," kata Hans berapi-api. Sudrun menggeleng. "Ya, waktu itu banyak perempuan inlander yang menyodorkan dirinya untuk dijadikan gundik petinggi kami hanya demi harta. Mereka dengan rakus mengeruk pundi-pundi gulden untuk diberikan kepada keluarga mereka."

Sudrun hanya tersenyum, tetap duduk dengan santai menanggapi ocehan Hans. "Benar begitu, Meneer?" Hans mengangguk sekilas. "Bukankah itu malah bagus? Lalu kejahatan apalagi yang diperbuat inlander pada waktu itu?" tanya Sudrun sambil mengisap rokoknya lagi.

"Mereka korupsi!"

"Oh, ya?"

"Ya! Orang-orang inlander yang bekerja di pemerintahan kami sering nyolong upah dari yang semestinya mereka terima. Coba jij pikir, mereka seharusnya hanya menerima 150 gulden setiap bulan. Tapi nyatanya, dalam setahun mereka bisa mempunyai uang sampai sebesar 10.000 gulden!"

"Wow, hebat, dong!" ujar Sudrun setengah berteriak. "Hmm ... tapi itu mungkin dari hasil bumi yang mereka jual, Meneer? Konon, tanah leluhur kami ini sangat kaya raya, yaa ... setidaknya sebelum para penjajah datang. Atau ... mungkinkah perbuatan itu mereka contoh dari atasannya?"

"Hei, maksud jij korupsi itu kami yang ajarkan?" Kali ini Hans melotot sambil mendekatkan wajahnya ke arah Sudrun. Beberapa saat ia terkesiap ketika mengetahui bahwa Sudrun tidak memiliki bola mata.

"Sabar, Meneer ... aku ini murni bertanya. Sebab dulu di sekolah, aku tahunya penjajah datang dan rela berperang demi merebut tanah Indonesia yang kaya akan hasil buminya. Dan dampak bagus lain dari lamanya penjajah bercokol di bumi Indonesia, mau tak mau mereka banyak mengajarkan hal baru kepada kami. Misalnya, cara bercocok tanam yang baik, lalu memperkenalkan bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membangun jalan, dan ... ah, aku lupa lagi, Meneer. Waktu sekolah, pelajaran sejarahku nilainya merah. Lantas, apa praktik korupsi itu juga termasuk, ya?" Dengan wajah polos Sudrun menatap Hans lekat-lekat. Ia ingin tahu jawaban yang akan diberikan oleh pelaku sejarah itu.

"Wacht even, itu bola mata jij kenapa tidak ada?"

"Ah, Meneer. Kenapa malah balik mempertanyakan hal yang sudah biasa, sih?"

"Maksud jij?"

"Ya, zaman sekarang orang-orang yang bekerja ikut perusahaan orang lain rata-rata tak memiliki bola mata, Meneer. Tanpa susah payah melihat, para pekerja itu akan selalu dituntun oleh atasannya. Mereka akan didikte, ditunjuk, dan disuruh-suruh agar mau menjalankan segala perintah atasan."

"Wow, keren, dong, ya!" Hans terkagum-kagum mendengar penjelasan Sudrun.

"Meneer ... itu logat inlander zaman sekarang, kenapa kamu ikut-ikutan?" ucap Sudrun dengan wajah malas.

"Ha-ha-ha! Bukankah ik harus mengikuti perkembangan zaman jika mau hidup selama-lamanya?"

"Meneer, ingat, riwayatmu itu sudah tamat. Tak perlu lagi ikut-ikutan gaya masa kini. Begini, biar aku jelaskan lagi," kata Sudrun sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Jika Meneer ingin hidup lama, yang pertama harus dilakukan adalah memperbesar ukuran otak, lalu memperkecil ukuran hati. Lihatlah! Seperti punyaku ini," ujar Sudrun sambil membuka tempurung kepalanya dan membuka sedikit rongga dadanya.

"Hah, maksud jij? Dit is gek! Kenapa jadi jij yang menjelaskan banyak hal? Ik jauh-jauh jalan dari atas ereveld ingin menjelaskan yang kalian belum pernah tahu. Lalu itu ...," Hans menunjuk kepala dan dada Sudrun. Ia lalu memegang pelipis kanannya sambil geleng-geleng kepala.

Sudrun tersenyum geli melihat tingkah serdadu Belanda itu. Sambil menutup kembali tempurung kepala dan dadanya, ia berujar, "Jadi begini, Meneer ... bahwa kita harus memperbesar ukuran otak daripada hati itu artinya, zaman sekarang kita akan susah sendiri jika apa-apa masih ada rasa nggak enakan, serba sungkan dengan orang lain, dan  hal-hal lain yang terlalu mengedepankan rasa. Kehidupan sekarang itu menuntut kita agar berpikir cepat, Meneer. Tak peduli itu akan membahayakan orang lain atau tidak, yang penting kita dan keluarga harus 'selamat' duluan." Sudrun menjelaskan dengan wajah penuh kemenangan.

"Ah, ini gila! Echt gek! Sudahlah, aku mau kembali tidur saja!" Serdadu Hans lalu berdiri dan cepat-cepat berjalan ke dalam ereveld. Tak lama ia terlihat menaiki tangga menuju pusaranya.

Tinggal Sudrun sendirian di pendopo sedang terbahak-bahak. "Hei, Meneer! Bukankah ini juga ajaran kalian sejak dulu?" [*]

Jkt-200322

Nadine Putri: akun alter yang sedang belajar menulis.

Catatan kaki:
) Ereveld: pemakaman kehormatan bagi warga Belanda korban perang
) Inlander: warga pribumi
) Wij: kami
) Ik: saya
) Verdomme: sialan
) Goedenavond: selamat malam
) Oh, Heer: Ya, Tuhan
) Ora nduwe tata krama: tidak punya sopan santun
) Wacht even: tunggu sebentar
) Dit is gek: ini gila
) Echt gek: benar-benar gila

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun